Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hamim

Hamim

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (kawanimut)

dakwatuna.com – Hari yang cerah untuk jiwa yang lelah. Deburan ombak ambisi membias detak jam hingga waktu begitu berarti. Kulalui detik demi detik, deras mengalir darah di tubuh ini menghantam relung kebebasan di jiwa. Sinar pandang membara liar di bola mata. Saraf-saraf neuron terus menghantarkan jutaan informasi setiap detiknya.

SAHABAT, itulah kata seribu makna, banyak misteri di dalamnya. Sebuah simpul yang dapat mengikat hati manusia. Memotivasinya untuk mengarungi samudra kehidupan, mampu menemani hujan belantara, mendaki tonggak langit Mount Everest dan menelusuri luasnya ruang khayal. Dalam diri tengah berkecamuk perang besar. Kebaikan versus kejahatan, arogan dengan rendah hati, hawa nafsu dengan keimanan. Semuanya tak kan terlihat gemuruhnya, tak kan terdengar kerontangnya melainkan hanya dapat dirasakan oleh hati. Hati yang jernih, suci, sabar, dan tanpa pamrih. Hidup seperti tak berarti tanpa di temani sahabat. Bak malam tanpa bulan pagi tanpa mentari, udara tanpa angin. Semuanya tandus tak dapat tumbuh apapun di atasnya.

Syukur tak henti tercurah ketika ada sahabat yang selalu menemani walau terpisah jarak. Begitu juga aku, cukup banyak sahabatku dengan berbagai macam karakter mereka yang berbeda. Ada yang lemah lembut, keras, kasar, sensitif, proaktif, cerewet dan lain sebagainya. Kurangkul mereka ketika sedih, senang, sengsara ataupun bahagia. Di pagi hari libur sekolah aku bersama sahabat-sahabatku meluangkan waktu untuk berkumpul bersama, berbagi cerita, berbagi masalah dan tentunya berbagi kabar. Di bawah pohon rindang di atas bale-bale bertikar kami duduk melingkar berkerumun. Arya, Tino, Syahif, Arul dan aku pagi itu telah sarapan bersama. Kami menyantap nasi liwet yang begitu nikmat walau hanya dengan lauk seadanya.

“Ooo…. wah…  alhamdulillah” Arul bersendawa.

“Nikmat kali sarapan pagi ini” Syahif angkat bicara.

Aku mengelus-elus perutku yang hampir membuncit. Tino meneguk air es yang ada di botol air mineral. Kami sahabat setia, sejak SMP kami saku sekolah terus sampai sekarang. Kami memiliki SMA yang sama pula tapi ada satu dari kami yang terpisah di atas kehendak takdir yaitu Azzam. Ia pindah rumah dan sekolah di luar kota karena ayahnya berpindah tugas. Kadang kami merindukan Azzam, ia adalah teman yang paling humoris. Kalau kumpul bersamanya pastilah kami banyak tertawa bercanda.

“Hey fren. Aku jadi inget sama Azzam. Kalian masih inget gak?”

“Azzam… yah masih inget lah” Jawab Tino.

“Emang kenapa?” Tanya Syahif

“Lagi ngapain ya … dia sekarang. Jadi kangen, coba kita punya nomor HP nya yang bisa di hubungi atau kita tahu alamatnya yang sekarang mungkin kita bisa datang ke rumahnya”

“Iya yaa… benar juga. Terus gimana nih?”

“Rul aku punya ide. Kalau nanti lulus SMA kita berpisah. Jangan sampai kita terputus hubungan dan harapannya kita bisa sukses dan membuktikan pada dunia sampai Azzam mampu bertemu dengan kita”

“OK. Aku setuju, itu ide yang bagus”

“Yes. That is a good idea” teriak Arul

“Ah so inggris lu”

Kami tertawa sembilu. Aku berbaring kemudian di ikuti Tino, Arul dan semuanya ikut berbaring. Dengan terlentang kutatap pohon rindang di atas kami. Sinar-sinar matahari mulai menembus menyelundup di tengah celah dedaunannya. Sesekali angin bertiup banyak menggugurkan bagian dari pohon dan kadang daun kering mendarat di atas tubuhku.

“Aku mau nanya nih sama kalian”

“Nanya apa Rul?” dengan sigap kutanya kembali Arul.

“Nanya soal eksak, umum, sosial, atau agama? Tenang aja kan ada kami” lanjutku.

Kutawarkan hal itu pada Arul karena kalau ada hal yang belum di mengerti olehnya. Ia selalu bertanya kepada kami sahabatnya. Jika itu masalah eksak Arya jagonya. Kalau umum dan sosial Tino bidangnya. Kalau yang agamis Syahif orangnya dan aku sendiri mungkin tau yang lain.

“Kalian pada tahu gak VMJ ?” kami melongok.

“Apaan tuh? “

Sosoknya terdiam sebentar, dengan sok ia memperjelas pertanyaannya. “Begini… VMJ itu singkatan tau. V-nya virus, M-nya merah dan J-nya jambu. Jadi, kalau di gabungkan jadi virus merah jambu. Gitu loh maksudku.”

“Ooooh…” setengah tertutupi rasa penasaranku.

“Kayaknya ini masuk ke pertanyaan eksak, coba Arya kamu yang jelasin” suruhku.

Arya menganggukkan kepalanya. Pertanda ia sedang berpikir.

“Hmm… mungkin itu salah satu virus yang menyerang pohon jambu dan warna virusnya merah, gimana jawaban ku?”

“Kok gitu sih, kayaknya gak nyambung deh”. Arul menyela.

“Sebenarnya aku tahu apa yang di maksud VMJ itu tapi ga enak juga kalau kalian ga ku kasih tau” Arul bicara lagi.

“Katanya sih VMJ itu nyerang orang-orang seumuran kita, ih takut”

“Gini loh fren. VMJ benar kata Arul tadi bisa nyerang orang seumuran kita. Tapi itu bukan penyakit, tapi itu…”

“Itu apa?” potong Arul.

“Itu bukan virus bener-bener virus. Tapi itu hal yang membuat seseorang mulai menyukai atau tertarik sama lawan jenis dan itu sudah sunnatullah ko “

“Ooh jadi VMJ itu virus cintrong toh.” Ujar Tino

“Apa tuh cintrong?” tanya Arul kembali.

“Udah kamu rul, cintrong itu maksudnya cinte. Tau loe sekarang. He he…” ledek Tino. Ke sana ke mari obrolan kami melebar ke mana-mana waktu itu. Hingga hari mulai siang dan mentari semakin meninggi. Tak ayal salah satu dari kami, Arul mendaratkan celetukannya.

“Hey fren, pada punya tipe ukuran cewek kayak apa yang kalian suka ga? Menurut kalian cewek yang cantik itu yang seperti apa sih. Coba dari kamu dulu no”

“Kalau menurutku cewek cantik itu body nya oke, rambutnya panjang. Mukanya bersih plus punya inner beauty”. Tino kembali memutar otaknya.

“Wah keren banget”

“Kenapa kamu rul?”

“Nnggak, aku Cuma ngebayangin aja?”

“Ah kamu siang-siang gini ngebayangin yang enggak-enggak”

“Kalau menurut Arya gimana?” lanjut Arul

“Wah belum kepikiran tuh”

“Kalau kamu fis?”

“Duh gimana yaa. Lewat aja dulu lewat. Aku belum bisa jawab”

“Nah sekarang giliran kamu syahif, gimana? Hehe…?

Syahif lebih kelihatan agamis dibanding kami. Pikirku ia juga belum bisa menjawab pertanyaan itu. Soalnya dulu juga ia seperti alergi kalau ngombrolin masalah kayak gituan. Tapi tak kusangka kali ini ia mau mengungkapkan pendapatnya juga.

“Kalau menurutku… cewek cantik itu pastinya cantik luar dalam, Shalihah, perkataannya manis, pinter, kayak artis pokoknya perfect deh” Boleh juga pendapatnya walau sebenarnya ya kaya gitu si Syahif yang alim.

***

Benderang siang telah lalu. Waktu Ashar pun tiba dengan segera kupenuhi. Dalam sujud terakhirku memohon padaNYa dengan segala kerendahan hati. Aku ingin punya ukuran untuk wanita yang cantik yang kuharap bisa menemaniku kelak.

“Ya Allah pertemukanlah dengan orang itu…” rintihku dalam hati.

Ba’da Ashar aku pergi ke supermarket dan ke toko buku. Setelah rentang beberapa waktu aku pun pulang. Dalam kesendirian di tengah ramainya deru mesin kendaraan. Ku telusuri trotoar-trotoar jalan. Langkah demi langkah ku tempuh tanpa disadari aku hampir sampai di perempatan lampu merah. Mentari sore hampir meredam kilau putihnya, berganti merah ke kuning-kuningan. Sesekali ku alihkan pandangan ini ke seberang jalan tepat ke toko kaset. Berjejer pernak-pernik kepingan CD berkilauan memantulkan sinar terang. Beberapa saat aku tiba di pinggir perempatan, lampu lalulintas berkedip menjadi merah, aku pun berdiam menunggu giliran.

Di sela waktu itu terlihat tanpa sengaja gadis seumuranku berkerudung hitam dan ditentengnya tas. Ia berjalan mengikuti jalur seberang. Hatiku membisu dengan begitu dingin. Cara berjalannya, kerudungnya menjuntai lebar menutupi baju putihnya. Sekejap ku lihat gadis itu. Subhanallah parasnya sungguh indah sekali.

Di situlah hatiku tertegun, mungkin cita-citaku saat ini aku akan menumpahkan perasaan dari raga ini untuk orang seperti dia. Ya Allah, aku bersyukur telah di beri kesempatan itu yang membuat mahligai diri ini bergetar merona di kelapangan hati.

Rumput sore bergoyang-goyang menari di ufuk barat. Ilalang putih berdiri berjajar. Tak ku kenal perempuan itu. Ia berlari-lari di balik rimbunan ilalang yang tertiup angin tipis. Ketika tersadar, setelah kuperhatikan ia tersenyum manis dengan bibir merahnya yang tipis. Dalam jarak yang begitu dekat, ia tepat berada di hadapanku. Pandangan matanya menusuk ke dalam lubuk hati. Membuat aku tergugup tak mampu berkata-kata. Angin bertiup membawa semerbak wangi tubuhnya yang tiada tara. Dengan segenap kemampuan ku paksakan bibir ini untuk bergerak.

“Siapa adik ini?” tanyaku sedikit malu. Ia terdiam, tangannya menyentuh pundakku dan dadaku semakin bergegup kencang.

“Kak, duduklah” tangannya yang di atas pundakku membuat aku menurunkan tubuh ini duduk di sebuah batu bak singgasana. Tangannya terlepas, tak lama tangan itu mengarah ke atas kepalaku dengan diapitnya ia meletakkan mahkota ilalang di atas kepalaku. Setelah mahkota itu bertengger. Serempak penampilannya berubah ia sekarang bak bidadari mengenakan kerudung putih dan ia pun mengenakan mahkota yang sama.

“Kak, kalau Anda sabar ini akan menjadi lebih indah. Ingatlah bahwa perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik semoga engkau mampu bersabar untuk memupuk kebaikan dalam dirimu” begitulah ujarnya meresap ke dalam telingaku. Hingga sampai di ruang ingatan otakku.

“Astagfirullahal adzim” ku tengok jam dinding terpatri pukul tiga dini hari. Ku usap kedua mataku setelah ku terjaga dari tidur.

“Alhamdulillahilladzi ahyana ba’dama amatana wa ilaihi nusur “

“Huh… hamiim”

“Hanya mimpi”

Tapi mimpi yang paling indah untukku yang mengharapkan keridhaanNya. Aku pun tersenyum dalam kesendirian di pagi yang sejuk saat langit masih gelap. Dan aku pun bergegas mengambil air wudhu untuk mendirikan shalat malam.

“Baiklah, akan aku tolong”

Kemudian sang pipit terbang di atas tubuhku, ia berputar-putar dengan matanya yang tajam memperhatikanku. Dari kejauhan sang pipit memulai peluncuran untuk menabrak dan menjatuhkanku. Bak seperti pesawat tempur, sang pipit dengan membacakan basmallah maka terdoronglah aku hingga terjatuh menggelinding di atas hamparan kerikil merah. Setelah itu para semut bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, begitu pun sang pipit terbang tanpa salam, ia pergi meninggalkanku tergeletak di tanah.

“Ada pa wahai para sahabatku, kenapa kalian pergi meninggalkan aku? Tolong beri tahu aku apa yang terjadi”.

Ternyata yang empunya mendengar jatuhnya aku dan sekarang menuju diri yang tak berada ini. Maka diambilah aku oleh pemilikku dan kemudian di bawa ke suatu tempat oleh mereka, tempatnya di sisi jalan Jenderal Subroto dan di tempat itu aku pun di gunakan. Sedikit demi sedikit aku di semprotkan pada sebuah tembok tegar hingga aku sekarang meninggalkan wadah yang selama ini menjadi tempat berteduhku. Wadahku di buang dan ditendangi oleh para pejalan kaki yang menganggur hingga di ambil oleh seorang yang masih perhatian akan kebersihan. Kini hanya malam yang dingin menyelimuti diri ini. Hujan pun turun menghampiriku dan lambat laun menjadikan kepudaran, bagian tubuh ini larut di bawa oleh derasnya air yang mengalir.

Lihat gedung yang di bangun itu, kenapa aku tidak digunakan di sana? Lihat orang tua itu yang penuh keringat mengayuh sepeda itu, kenapa aku tidak digunakan pada sepeda itu? Yang mungkin akan menjadikannya lebih menarik. Ribuan orang mondar-mandir di depanku, namun tak ada satu pun yang simpati akan keadaanku. Mereka hanya melirik, melirik, dan melirik saja. Pejabat yang lewat pun tetap tidak memperhatikan ku, padahal mereka-mereka itu punya kuasa yang besar untuk merubah mental bangsa ini dan mereka punya harta berlimpah untuk membangun infrastruktur yang layak.

Sedang apa aku sekarang. Hanya diamkah aku menghadapi semua ini. Aku pun berdoa kepada sang maha perhatian terhadap hambaNya.

“Ya Allah, sesungguhnya aku tak mau menjadi benda yang di mudharatkan oleh tangan manusia. Tunjukkanlah keadilanMu ya Rabb”

Akhirnya pada suatu waktu ada pengecat kota utusan pemerintah setempat mengecat rapi tembok di mana tempat aku bertengger.

“Terima kasih wahai warna baru, gantikanlah aku yang telah usang ini. Semoga engkau dapat menjaga keutuhanmu. Dan semoga engkau tak di kotori lagi oleh warna seperti diriku”.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 6.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa di Purwokerto. Salah seorang anggota KAMMI Daerah Purwokerto. Anak pertama dari 3 bersaudara. Anggota juga di Forum Lingkar Pena Purwokerto.

Lihat Juga

Doa dan Munajat untuk Keselamatan Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

Figure
Organization