Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Cinta di Serambi Mekah

Cinta di Serambi Mekah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (flickr.com / Cmajor)

dakwatuna.com – Udara sejuk kota Padang Panjang sudah mulai terasa, dinginnya air dari gunung Merapi menambah kesejukan kota ini. Tujuh tahun sudah kutinggalkan kota indah yang diapit dua gunung ini demi meraih cita-cita di negeri para nabi. Kini aku kembali menghirup udara segar kota Serambi Mekah, sebuah julukan bagi kota Padang Panjang yang dipenuhi oleh para pelajar dari pelosok Sumatera. Jika Jawa punya Jogja sebagai kota pelajar maka aku katakan kalau Sumatera punya kota Padang Panjang sebagai kota santri dan pelajar.

“Kiri ciek Da…!” teriakku dari kursi bagian belakang. Sang supir perlahan memberhentikan busnya yang melaju kencang. Aku bersiap-siap untuk turun dari bus “Putra Inhil” yang aku tumpangi tadi malam dari kampungku di Riau menuju kampung ke duaku “Kota Serambi Mekah”.

Seperti biasanya hampir di setiap persimpangan kota Padang Panjang selalu ada pangkalan Ojek yang siap mengantar kemanapun kita pergi. Motor yang digunakan pun bermacam-macam. Ada yang memakai honda Karisma, Supra fit, Yamaha dan lain sebagainya. Tapi aku paling suka dengan tukang ojek yang muda, karena biasanya yang muda lebih kencang dan cepat sampai di tujuan.

“Kama diak…?” tanya seorang tukang ojek padaku. Padahal waktu itu hari masih gelap dan sudah mendekati subuh. “Ka Thawalib Putra Da…” jawabku pada tukang ojek. Aku langsung saja naik ke motor Karismanya, sebab biasanya mereka sudah tahu tempat tujuan kita dan ongkosnya pun tidak terlalu mahal.

Akhirnya aku sampai di gerbang Thawalib. Gerbang itu masih saja berdiri kokoh dengan tanduknya. Persis seperti rumah adat Minangkabau. Di gerbang ini begitu banyak kenangan yang tak terlukiskan. Di sinilah awal mulanya aku banyak belajar tentang arti kehidupan. Oh Thawalib…apa kabarmu hari ini?

Adzan subuh berkumandang di seantero kota Serambi Mekah. Kurogoh beberapa lembaran uang seribuan dalam saku celanaku lalu memberikan kepada tukang ojek dan mengucapkan “mokasiah Da…”

Aku pun berjalan menuju masjid Mujahidin, masjid Thawalib yang penuh dengan kenangan. Di sinilah telah banyak melahirkan singa-singa podium. Dan kini podium itu masih saja menunggu calon-calon singa yang akan berteriak lantang kepada kezhaliman.

Para santri Thawalib pun sudah mulai bangun dan menuju ke masjid. Meskipun ada juga yang lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya daripada bangun ke masjid. Biasanya yang selalu membangunkan para santri adalah Pak Pidri. Ia adalah guru bahasa inggris kami. Namun beliau sangat perhatian kepada para santri termasuk masalah shalat berjamaah di masjid.

Aku shalat tepat di belakang Imam, sepertinya beliau adalah Ustadz Metra. Mungkin beliau sudah lupa dengan wajahku. Makanya ia tidak begitu memperhatikanku. Namun setelah shalat aku langsung menyalami beliau dan memperkenalkan diri. “Ana Fathan ustadz…alumni Thawalib tahun 2007”. “Oohh nak Fathan, gimana sekarang? Udah selesai kuliah di Mesirnya? “Alhamdulillah ana udah selesai tahun ini Stad.”

Setelah itu beliau langsung menyuruhku untuk menyampaikan kuliah subuh di hadapan para santri Thawalib. Tak lupa kuberikan semangat kepada mereka untuk menuntut ilmu di Mesir. Karena Mesir adalah gudangnya ilmu pengetahuan agama wabil khusus di Al Azhar.

***

Hape blackberry ku berteriak tanda ada seseorang yang menelpon. “Fathan, Antum di mana sekarang?” Aku di Padang Panjang, nah kebetulan nih ntar Maghrib ada pengajian di masjid “Jihadu Walidaina” Antum bisa ngisi kan?” Soalnya Ustadznya berhalangan hadir. Jadi sayangkan kalau kosong saja. “Oke Insya Allah saya akan datang. Ternyata yang menelpon ku adalah sobat lamaku yang tinggal di Padang Panjang. Ia sekarang adalah aktivis dakwah kampus dan sekarang ia juga yang mengurusi jadwal pengajian di masjid Jihadu.

Sebelum Maghrib aku sudah berada di masjid Jihadu, sudah lama juga aku tidak mencium karpet masjid ini. Dulu aku sering singgah di masjid ini jika pergi ke pasar. Sebab masjid ini tepat berada sebelum masuk pasar kota Padang Panjang. Masjid Jihadu termasuk salah satu masjid termegah di Padang Panjang. Tempat wudhunya ada di lantai bawah. Apalagi masjid ini di desain begitu indah sekali.

Usai Maghrib kulihat ke belakang, ternyata ramai juga jamaahnya sekarang. Tidak hanya orang tua-tua saja tapi ada juga beberapa orang anak muda yang punya semangat keislaman yang kuat. Temanku tadi langsung mengambil mix dan menyampaikan kepada hadirin.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu yang dirahmati Allah…karena Ustadz Tarmizi yang seharusnya mengisi malam ini berhalangan hadir. Maka pada malam hari ini kita kedatangan tamu dari Mesir yang akan menyampaikan pengajian malam ini. Beliau adalah Ustadz Fathan Fathullah. Beliau baru saja pulang dari Mesir setelah menyelesaikan program S2 di Al Azhar.”

“Bismillah…”batinku. Dengan tenang dan sok berwibawa aku menuju kursi yang telah disediakan untuk ustadz yang berceramah. Malam itu aku mengangkat tema tentang peran orang tua dalam mendidik anak. Karena aku melihat masih banyak orang tua yang acuh tak acuh melihat anaknya berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya. Bahkan si orang tua merasa bangga kalau anaknya sudah laku. Aku menerangkan sampai tuntas bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang bertanggung jawab atas mendidik anak dan mengajarkan agama kepada mereka.

Adzan Isya pun berkumandang, itu tandannya aku harus mengakhiri pengajian malam ini. Akhirnya kututup dengan sebuah cerita tentang orang yang tua durhaka, disebabkan karena tidak mengajari anaknya. Wajah para jamaah tampak puas dengan penjelasanku, tapi entahlah apakah materi ini sekadar materi atau akan menjadi amal kebaikan. Mudah-mudahan saja.

Seorang bapak menghampiriku setelah shalat. “Nak, mampirlah ke rumah. Rumah bapak dekat gang cempedak nomor 04. “Insya Allah pak kapan-kapan ada waktu saya ke sana” jawabku.

Akhirnya setelah beberapa hari di kota Serambi Mekah. Aku akan pulang ke Taluk Kuantan. Sebuah kota yang tak kalah indahnya dengan kota ini. Tapi sebelum itu aku berniat untuk berziarah ke rumah bapak yang sudah menawariku ketika pengajian malam itu.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam…”

“Eh, ada Ustadz Fathan rupanya. Masuk Stad…” jawab sang Bapak.

Kami bercerita ngalor ngidul dengan sang Bapak. Ternyata bapak ini juga Alumni Thawalib, tapi alumni tahun 60-an. Tentu saja aku belum lahir waktu itu. Dan rupanya bapak ini punya anak yang juga kuliah di Kairo.

“Insya Allah anak bapak juga akan pulang tahun ini dari Kairo” cerita sang bapak padaku. “Dan ngomong-ngomong apakah nak Fathan sudah punya calon?”. “Anu pak…aku semakin bingung menjawab pertanyaan sang bapak. “Kebetulan belum ada yang mau pak,” jawabku malu-malu. Yha, sudah. ..kalau nak Fathan bersedia jadi menantu bapak datanglah minggu depan ke rumah. Insya Allah anak bapak pulang minggu depan.

Aku semakin bingung, apakah tawaran ini kutolak saja atau kuterima. Padahal aku kan belum tahu siapa anak bapak tersebut. Setelah aku istikhorahkan dan bermusyawarah dengan orang tua. Mereka pun setuju jika aku menikah. Yang penting calonnya cakep. Cakep imannya, cakep hatinya, dan cakep ilmunya. Hehe

Tepat hari ahad aku kembali ke Padang Panjang untuk menemui sang bapak. Dan ternyata anak bapak tersebut adalah Sarah Fauqiyah. Dulu aku sering dengar nama Sarah Fauqiyah ketika di Kairo. Oh yha, aku baru ingat dia kan mantan ketua Wihdah. And Finally… aku pun mengkhitbah Sarah Fauqiyah dan menikah di kota Serambi Mekah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 7.33 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization