Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kemaafan yang Sungguh

Kemaafan yang Sungguh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi.

dakwatuna.com – Banyak maaf yang tersendat dikarenakan memang hati tak sepenuhnya memaafkan, kadang ia bermula dari ketidakterimaan keadaan yang terjadi dan kala yang salah meminta maaf seolah tiada maaf yang boleh terucap, seolah lidah tak mampu bergerak lagi dan senyum tak bisa merekah lagi, semuanya hancur luluh karena kesalahan yang super kecil.

Pernahkah kita sadari dalam interaksi akan ada keliru dan jalan terbaik mengatasi keliru adalah meminta maaf bagi yang melakukannya dan menerima maaf bagi yang terkena imbas dari kekeliruan itu. Bayangkan saja nenek tua yang sedang asyik berjalan di trotoar namun tiba-tiba diserempet dari belakang oleh pengendara motor yang melanggar lalu lintas, menaiki trotoar dan memasang wajah innocent seolah menaiki trotoar adalah imbas dari kesalahan sistemik pemerintah, ya kata mereka,

Salah pemerintah dong, siapa suruh jalanan macet, mending naik trotoar aja sekalian!

Betapa mudahnya menyalahkan kan? Oke kini kembali ke nenek tua tadi,  bayangkan ia diserempet, terjatuh dan terdapat luka memar di siku kanannya, tak ada darah yang mengalir memang namun darahnya sudah kunjung mendidih. Namun terkadang usia, kedewasaan berpikir mampu menaklukkan segala amarah yang ingin membuncah kan? Nenek itu berujar datar,

Nak, lain kali jangan naik trotoar lagi, kasian pejalan kaki seperti nenek nanti kena serempet ^^

Dengan wajah datar, tenang sambil melepas senyum simpul dibalik wajahnya yang tak kencang lagi. Dari kisah di atas dapat diambil sebuah konklusi, bahwa memaafkan itu berat namun adakala ketika maaf mampu memberikan rasa ingat yang tertanam sehingga boleh jadi pasca kejadian tadi sang pengendara sudah kapok dan merasa bersalah seumur hidupnya karena telah menyerempet seorang nenek tua. Bukankah rasa sesal yang mendalam dapat membersihkan noda hitam yang melekat? Layaknya pertaubatan dan rasa gelisah para sahabat di perang Uhud?

Bagaimana tidak menyesal, bayangkan saja kisah mereka diabadikan dalam rentetan ayat dalam al-Quran, jelas, penuh makna dan renungan akan penyesalan. Mari kita simak,

Kala itu pasca pasukan berpanah tergiur akan harta rampasan, sebagian besar dari mereka meninggalkan posnya di bukit Uhud lalu bersama pasukan berkuda dan artileri mengumpulkan harta karena mereka khawatir tidak mendapat bagian. Lalu Khalid “Saifullah” yang masih kafir melihat celah kelemahan di bukit Uhud itu,

Ibarat serangan virus komputer, Khalid melihat celah vulnerability hole, menyerangnya secara brute force, merusak jaringan komputer yang tersambung dengannya lalu mengagetkan penggunanya.

Begitulah pengibaratan hentakan penaklukan Jubair al-Ansori dan sisa pasukannya di bukit itu, mereka syahid, ya syahid karena ketaatan dan tidak tergiur harta rampasan. Lalu mari kita simak ayat 153 di surah Ali-Imran:

“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada siapa pun sedang Rasul (Muhammad) berada di antara (kawan-kawan) mu yang lain memanggil kamu (kelompok yang lari), karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati(lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu. Dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.”

Coba pembaca simak, bagaimana Allah menggambarkan dalam firman-Nya kala sahabat yang dibuat tersentak, lari dan meninggalkan Rasul-Nya, namun Allah tau bahwa mereka menyesal, mereka sedih bukan kepalang karena kesalahan itu. Lalu mari kita simak bagaimana maaf yang dibukakan oleh Rabb, untuk mereka, ya mereka yang keluar dari rumahnya dalam rangka jihad di jalan-Nya (Ali-Imran: 155)

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan(pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah maha Pengampun, maha Penyantun.”

Coba pembaca simak lagi, bagaimana Allah meyakinkan mereka yang masih ditimpa rasa bersalah yang sangat mendalam, kala sibuk mengambil ghanimah dan lari tunggang langgang kala Rasul diserang dan hendak dibunuh dari berbagai sisinya? Ya Allah menenangkan mereka dengan penekanan yang khas, agar tiada lagi kegelisahan dengan,

… Tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha penyantun.

Kini tiada lagi alasan bagi insan memendam kesumat akan kekeliruan sahabatnya, kini tiada lagi orang tua yang memendam amarah pada anaknya, kini tiada lagi suami istri yang bertengkar. Bukankah kala rasa sesal itu sudah berada pada puncaknya, akan muncul rasa dan tekad untuk berbenah dan memperbaiki diri, layaknya para sahabat Rasul di perang Uhud?

Dalam bulan penuh berkah ini, mari kita belajar memaafkan dan mengendalikan amarah.

Wallahua’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Sekretaris Jenderal FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan) 2011/12. NSYSU, Taiwan

Lihat Juga

Ayah, Ibu, Maafkan Aku

Figure
Organization