Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyikapi Kesalahan

Menyikapi Kesalahan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Berbuat kesalahan bukanlah suatu akhir perjalanan hidup kita walau kesalahan itu amatlah besar. Dalam menghadapi kesalahan tak sedikit yang putus asa, depresi bahkan berani untuk mengakhiri hidupnya. Dari sini para pakar psikologi, filsafat dan sosial mencari solusi untuk memecahkannya. Namun usaha mereka terbilang nihil bahkan keadaan pun seolah semakin memprihatinkan. Maka sudah saatnya kita selaku muslim untuk kembali pada metode yang telah dicontohkan oleh panutan dan idola kita (Nabi Muhammad SAW) dalam menyikapi kesalahan.

Rasulullah selalu menghadapi kesalahan dengan jiwa yang teduh dan tenang, tak jarang ia pun menyambutnya dengan senyum. Hal ini tak terlepas dari dua hal. Pertama, karena kasih saying (rahmah) yang sudah merasuk pada jiwanya yang suci. “Tidaklah kami utus engkau selain sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Ia selalu memandang orang yang salah sebagai manusia biasa dengan kemungkinan ia sedang berada dalam keadaan terpuruk dan jatuh hingga membutuhkan orang yang menegakkan dan menopangnya bukan orang yang mencela atau menghardiknya. Kedua, karena ia menganggap bahwa kesalahan merupakan hal yang sangat manusiawi, dan it bisa terjadi pada setiap orang, siapa pun dia.

Beberapa contoh “terapi” Rasul terhadap kesalahan telah dicantumkan oleh DR Rojib Sirjani dalam bukunya Nuqtoh, Wa Min Awwalis Satr (Cukup, Mulailah lembaran baru). Secara garis besar penulis buku ini membagi metode Rasul ini dalam tiga poin besar; metode Rasul dalam menghadapi kesalahan orang-orang yang tidak tahu (jahil), menghadapi kesalahan orang yang berdosa (mudznib) dan menghadapi kesalahan yang mengarah pada diri Rasul sendiri.

Ketidaktahuan (jahl), walau merupakan hal tercela yang hanya disebutkan dalam Al-Quran untuk mencela dan menghina namun setiap manusia pasti memiliki sifat ini. Karena seseorang mungkin tahu hal a namun ia tidak mengetahui hal b, begitu pula sebaliknya.  Akan tetapi ketidaktahuan yang dilarang di sini adalah ketidaktahuan kita terhadap hal-hal yang sudah semestinya diketahui dalam agama.

Suatu ketika seorang badui datang ke masjid kemudian ia shalat. Usai shalat Rasul memintanya untuk mengulangi shalatnya. Ia pun mengulanginya hingga tiga kali, namun jawaban Rasul hanya satu irji’ fa sholli fainnaka lam tusholli (ulangi kemudian shalatlah kembali karena kamu belum melaksanakan shalat). Akhirnya si badui menyerah dan menyatakan bahwa hanya itulah yang ia bisa. Lalu Rasul menjelaskannya tata cara shalat yang benar.

Dari cerita ini kita melihat bagaimana Rasul menyikapi kebodohan orang yang tidak tahu. Beliau tidak pernah menghina atau berbuat kasar padanya. Beliau hanya memintanya mengulangi shalat, kemudian menyampaikan pengetahuan secara tenang, penuh kasih sayang dan sangat beradab.

Imam Bukhari dan Muslim mencantumkan sebuah hadits dari Anas bin Malik yang menceritakan kisah seorang badui yang datang ketika Rasul sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba ia (badui) kencing di dalam masjid. Tak elak para sahabat pun melarang dan mencegahnya. Rasul segera menginstruksikan para sahabatnya untuk tidak memotong kencingnya dan membiarkannya hingga selesai. Akhirnya mereka pun membiarkannya hingga usai. Lalu Rasul memanggilnya dan menasihatinya bahwa ini adalah masjid di mana seseorang tidak boleh mengencingi dan mengotorinya. Ia merupakan tempat untuk dzikir, shalat dan baca Al-Quran.  Rasul hanya memerintahkan seorang sahabatnya untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing tadi.

Rasul juga memberikan contoh pada kita bagaimana mengoreksi dan menegur kesalahan orang yang berbuat dosa (mudznib). Perbedaan antara pembahasaan ini dengan sebelumnya adalah pembahasan yang lalu sang pelaku tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah berbeda dengan pembahasan ini di mana sang pelaku mengetahui bahwa perbuatannya salah namun ia tetap sengaja melakukannya.

Walau adat dan agama sebenarnya tidak menyalahkan siapa saja yang menghukum orang yang salah dengan hukuman yang setimpal bahkan ia juga mencela pelakunya karena orang yang melakukan perbuatan ini sadar dan sudah mengetahuinya apalagi bila ia juga ternyata mengetahui hukuman perbuatannya itu. Namun kita akan mendapatkan pemandangan yang berbeda ketika kita memperhatikan cara Rasul berinteraksi dengan golongan kedua ini.

Kisah pertama diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim tentang seorang lelaki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Rasul memberikan solusi padanya dengan tiga alternatif; membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Lelaki tadi ternyata tidak menyanggupi ketiga alternatif ini. Rasul kemudian terdiam sejenak hingga ada seseorang yang memberikan sekantung kurma. Lelaki tadi kemudian diperintah untuk menyedekahkannya. Tanpa disangka ternyata lelaki tadi tidak mendapat orang yang lebih miskin darinya. Serentak Rasul pun tertawa hingga terlihat giginya kemudian ia memerintahkan pemuda tadi untuk memberi makan kurma itu pada keluarganya.

Dari kisah ini sangatlah tampak bagaimana Rasul menyikapi kesalahan, termasuk yang sengaja dilakukan sang pelaku. Kita dapat menyaksikan kasih sayangnya yang begitu besar pada umatnya. Di mana orang yang sudah jelas melakukan kesalahan besar dengan sengaja bahkan ia juga tak mampu untuk melaksanakan hukuman yang diberikan padanya.  Namun tanpa disangka akan terjadi happy ending di mana ia tidak mendapat balasan yang setimpal dari kesalahannya malah mendapat nikmat yang dapat dibagikan pada keluarganya. Sungguh engkau diutus sebagai rahmat bagai seluruh alam wahai Rasulullah SAW.

Keadilan memang derajat yang agung namun kasih sayang lebih besar derajatnya. Perbedaan dua hal ini tampak dalam dua ayat Al-Quran. Pertama, Surat Fathir ayat 45, “Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan meninggalkan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di muka bumi ini tetapi Dia menangguhkan (hukum)nya sampai waktu yang sudah ditentukan”. Kedua, surat Asy-Syura ayat 30, “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu).”   Sungguh adil kiranya bila Allah menghukum para hamba-Nya sesuai dengan perbuatan yang telah mereka lakukan namun kasih sayang-Nya ternyata lebih besar kepada mereka.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa kita merajam (melempari batu hingga meninggal) orang yang berbuat zina dan ia sudah menikah. Mengapa juga dipotong tangan sang pencuri, dan dibunuh orang yang membunuh orang lain? Bukankah suatu bentuk kasih sayang jika kita memaafkan mereka!

Sebenarnya ada poin penting yang harus diperhatikan dan kesalahan ini sering terjadi pada sebagian orang. Di mana mereka memandang para pelaku kejahatan dengan kacamata kasih sayang namun mereka tidak melakukan itu pada masyarakat yang menjadi imbas dan korban kejahatan itu. Had (hukuman) sebenarnya disyariatkan sebagai wujud kasih sayang kepada masyarakat, juga terhadap pelaku kejahatan itu sendiri karena ia bisa menjadi sarana penghapus dosa hingga akan memudahkannya pada hari kiamat.

Manusia mungkin dapat menasihati orang untuk dapat memaafkan dan berlapang dada namun bila ada seseorang yang mulai menyentuh kehormatan dirinya tak jarang mereka akan terlihat sangat marah dan emosi. Pada poin ketiga inilah penulis melontarkan metode Rasul dalam menghadapi kesalahan yang berkaitan dengan diri Rasul sendiri.

Bunda Aisyah pernah menggambarkan bahwa nabi tak pernah membalas siapa pun yang meremehkan dirinya namun bila sudah berhubungan dengan hak dan kehormatan Allah tak segan-segan ia segera membalasnya itupun karena ketulusannya pada Allah. Dan ini akan banyak kita dapatkan bila kita membaca sejarah hidup beliau yang luar biasa.

Umar pernah marah dan “menggerutu” terhadap apa yang terjadi pada rumah tangga Rasul dengan istri-istrinya di mana mereka -kadang- menjawab perkataan rasul, mendiamkannya akan tetapi rasul tetap sabar terhadap mereka. Hal ini menunjukkan kasih sayang beliau yang luar biasa pada keluarga khususnya para istri.

Begitu pula Rasul selalu bersabar dan sayang terhadap para sahabatnya. Pernah mereka “kecewa” dengan keputusan Rasul pada perjanjian Hudaibiyah di mana mereka memandang perjanjian itu sangat tidak menguntungkan kaum muslimin hingga mereka “memboikot” –secara kebetulan- untuk tidak bertahallul (memotong rambut karena mereka telah berihram). Namun Rasul tidak pernah mengungkit-ungkit dan memendam masalah ini hingga akhirnya beliau bertahallul sendiri kemudian diikuti sebagian sahabat dan pada akhirnya mereka semua bertahallul.

Tak cukup sampai di sana. Ternyata Umar yang masih penasaran bertanya dan “mendebat” Rasul atas kebijakan yang dinilainya tidak berpihak pada umat Islam. Setelah mendengar jawaban Rasul ternyata Umar tak juga merasa puas. Seolah belum menemukan titik terang Umar pun mengulangi pertanyaan yang sama kepada Abu Bakr. Namun secara kebetulan jawaban Abu Bakr persis dengan jawaban Rasul. Walau bagaimanapun ternyata Rasul tidak pernah mempermasalahkan ini semua dan tak pernah mengungkit-ungkitnya.

Kita terbiasa memberi penghargaan dan hadiah bagi mereka yang melakukan kebaikan dan hukuman dan sangsi bagi pelaku kejahatan. Padahal sebenarnya tidak semua perkara dapat dihukumi dengan satu timbangan. Terkadang kesalahan dapat diobati dengan senyum, arahan, nasihat dan pengajaran sebelum kita benar-benar memberikan hukuman atau kekerasan. Islam itu mudah kenapa kita tidak menempuh jalan yang mudah untuk merubah semuanya. Wallaahu ‘alam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (16 votes, average: 9.13 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization