Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Tangisan Warna

Tangisan Warna

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Sejauh ini aku di perlakukan dengan baik oleh para buruh-buruh itu. Mereka telah membuatku lebih berkualitas dari pada bentukku di masa yang lalu. Demi memenuhi kehidupan keluarga, mereka bekerja keras memeras keringat, membanting tulang, meneteskan air mata demi menghasilkan produk yang baik dan tidak mengecewakan orang lain dan tentunya menjadi suatu nilai ibadah di mata Allah swt.

Dari bahan baku yang tak seberapa nilainya, berangsur-angsur di tempa dan di proses hingga akhirnya menjadi output produk yang indah bersegel dan high quality tentunya. Alhamdulillah, pihak distributor pun telah menyalurkanku dengan baik dan selamat kepada grosir-grosir dan toko-toko. Kini badanku di bungkus dengan tabung kaleng yang cantik dengan merek beserta background yang indah di permukaan yang halus bagai kaca hiasan istana. Aku juga di buat menjadi berwarna demikian elok yang sedap untuk di pandang. Aku dan teman-temanku kini berada dalam suatu dus dan di susun secara rapi. Kini kami tinggal menunggu giliran hingga saatnya nanti konsumen datang. Teman-teman di sampingku satu persatu meninggalkanku. Hingga pada akhirnya teman yang berhimpitan denganku diambil juga, tapi tak lama ia pun di kembalikan dan aku pun terkejut melihatnya.

“Ada apa gerangan sehingga kau di kembalikan?”

“Enggak, tadi calon pembeli menanyakan hargaku dan katanya kurang terjangkau olehnya”

“Katanya sih aku ini mau di gunakan untuk pembuatan kaligrafi, tapi ga jadi deh karena kita ini bermerek pilox dan harganya memang mahal”

Sayang juga ya, aku jadi tak bangga walau aku sangat istimewa. Al adlu … Allah memang maha adil. Hari demi hari telah berlalu. Waktu terus berjalan seiring berputarnya sang matahari serta gemerlapnya bintang yang tak lagi ku saksikan.

“Wah… siapa dua orang itu?”

Dua orang laki-laki itu mendatangiku. Penampilannya sangat tidak senonoh.  Mereka mengenakan seragam sekolah tapi tidak mencerminkan seorang pelajar, mereka seperti berandalan yang tidak berpendidikan.

“Koh, yang ini harganya berapa?”

“Oh yang itu harganya dua puluh ribu” jawab si pemilik toko seketika menunjukkan telunjuknya kepadaku.

Kulihat para pemuda itu. Celana abu abu mereka telah mereka gayakan seperti para musisi yang sedang pentas di panggung, padahal musisi yang seperti itu pernah dilarang masuk ke gedung pemerintahan walaupun mereka sudah tenar di dunia musik.

“De, memangnya jam segini sudah pulang sekolah?”

Aku pun melirik dinding yang menunjukkan pukul 09.57.

“Biasa pak, kita ini kan habis ujian Nasional. Jadi kita yaaa lagi bebas”

“Bebas gimana?”

“Ya, gak belajar. Berangkat dan pulang semau kita pak”

“Terus pilox ini buat apa?”

“Ya biasa, buat kelulusan”

Kalau aku ini bernyawa aku ingin sekali menghindar dari mereka yang akan menggunakanku di jurang kemudharatan. Namun aku pun resmi dimiliki oleh mereka. Kemudian, mereka beranjak membawaku dari dus ini dan dimasukkan ke dalam plastik itu. Motor yang membawa mereka sangat bagus dan ngetrend di kalangan remaja. Seorang yang tadi mengendarainya menghidupkan motor mereka. Keduanya pun mulai meninggalkan area toko. Entah ke mana aku akan dibawa. Aku di bawa ugal-ugalan di jalan raya, seakan mereka di kendalikan oleh syeitan. Hampir-hampir pengendara becak itu mereka tabrak juga. Suara motor mereka juga sangat bising dan mengganggu orang-orang di pinggir jalan serta mengganggu pengguna fasilitas jalan yang lain.

Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kami berhenti di sebuah tempat. Kulihat banyak teman-teman mereka yang tak jauh berbeda penampilannya. Dan aku di letakkan di atas tangki motor. Tak habis pikir, para remaja ini mau melakukan apa terhadap diriku. Padahal seharusnya mereka belajar di sekolah. Seekor semut kemudian mendengar jeritanku, ia menoleh dan menghampiriku.

“Wahai semut yang selalu bertasbih, tolong bawa aku dari tempat ini”

“Ada apa wahai makhluk Allah, kenapa kau ingin pindah dari tempat ini?”

“Aku sangat sedih. Orang-orang itu akan menggunakanku dengan Cuma-Cuma tanpa memperhatikan suatu manfaat dari perbuatan mereka, cepatlah tolong aku!”

“Tapi mana kuat tubuh yang kecil ini memindahkan tubuh sebesar kamu”

“Wahai para semut, tolong teriakkan suara kalian dan panggil burung yang sedang terbang itu, mungkin setidaknya ia bisa menjatuhkan aku dari tempat ini”

Para semut pun menjerit, dan terlihat seekor burung menengok dari udara.

“Ada apa mereka, bergerombol memanggilku, apa aku harus turun”

Sang pipit pun turun dengan perlahan di depan segerombolan semut yang sedang kebingungan yang berbaris memperhatikan burung pipit turun.

“Ada apa wahai sahabat? Kalian memanggilku”

Komandan dari para semut menghadap sang pipit remaja dengan berlari dan tergesa-gesa. Empat kakinya menghadang bebatuan kerikil yang panas di sengat sinar matahari.

“Wahai sang pipit, ada teman kita makhluk Allah yang memerlukan bantuan”

Komandan semut pun menjelaskan permasalahannya. Kemudian sang pipit mengangguk-angguk mendengar penjelasan sang semut.

“Baiklah, akan aku tolong”

Kemudian sang pipit terbang di atas tubuhku, ia berputar-putar dengan matanya yang tajam memperhatikanku. Dari kejauhan sang pipit memulai peluncuran untuk menabrak dan menjatuhkanku. Bak seperti pesawat tempur, sang pipit dengan membacakan basmallah maka terdoronglah aku hingga terjatuh menggelinding di atas hamparan kerikil merah. Setelah itu para semut bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, begitu pun sang pipit terbang tanpa salam, ia pergi meninggalkanku tergeletak di tanah.

“Ada pa wahai para sahabatku, kenapa kalian pergi meninggalkan aku? Tolong beri tahu aku apa yang terjadi”.

Ternyata yang empunya mendengar jatuhnya aku dan sekarang menuju diri yang tak berada ini. Maka diambilah aku oleh pemilikku dan kemudian di bawa ke suatu tempat oleh mereka, tempatnya di sisi jalan Jenderal Subroto dan di tempat itu aku pun di gunakan. Sedikit demi sedikit aku di semprotkan pada sebuah tembok tegar hingga aku sekarang meninggalkan wadah yang selama ini menjadi tempat berteduhku. Wadahku di buang dan ditendangi oleh para pejalan kaki yang menganggur hingga di ambil oleh seorang yang masih perhatian akan kebersihan. Kini hanya malam yang dingin menyelimuti diri ini. Hujan pun turun menghampiriku dan lambat laun menjadikan kepudaran, bagian tubuh ini larut di bawa oleh derasnya air yang mengalir.

Lihat gedung yang di bangun itu, kenapa aku tidak digunakan di sana? Lihat orang tua itu yang penuh keringat mengayuh sepeda itu, kenapa aku tidak digunakan pada sepeda itu? Yang mungkin akan menjadikannya lebih menarik. Ribuan orang mondar-mandir di depanku, namun tak ada satu pun yang simpati akan keadaanku. Mereka hanya melirik, melirik, dan melirik saja. Pejabat yang lewat pun tetap tidak memperhatikan ku, padahal mereka-mereka itu punya kuasa yang besar untuk merubah mental bangsa ini dan mereka punya harta berlimpah untuk membangun infrastruktur yang layak.

Sedang apa aku sekarang. Hanya diamkah aku menghadapi semua ini. Aku pun berdoa kepada sang maha perhatian terhadap hambaNya.

“Ya Allah, sesungguhnya aku tak mau menjadi benda yang di mudharatkan oleh tangan manusia. Tunjukkanlah keadilanMu ya Rabb”

Akhirnya pada suatu waktu ada pengecat kota utusan pemerintah setempat mengecat rapi tembok di mana tempat aku bertengger.

“Terima kasih wahai warna baru, gantikanlah aku yang telah usang ini. Semoga engkau dapat menjaga keutuhanmu. Dan semoga engkau tak di kotori lagi oleh warna seperti diriku”.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa di Purwokerto. Salah seorang anggota KAMMI Daerah Purwokerto. Anak pertama dari 3 bersaudara. Anggota juga di Forum Lingkar Pena Purwokerto.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization