Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Antara Ego dan Ibu

Antara Ego dan Ibu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi – Seorang ibu dan anak berbuka puasa di sebuah tenda besar pada saat hari pertama Ramadhan, di Istanbul, Turki, tahun 2011. (Osman Orsal/Reuters)

dakwatuna.com – Saya seorang anak sekolah menengah pertama… jarak sekolah saya dengan rumah sekitar 20 km. Untuk sampai di sekolah, biasanya saya harus mendahului perjalanan panjang ini dengan sepeda sekitar 3 km. Maklum, desa saya belum dilewati bis antar kota saat itu. Setelah sampai di penitipan sepeda, selanjutnya naik bus sampai ke kota, tepatnya di alun-alun kota. Untuk seterusnya jalan kaki sekitar 1 km hingga tiba di sekolah. Bila ingin pulang, harus jalan kaki dulu 1 km lagi ke terminal. Baru naik bis lagi hingga ke tempat penitipan sepeda dan, kita kayuh lagi sepedanya sampai rumah…

Jika lancar, biasanya berangkat dari rumah pukul 10.30 dan satu jam kemudian bisa lega bisa tiba di sekolah. Begitu pun saat pulang, jika tidak ada hambatan, setelah bel pulang sekolah pukul 17.15 dibunyikan, harus segera menuju terminal agar tidak ketinggalan bis, dan sejam kemudian bisa segera makan di rumah.

Setiap hari kecuali hari Sabtu atau hari Libur aktivitas ini selalu dijalani, entah sedang panas terik ataupun sedang hujan gerimis. Entah apapun yang terjadi harus segera tiba di sekolah. Tidak usah repot-repot memikirkan terlambat, sekali saja ketahuan…wouww…hukuman guru BP siap menanti, sekaligus menambah catatan “dosa” di buku kuning. Dibawa ke kelas-kelas, sambil berikrar “saya tidak akan terlambat lagi”, wkwkwkwkk… Paling tidak hal ini saya jalani selama satu tahun ketika masih di kelas satu.

Suatu hari, ibu yang masih bekerja sebagai guru SD harus pergi ke kabupaten untuk berbelanja suatu barang. Sebelumnya, di pagi hari sudah membuat janji untuk diantar ibu. Maklum, biar bisa menghemat beberapa lembar uang ribuan.

Sebelumnya, sampai sebelum pukul 10.00 ibu masih mengajar kelas seperti biasa. Segera setelah angka 10 tertunjuk oleh jam dinding, tiba-tiba perasaan mulai resah. Ibu belum juga usai mengajar di kelas. Ada apa gerangan??? Wajahku sudah berubah merah nampaknya, mulai takut jika terlambat, masuk kamar dan marah-marah di dalam kamar.  “Gimana Ibu nih… udah jam sekian…bisa dihukum nih…”. Hingga akhirnya sambil marah air mata tiba-tiba turun, bercampur antara tak kuasa menahan marah dan hormatku.

Tak berapa lama, ibu pun datang…dengan baju abu-abu khas guru SD datang juga ke rumah. Melihat anaknya yang mericuhkan tatanan ruangan, nampaknya ibu juga sedikit marah. “Ya sudah…ayo berangkat”, kata ibu. Kami pun naik motor, nampaknya ibu juga terbawa suasana, motor pun digas lebih kencang dari biasanya.

Sampai di alun-alun kota, ternyata jam masih menunjukkan waktu 11.15. Nampaknya diriku bisa bernafas lebih lega. “Ayo bu…cepetan”, kataku. Kami pun melanjutkan perjalanan setelah traffic light berwarna hijau. Melewati jalan yang biasanya kuarungi dengan dua kaki, hari ini nampaknya agak lega.

Hingga kemudian, tak seberapa jauh…aku merasa ada yang aneh dengan motor ini. Tiba-tiba saja setir ibu seperti bergoyang-goyang. Semakin lama, guncangannya juga semakin terasa… “Oh…jangan sekarang please…!!!”. Benar saja perasaanku, motor yang kami kendarai memang bocor di perjalanan. Turun juga diriku dari singgasana istimewa hari ini…

Kulihat ban belakang sudah kempes habis tak berudara lagi…sama seperti harapanku siang ini untuk bisa datang tanpa terlambat ke sekolah. Saat itu, motor adalah kendaraan berat bagiku, jadi belum kuat untuk sekadar menuntunnya. Ibu juga yang akhirnya turun tangan… membawa motor sambil berjalan menepi dengan mesin yang masih nyala, kami menyusuri jalan ke sekolah sambil mencari tukang tambal ban. Entah kenapa, aku merasa malu sekali… sudah pake seragam, eh malah dorong-dorong motor siang-siang.

Syukur, di dekat sekolah…ada juga bengkel motor. Setelah memasukkan motor ke bengkel kami sebenarnya cukup lega… Baju putihku nampaknya tidak bisa berbohong. Basah oleh keringat selama perjalanan siang itu. Ibu pun nampaknya mengalami hal yang sama. Kami memutuskan untuk jalan kaki menuju ke sekolah.

“Nak…ayo makan bakso dulu, gak mau pa?” Tanya ibu padaku.

“Enggak ah bu…Udah masuk e…”, jawabku.

“Beneran gak mau…?” ibu bertanya lagi.

Beberapa kali sambil jalan kaki. Ibu memintaku untuk menemani makan bakso. Tapi, diriku tetap bersikukuh, aku tidak bisa ikut makan siang ini…

“Ya sudah…ibu sendiri aja” kata ibu.

“Aku berangkat bu…” kataku.

Kulihat ibu menyeberangi jalan ke tempat lapak bakso di dekat sekolah sendirian, dengan baju abu-abunya yang nampak formal. Tapi, diriku berjalan ke arah yang sedikit berlawanan. Aku harus tetap masuk ke sekolah.

Entah kenapa, perasaanku kali ini agak trenyuh… tiba-tiba air mataku menetes seiring langkah kaki yang memasuki pintu gerbang sekolah. Semakin masuk ke dalam, air mata ini kayaknya semakin deras saja… saking menahannya, aku sampai berkali-kali mendongak ke atas, biar air mataku tidak tumpah ke pipi.

Nampaknya aku salah mengambil keputusan, hatiku masih saja memikirkan ibu yang makan sendirian di lapak bakso. Bagaimana jika ada apa-apa dengan ibuku? Bagaimana jika motornya bermasalah lagi… Bagaimana dan bagaimana lagi???

Kebiasaan anak-anak luar kota saat itu, melaksanakan shalat Zhuhur di sekolah. Aku sedikit berlari segera menuju ke masjid sekolah. Masih saja sambil menahan air mata tadi, segera kulepas sepatuku, kukeluarkan sarung biruku, segera menuju ke tempat wudhu… Kupakai segera sarungku dan kurayakan sedihku sambil menghadap Tuhan. Ohh…tapi bayangan ibu belum juga hilang dari rakaat ke rakaat yang kuambil. Tiap kali rukuk, ada saja tiba-tiba air yang jatuh ke lantai masjid, dari ujung mataku. Hingga akhirnya selesailah ibadahku…doaku pun hanya satu…

“Lindungi ibuku Ya Allah…” tiba-tiba saja segala keangkuhan tadi mengaku.

Berjejalan ingin segera diucapkan kepada Allah, agar tenang hati ini… Nampaknya teman sebelahku merasakan sesuatu, tapi biarlah…nampaknya aku sudah terlanjur larut dengan pengakuan jujur siang itu. Keputusanku benar-benar membuat hati bergejolak…

Bel masuk kelas tiba-tiba berbunyi…segera saja puluhan anak berseragam putih baru berangsur-angsur menuju kelasnya masing-masing. Begitu guru masuk, semua murid sudah tenang, maklum…beliaulah salah satu penegak disiplin di sekolah. Entah apa sebenarnya bab yang dibahas hari ini, tiba-tiba guru yang satu ini berbicara tentang pengabdian seorang anak kepada orang tua.

“Oh Allah…apalagi ini…”. Terang saja, bendungan ini langsung saja berontak, tak kuasa menahan luapan air yang sudah tak sabar keluar dari sudut mata yang sudah kering tadi. Sambil kuusap-usap di lengan seragam kananku. Ohh…guruku, kenapa Bapak berkisah hal ini, inikah yang kau takdirkan untukku hari ini Allah.

Menyesal sekali hari ini hidupku… kenapa begitu mudahnya kuambil keputusan yang begitu konyol…hanya sekadar menemani makan siang pun diriku tak sanggup mengalah dengan egoku sendiri… Ibu…engkau memang makhluk luar biasa, yang diturunkan Allah untukku… Salam hormatku untuk Ibu… doaku senantiasa tercurah untukmu…. Mari kita muliakan ibu kita…

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM. Pernah tergabung di Pramuka ketika SMP, kemudian mengenal Rohis saat SMA, dan pernah aktif di BEM saat kuliah. Pernah menghadiri konferensi di bidang IT di luar negeri.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization