Topic
Home / Berita / Opini / Mau Minum Pil Penahan Haidh untuk Puasa Ramadhan? Baca Ini Dulu!

Mau Minum Pil Penahan Haidh untuk Puasa Ramadhan? Baca Ini Dulu!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Beberapa hari yang lalu, seorang teman menulis sebuah artikel dengan pembahasan yang sama dan latar belakang masalah yang sama; yaitu tentang kebolehan seorang wanita meminum pil penunda Haidh guna bisa berpuasa full selama sebulan penuh tanpa ada yang ditinggalkan karena haidh, dengan begitu tidak perlu bersusah payah menggantinya di luar bulan Ramadhan.

Beliau menyimpulkan bahwa sah-sah saja meminum pil penahan haidh agar bisa tampil berpuasa full selama sebulan penuh tanpa adanya halangan yang dating. Ini didasarkan atas beberapa kitab yang ia baca, bahwa ulama –walaupun tidak semua- tidak mempermasalahkan hal ini. Tapi memang harus memperhatikan kesehatan si perempuan yang bersangkutan.

Pendapat memberikan kebebasan kepada perempuan manapun yang ingin berpuasa full tanpa diganggu oleh tamu bulanan-nya yang bisa menahan keinginannya untuk berpuasa. Ya sejatinya memang tidak mengapa, dan saya juga mengamini apa yang ditulis oleh kawan saya ini. Tapi saya punya pandangan lain yang berbeda yang condong berlawanan dengan pendapat di atas.

Saya melihat masalah ini tidak semudah itu, tapi lebih meninjaunya dari beberapa aspek.

Pertama: Kesehatan.

Wanita memang sejak awal diciptakan sudah menjadi fithrahnya bahwa mereka harus mengeluarkan darah haidh di setiap bulannya. Tentu berbeda tanggal dan jumlah hari masa haidhnya.

Dan darah haidh itu ialah darah penyakit. Ini keistimewaan bagi para wanita, mereka diberikan jeda waktu di setiap bulannya untuk mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh mereka. Dan kalau yang seharusnya penyakit itu dikeluarkan setiap bulan kemudian mereka tahan-tahan untuk tidak keluar, berarti itu sama saja dengan menanam penyakit dalam diri.

Membiarkan penyakit tumbuh dalam tubuh itu suatu perbuatan yang rentan sekali menimbulkan bahaya dalam diri. Dan dalam syariahnya Islam selalu menutup jalan untuk terjadinya hal-hal berbahaya yang menimpa umatnya.

Dalam kaidah Fiqih disebutkan الضرر يزال yang artinya “segala bentuk yang berbahaya itu harus dihilangkan”. Jadi syariah Islam jelas melarang segala bentuk apapun itu yang akhirnya hanya menimbulkan ke-mudhorotan bagi pemeluknya. Menahan suatu penyakit yang semestinya keluar melalui darah haidh dari tubuh seorang wanita adalah suatu kemudhorotan yang mesti ditinggalkan.

Kedua: Ibadah di Bulan Ramadhan bukan hanya berpuasa.

Ini yang semestinya semua umat Islam mengetahuinya, apalagi wanita. Wanita selalu beranggapan bahwa ketika datang tamu bulanan-nya itu, serasa ibadah tertutup rapat untuknya dan semua pahala tak tersedia untuk mereka yang sedang haidh. Padahal kalau diteliti lebih jauh, masih banyak pahala yang Allah sediakan untuk ummatNya ini, terlebih bagi wanita. Dan amat sangat banyak sekali ibadah yang bias dikerjakan oleh mereka walaupun dalam keadaan haidh, apalagi saat bulan Ramadhan.

Wanita haidh yang tidak berpuasa masih sangat bias untuk dia meraup pahala ibadah sebanyak-banyaknya di bulan Ramadhan ini. Contoh yang paling kecil ialah, ia memasak untuk keluarganya makanan sahur dan berbuka. Harus diyakini bahwa itu ibadah yang pasti berpahala. Dan kita sama-sama tahu bahwa siapa yang memberikan makan berbuka untuk mereka yang berpuasa maka ia mendapatkan pahala puasa sama seperti mereka yang berpuasa.

Membangunkan keluarga untuk sahur, atau teman sekamar bagi ia yang tinggal di kos atau kontrakan atau juga pesantren, itu juga termasuk ibadah yang pasti Allah tidak akan lupa untuk mencatatnya. Bagi yang telah berkeluarga yang mempunyai anak lebih banyak lagi. Menyiapkan dan memakaikan sarung atau mukena untuk anak-anak mereka yang ingin melaksanakan shalat pun itu dihitung sebagai ibadah.

Menghormati orang lain yang sedang berpuasa dengan tidak asal makan di depan umum pun itu akan dicatat sebagai suatu kebaikan. Dalam Islam tidak ada kebaikan, sekecil apapun itu kecuali itu akan menjadi simpanan amal kebaikan. Terlebih ini terjadi pada Bulan Ramadhan.

Dan masih banyak lagi ibadah yang lainnya. Jadi bagi para wanita yang haidh tidak mesti khawatir kehilangan nilai ibadah dengan datangnya tamu bulanan mereka. Mereka memang tidak berpuasa, tapi pahala yang Allah siapkan untuk mereka sangatlah banyak walaupun mereka tidak berpuasa, dan rugi sekali kalau tidak dimanfaatkan.

Ketiga: Masuk Ramadhan itu Nikmat.

Ramadhan tahun lalu, kita mungkin masih menjalankannya bersama keluarga, ayah ibu kakak adik dan juga paman bibi, lengkap seluruh anggota keluarga bahkan teman. Tapi mungkin mereka yang dulu bersama kita tidak bias lagi bersama menjalankan Ramadhan ini karena mereka telah lebih dulu meninggalkan kita.

Dan kita, masih diberikan umur oleh Allah untuk masih tetap menjalankan dan mengisi Ramadhan ini dengan berbagai bentuk ibadah. Dan harus diyakini bahwa ini adalah nikmat yang agung, di mana Allah masih memberikan kita umur untuk terus beribadah kepadanya. Berarti kita adalah orang-orang pilihanNya.

Nah. Nikmat inilah hendaknya kita syukuri dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah yang memang sudah ditetapkan untuk kita ummatNya. Wanita sudah ditetapkan untuk dia ber-haidh sekali dalam sebulan, dan itu nikmat karena itu penyakit yang dikeluarkan dari dalam tubuh.

“Dan syukurilah Nikmat Allah jika kamu hanya menyembah Kepada-Nya” (QS Al-Nahl 114). “Bersyukurlah kepada-Ku (Allah) dan janganlah kau ingkar kepada-Ku” (QS Al-Baqarah 152). “Dan sembahlah-Ia (Allah) dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu akan kembali” (QS Al-Ankabut 17)

Nikmat bisa masuk Ramadhan inilah yang hendaknya jangan dibalas dengan kita mengingkari nikmatnya yang lain, yaitu menerima haidh sebagai fitrah wanita yang pastinya itu juga berguna sebagai penyaluran darah kotor/penyakit untuk dibuang.

Keempat: Banyak Waktu untuk mengganti

Dari sekian banyak wanita yang saya temui, mereka sering menjawab: “males kalo kudu ganti di bulan laen, mending sekarang aja abisin semua biar ngga susah-susah ganti”.

Buat saya ini alasan yang tidak argumentative. Kalau yang menjadi penghalang adalah malas, ya semua ibadah kalau gitu bisa saja ditinggalkan karena malas. Dan alasan ini benar-benar tidak berdasar sama sekali. Malas, banyak kegiatan, sibuk ngurus ini, sibuk kuliah dan sebagainya.

Coba kita hitung sama-sama! Dalam setahun itu ada 360 hari menurut kalender Masehi, dipotong hari-hari Ramadhan yang 30 hari, berarti sisanya 330 hari. Kemudian dipotong hari 2 hari ied-Fithr dan Adha yang memang diharamkan untuk berpuasa, juga hari tasyriq tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah. Berarti sisa hari kosong untuk kita mengganti puasa nya ada 325 hari.

Apa mungkin masih ada kata malas untuk mengganti hari-hari Ramadhan yang hanya ditinggalkan mungkin 10 atau 15 hari (masa haidh paling lama dalam mazhab Syafi’i) dengan waktu yang disediakan yaitu 325 hari itu?

Dan mengganti puasa Ramadhan di bulan selain Ramadhan itu tidak mesti berurutan. Kita diberikan kebebasan untuk mengganti kapan saja kita mau. Mungkin dalam seminggu kita kosongkan satu hari untuk mengganti puasa yang tertinggal di Ramadhan. Minggu berikutnya demikian.

Bahkan seandainya pun kita meninggalkan puasa selama 30 hari penuh itu, 325 hari itu amat sangat banyak dan bahkan terlalu banyak untuk kita menunaikan utang Ramadhan kita.

Kalau alasannya males karena ribet atau sibuk kalau harus ganti di luar Ramadhan, yaa semua ibadah itu berat memang dilakukan, dan karena berat itulah, Allah pun menyiapkan ganjaran yang setimpal.

Dan memang yang namanya kewajiban itu memang berat untuk dilakukan, pastilah sang “malas” itu selalu menggoda manusia untuk meninggalkannya. Dalam kitabnya “Raudhotun-nadzir” Imam Ibnu Qudamah ketika menjelaskan tentang Amr dan Nahyu, beliau menyifati bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sifat “Masyaqqoh” yaitu berat. Dan memang semua ibadah itu berat untuk dilakukan kecuali buat mereka yang diberkahi dan ditunjuki jalan oleh Allah swt untuk selalu bisa taat dan menjalankan semua perintah-Nya.

Kelima: Akan Timbul “Tahawun” (penyepelean) terhadap syariah

Yang paling dikhawatirkan nantinya jika memang wanita dengan seenaknya mengatur jadwal ibadahnya sendiri tanpa menghiraukan bahwa fithrahnya sang wanita itu harus haidh di setiap bulannya adalah timbul rasa tahawun atau menyepelekan syariah agama yang jelas-jelas telah diatur oleh Allah swt sesuai dengan fithrahnya manusia itu sendiri.

Karena “malas”nya itu, si wanita dengan seenaknya saja menahan masa haidhnya yang itu pasti berbahaya untuk kesehatannya, supaya ngga repot-repot lagi mengganti. Ini kan jadinya seakan-akan dia mengatur sendiri teknis ibadahnya tanpa mempedulikan ada fithrah dan ketentuan yang diabaikan.

Seperti orang yang karena malas, jadinya ia berkesimpulan untuk melakukan shalat subuh di malam hari jam sepuluh sebelum tidurnya. Agar nantinya ia tidak lagi repot-repot bangun subuh untuk shalat subuh. Walaupun ini adalah analogi yang tidak sesuai dengan masalah yang kita bicarakan, tapi sumber masalahnya sama, yaitu “malas” ibadah dan menyepelekannya.

Kesimpulan

Tentu pastinya dari apa yang disebutkan di atas, banyak sekali celah dan salahnya. Sekali lagi saya tidak melarang para wanita untuk meminum pil penahan haidh, karena ulama pun tidak mempermasalahkan itu. Tapi hendaknya wanita itu lebih baik dia berada tetap dalam fithrahnya sebagai wanita, dan hendaknya pula memperhatikan aspek-aspek yang telah disebutkan di atas.

Kalau ada yang memakan pil penahan haidh itu, ya puasanya tetap sah toh haidhnya tidak keluar. Tapi alangkah baiknya ia mempertimbangkan dahulu sebelum meminum pil tersebut. Mungkin aspek-aspek pandangan di atas bisa membantu untuk itu semua.

Karena bagaimanapun setiap pilihan, harus dipertimbangkan nilai positif dan negatifnya. Apalagi ini berkaitan dengan masalah syariah yang tidak boleh asal-asalan saja.

Tapi berbeda dengan masalah haji. Ulama sejagat raya ini setuju untuk memperbolehkan bagi wanita meminum pil penahan haidh jika ia telah masuk waktu pelaksanaan haji dan dikhawatirkan dating waktu haidhnya. Karena bagaimanapun, meminum pil penahan haidh di waktu haji karena sebab-sebab tersebut itu jauh lebih baik dari pada ia harus membiarkan haidhnya keluar. Kalau haidhnya keluar, sulit sekali baginya untuk kembali lagi ke tanah haram di tahun yang akan dating, sedangkan system di setiap Negara muslim apalagi Indonesia, tidak akan membolehkan seorang pergi haji berturut-turut. Dan tentu biayanya sangat besar.

Wallahu A’lam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 8.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa. Lahir di Jakarta tahun 1989.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization