Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Fiqih Dakwah untuk Masyarakat Jawa: Filosofi Hidup Mulia dalam Tradisi Masyarakat Jawa

Fiqih Dakwah untuk Masyarakat Jawa: Filosofi Hidup Mulia dalam Tradisi Masyarakat Jawa

Pengantar

dakwatuna.com – Dakwah adalah upaya untuk “membahasabumikan” nilai-nilai otentik yang diturunkan Allah kepada Nabi Saw. Sebuah upaya transformasi nilai-nilai langit, agar menjadi realitas dalam kehidupan keseharian masyarakat di seluruh dunia. Pada kenyataannya, manusia bertebaran dalam berbagai benua, berbagai negara, etnis, suku, bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam membawa nilai-nilai kebaikan langit harus memahami budaya setempat agar dakwah lebih mudah masuk dalam kehidupan masyarakat.

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau, dan memiliki 1.128 suku bangsa atau etnis. Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Menurut data Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies, tahun 2003, setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.

Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bertebaran di berbagai propinsi di seluruh Indonesia. Di  Jawa Barat, etnis Jawa banyak ditemukan menjadi warga Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Bahkan, suku Jawa ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Tengah karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke Suriname sebagai pekerja, dan kini dikenal sebagai Jawa Suriname.

Untuk itu, memahami filosofi kehidupan masyarakat Jawa menjadi salah satu tuntutan dakwah agar bisa melaksanakan dakwah dengan baik dan tepat. Sangat banyak ajaran yang telah menjadi tuntunan perilaku masyarakat Jawa sejak zaman dahulu, walaupun sekarang sudah mulai banyak dilupakan. Ternyata, ketika kita kaji, ajaran Jawa tersebut banyak yang sedang mengajarkan “nilai-nilai langit” dalam format bahasa Jawa dan disesuaikan dengan kultur Jawa.

Coba perhatikan beberapa petikan yang terdapat dalam Kitab Wulangreh, yang banyak berisi filosofi kehidupan mulia. Pitutur luhur sangat kental didapatkan dalam seluruh bagian Kitab Wulangreh, yang menunjukkan sebuah upaya transformasi nilai-nilai Ilahiyah melalui kultur Jawa.

Mengenal Serat Wulangreh

Serat Wulangreh merupakan salah satu karya Paku Buwana IV, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus. Beliau mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang cukup belia, 19 tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya PB III. Pakubuwana IV memegang tampuk pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat selama 32 tahun, sejak 1788 sampai dengan 1820 M.

Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana. Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori Kamandhungan.

Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat produktif dan kreatif dalam “dunia pena”, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya.

Di antara perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah shalat di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya menjadi pangeran. Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi oleh budaya Belanda.

Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja. Dalam bidang sastra dan budaya, di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni.

Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar dalam masyarakat, adalah Serat Wulangreh. Karena banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Filosofi Hidup Mulia dalam Sekar Gambuh

Berikut akan saya cuplikan pupuh (bagian) ke-3 dari Kitab Serat Wulangreh, yang berupa Sekar Gambuh. Sebagaimana diketahui, dalam budaya Jawa dikenal ada Tembang Macapat, yang terdiri dari Sekar Mijil, Maskumambang, Gambuh, Sinom, Asmarandana, Dhandhanggula, Kinanthi, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocung.

Pupuh ketiga dari Kitab Serat Wulangreh adalah ajaran filosofi hidup mulia yang diwujudkan dalam bait-bait Sekar Gambuh. Ada banyak pitutur luhur dalam bait-bait Sekar Gambuh, yang saya nukilkan lima bagian sebagai berikut:

(01)

Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa katutuh, kapatuh pan dadi awon.

Sekar gambuh yang ke empat, yang menjadi bahan perbincangan adalah perilaku yang berlebihan, tanpa nasihat akan membuat kesengsaraan, terlambat sudah untuk diluruskan, akhirnya semua menjadi buruk.

(02)

Aja nganti kabanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayoa iku, pitutur ingkang sayektos.

Jangan sampai kau terlanjur dengan tingkah polah yang tidak jujur, jika sudah telanjur akan membuat celaka. Oleh karena itu, berusahalah mendapatkan ajaran yang sejati.

(03)

Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.

Ajaran yang benar itulah yang patut kau ikuti, meskipun berasal dari orang yang rendah derajatnya, namun jika baik dalam mengajarkan, maka pantas kau terima.

(04)

Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyuh.

Ada kiasan yang berbunyi adiguna, adigang, adigung. Adapun adigang adalah kiasan kijang, adigung kiasan gajah, dan adiguna kiasan ular. Ketiganya mati bersamaan.

(05)

Si kidang ambegipun, ngandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angandelken gung ainggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot.

Tabiat si kijang adalah menyombongkan kecepatannya berlari, si gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar, sedangkan si ular menyombongkan bisanya yang ganas bila menggigit.

Bersambung…

Referensi:

Purwadi dan Djoko Dwiyanto, Kraton Surakarta, Panji Pustaka, Yogyakarta, 2008

Samidi Khalim, Serat Wulangreh Karya PB IV, dalam www.kompasiana.com, 2010

http://jamansemana.com/2012/02/15/sekilas-tentang-serat-wulangreh-tulisan-ke-2/

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 8.25 out of 5)
Loading...
Senior Editor di�PT Era Intermedia, Pembina di�Harum Foundation, Direktur�Jogja family Center, Staf Ahli�Lembaga Psikologi Terapan Cahaya Umat. Alumni�Fakultas Farmasi�Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization