Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Keluarga Besar Sebagai Penguat Dakwah

Keluarga Besar Sebagai Penguat Dakwah

Ilustrasi. (fitb.itb.ac.id)

dakwatuna.com –Aktivitas dakwah tidak pernah sepi dari hambatan, ancaman, gangguan dan tantangan. Ini sudah menjadi kodrat dan watak dari dakwah. Oleh karena itu, para aktivis harus selalu berusaha untuk menyiapkan diri untuk menghadapi berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi di sepanjang aktivitas dakwah.

Upaya persiapan menghadapi gangguan dalam dakwah ini bisa dilakukan oleh para aktivis dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya, maupun memanfaatkan berbagai potensi yang ada di sekitarnya. Salah satu potensi yang bisa digunakan untuk menguatkan dakwah adalah jaringan kekeluargaan, kekerabatan, kesukuan dan kedaerahan. Jaringan semacam ini jika dimanfaatkan untuk hal yang positif, akan memberikan dampak dan hasil yang positif pula.

Di Indonesia, jaringan kekeluargaan dan kedaerahan ini sangat kuat. Fenomena mudik yang selalu kita jumpai pada akhir Ramadhan dan awal Syawal, adalah bukti nyata betapa kuat ikatan kekeluargaan dan kedaerahan. Masyarakat rela menempuh perjalanan panjang dan berisiko, agar bisa bertemu dan berkumpul dengan orang tua, saudara, keluarga besar (trah), kerabat, handai taulan dan tetangga di kampung halaman asal. Jika ikatan ini dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, maka akan memberikan kontribusi yang positif pula dalam dakwah.

Di berbagai daerah di Indonesia, ada ikatan keluarga atau trah yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Secara turun temurun, trah tersebut mendapatkan penghormatan karena jasa-jasa para pendahulu mereka yang memiliki jasa besar bagi masyarakat sekitar, atau karena dikenal sebagai keluarga kaya yang dermawan dan suka menolong kesulitan orang-orang lemah dan miskin. Trah seperti ini dihormati dan disegani oleh masyarakat, lebih dari trah yang lain.

Jika aktivis dakwah mampu memanfaatkan ikatan kekeluargaan atau ikatan kedaerahan menjadi penguat dakwah, hal itu akan sangat memberikan kontribusi yang besar dan efektif bagi perkembangan dakwah di wilayahnya. Kadang ditemukan hambatan dakwah yang berasal dari ketokohan seseorang senior di sebuah wilayah. Sang tokoh merasa terganggu oleh karena dakwah yang dilakukan oleh anak-anak muda yang dianggapnya “bau kencur” atau dianggap “anak kemarin sore”. Hambatan seperti ini salah satunya bisa dihadapi dengan nama besar keluarga sang aktivis.

Perhatikan beberapa arahan Al Qur’an dalam ayat-ayat berikut:

“Luth berkata: Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)” (QS. Hud: 80).

“Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami” (QS. Hud: 91).

Pada ayat yang pertama, kisah dakwah Nabi Luth yang merasakan tekanan demikian berat dari kaumnya, namun Nabi Luth tidak memiliki potensi yang cukup untuk menghadapinya. Sedangkan pada ayat kedua, Nabi Syu’aib mendapatkan tantangan dari kaumnya, namun terlindungi karena faktor keluarga besar Nabi Syu’aib.

Beberapa pelajaran fiqih dakwah yang bisa kita ambil dari dua ayat di atas adalah:

1.   Pentingnya memiliki ikatan kekeluargaan yang kokoh

Dalam ayat pertama di atas, tampak Nabi Luth tengah mengandaikan memiliki pelindung dari kalangan keluarga. “Luth berkata: Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat”. Dalam kesendiriannya menghadapi gangguan kaum yang durhaka, Nabi Luth merasakan urgensi untuk memiliki ikatan kekeluargaan yang kokoh, yang dapat membantu beliau menghadapi tantangan dakwah.

Oleh karena itu, para aktivis dakwah hendaknya memiliki ikatan kekeluargaan yang kokoh.  Jangan sampai aktivis dakwah memisahkan diri dari ikatan kekeluargaan besar yang dimilikinya. Dukungan keluarga ini dirasakan kemanfaatannya oleh Nabi Syu’aib yang menjadi terlindungi dari gangguan kaumnya, karena kaum tersebut merasa segan kepada keluarga besar Nabi Syu’aib.

2.   Dakwah bisa dikuatkan oleh ikatan kekeluargaan

Dakwah bisa dikuatkan oleh banyak potensi, salah satunya adalah potensi kekeluargaan. Sebagian kalangan aktivis menganggap perlindungan dakwah sudah cukup dengan payung hukum dan undang-undang, padahal dalam kenyataannya dakwah di tengah masyarakat sangat memerlukan bentuk perlindungan lain yang lebih praktis dan teknis. Masyarakat akan memberikan apresiasi bagi dakwah yang dibawa oleh seorang aktivis, salah satunya karena pertimbangan keluarga.

Kaum Nabi Syu’aib memberikan kesaksian tentang hal ini, “…kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”. Sangat jelas bahwa dakwah bisa dilindungi dan dikuatkan oleh ikatan kekeluargaan yang kokoh.

3.   Aktivis dakwah harus berusaha mencari sumber kekuatan bagi dakwah

Dakwah memerlukan banyak sarana untuk mendukung kelancarannya dan menguatkan perannya di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sarana-sarana yang bisa menguatkan aktivitas dakwah harus terus menerus dicari dan diusahakan, agar bisa digunakan pada saat yang tepat dan pada saat diperlukan. Sarana tersebut bisa berupa kekuasaan, kelembagaan, kekeluargaan, hubungan persahabatan, payung hukum positif, dan lain sebagainya.

Ungkapan Nabi Luth sangat jelas menggambarkan kebutuhan akan sarana penguat dakwah ini. “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu”. Tentu saja sarana-sarana yang dimaksud haruslah yang sesuai dengan prinsip syariah, dan tidak boleh menggunakan sarana yang bertentangan dengan syariah.

4.   Pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan

Mengingat ikatan kekeluargaan bisa digunakan sebagai saran untuk mendukung dan menguatkan dakwah, maka para aktivis harus selalu berusaha untuk menjaga hubungan kekeluargaan. Para aktivis harus berusaha untuk hadir dan membersamai kegiatan trah atau keluarga besarnya, agar mereka merasakan kedekatan emosional dan menjadi satu bagian yang kuat dengan seluruh anggota keluarga besar. Bukan menjadi pihak yang terasing dan terkucil karena tidak pernah terlibat dalam kebersamaan dengan trah.

Dalam sebuah ikatan keluarga besar (trah), maka akan sangat aneh jika seorang aktivis tidak pernah muncul dalam pertemuan dan keperluan trah tersebut, namun meminta dukungan dari trah. Mereka akan dengan mudah mengatakan, bahwa sang aktivis hanya memanfaatkan trah untuk kepentingan pribadi. Hal ini terjadi disebabkan keluarga besar tersebut tidak merasakan adanya kedekatan emosional dengan sang aktivis dikarenakan ia tidak pernah kelihatan dalam pertemuan dan kegiatan trah.

Wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:

Muhammad Haniff Hassan, Fiqh Dakwah dalam Al Qur’an, IIFSO Malaysia – Singapore, 2004

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...
Senior Editor di�PT Era Intermedia, Pembina di�Harum Foundation, Direktur�Jogja family Center, Staf Ahli�Lembaga Psikologi Terapan Cahaya Umat. Alumni�Fakultas Farmasi�Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization