Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyusun Puzzle Puasa Ramadhan

Menyusun Puzzle Puasa Ramadhan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”  (QS. Al-Baqarah: 183)

Sekali lagi, Allah Azza Wa Jala menurunkan perintah yang begitu indah yakni berpuasa.  Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, begitulah sekiranya definisi puasa. Sesuai dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 183, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu, menjelaskan pada kita bahwasanya kewajiban puasa ini menjadi penghubung antara kaum terdahulu dan kaum kini. Ia menjadi penyama antara kamu terdahulu dan kaum kini. Dalam ayat tersebut tersirat mengenai kesamaan tata cara dan waktu pelaksanaan puasa pada zaman dahulu dan zaman sekarang.

Ibadah puasa yang pertama kali dijalankan oleh umat terdahulu dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut setiap bulan. Ibadah puasa ini disebut puasa ayamul bidh (puasa pertengahan bulan hijriyah). Puasa dijalankan sejak bangun tidur di waktu subuh hingga adzan Isya berkumandang. Dapat dihitung bukan selama apa puasa tersebut dilakukan setiap harinya? Ya, kurang lebih 14 jam! Selain itu puasa tak disertai dengan sahur sebelumnya. Atas dasar kedua hal inilah, kaum Anshar mengajukan protes. Sehari-harinya mereka bekerja dari pagi hari hingga sore hari. Hal yang ditakutkan adalah begitu selesai menunaikan shalat Maghrib, mereka ketiduran yang menyebabkan mereka terus-menerus berpuasa berhari-hari tanpa ada asupan gizi yang masuk ke pencernaan mereka. Meski hal ini pernah menimpa salah seorang di antara mereka.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah, Rasulullah berharap kaum Nasrani dan Yahudi menjadi kaum pertama yang memeluk Islam, mengingat perintah akan datangnya Nabi akhir zaman sudah tertuang dalam kitab suci mereka masing-masing. Demi ‘menyentuh’ hati mereka, Nabi mengubah penampilannya menyerupai ahli kitab serta menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat. Namun apa mau dikata, sekeras usaha Rasulullah, Allah tak berkehendak menjadikan mereka sebagai golongan pertama pemeluk Islam. Alhasil, Rasulullah S.A.W kembali mengubah penampilannya seperti sediakala serta menjadikan Ka’bah sebagai kiblat shalat. Saat itulah turun Q.S. Al-Baqarah ayat 185.

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Sebagian besar umat Islam mengasumsikan perintah puasa terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 183, padahal perintah itu tertuang dalam ayat 185. Hal itu diperkuat dengan potongan ayat ‘…Karena itu barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.’

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pada permulaan Islam berjumlah 3 hari setiap bulannya, dikalikan dengan 12 bulan menjadi 36 hari per tahun. Perintah tersebut kemudian di-nasakh(dihapus) dan diganti menjadi 30 hari berpuasa di bulan Ramadhan dan disempurnakan dengan 6 hari di bulan Syawal sehingga berjumlah 36 hari. Dapat disimpulkan, pada dasarnya total harinya berjumlah sama, hanya perinciannya saja yang berbeda.

Namun mengetahui kewajiban puasa bertambah menjadi 30 hari berturut-turut, bertambahlah ketidaksanggupan umat Islam pada saat itu. Allah pun menjawab ‘protes’ mereka dengan turunnya Q.S. Al-Baqarah ayat 186.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” Q.S. Al-Baqarah: 187

Tidak seperti ayat-ayat lainnya, dalam ayat ini Allah tidak menyatakan ‘faqul inni… (maka katakanlah sesungguhnya…)’ melainkan Dia berkata ‘fa inni… (maka sesungguhnya…)’ Hal ini menandakan bahwa Allah langsung berkata kepada manusia, tanpa perantara apa atau siapapun.

Pasangan suami istri saat itu beranggapan, mereka tidak dapat melakukan hubungan intim selama sebulan penuh. Maka lagi-lagi Allah menjawabnya lewat QS. Al-Baqarah ayat 187.

“…”

Terdapat dua penjelasan yang terdapat dalam ayat tersebut. Pertama, Allah mengizinkan pasangan suami istri untuk bercampur pada malam hari bulan puasa. Kedua, Allah menurunkan perintah melaksanakan sahur (makan di malam hari) untuk berpuasa keesokan harinya. Tentu saja hal ini sangat meringankan umatNya.

Puasa bukanlah ajang berlapar-laparan bukan pula ajang penyiksaan dari Allah terhadap hambaNya. Sama sekali bukan! Puasa adalah ajang pembuktian sejauh mana ketaatan seorang hamba terhadap Allah. Puasa juga merupakan ajang penjagaan diri. Contohnya, saat berwudhu, para muslim akan melaksanakannya dengan hati-hati terutama saat berkumur-kumur, takut-takut air yang masuk ke dalam mulutnya tertelan.

Puasa tidak semata-mata menahan diri dari apa yang biasanya dihalalkan Allah, namun juga menahan diri untuk mengunci lisan dari ghibah. Pada zaman dahulu, ada dua orang wanita yang sekarat karena berpuasa. Keduanya menghadap Nabi ditemani seorang sahabat. Kemudian sahabat tersebut berkata ‘Ya Rasulullah, mereka hampir saja mati. Izinkan mereka berbuka, ya Rasulullah’ Namun apa yang dilakukan Rasulullah yang begitu pengasih dan penyayang? Beliau memalingkan wajah, hingga tiga kali sahabat meminta lalu Rasulullah meminta diambilkan mangkuk. Beliau pun meminta kedua wanita itu memuntahkan isi perut mereka. Betapa terkejutnya sahabat begitu melihat gumpalan daging dan nanah busuk keluar dari mulut mereka. Naudzubillahi min dzalik!

Usut punya usut, meskipun kedua wanita tersebut berpuasa, namun mereka sibuk bergunjing. Perumpamaan orang yang gemar menggunjingkan saudaranya, amal kebaikannya akan habis diambil saudara yang dizhaliminya. Seolah-olah ia tidak memiliki sedzarah pun amal kebaikan yang tersisa. Maka dari itu, hendaklah sejak sekarang kita luruskan niat berpuasa. Tanamkanlah pada diri pribadi bahwasanya puasa yang kita lakukan tidak hanya puasa perut, namun juga puasa mulut dari bahaya ghibah. Hendaklah pula kita menstabilkan kondisi ruhiyah sejak kini sehingga saat puasa tiba, ia dapat meningkat tajam tanpa mengalami penurunan signifikan usai bulan Ramadhan.

Wallahualam bishshowwab.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang muslimah pembelajar yang tidak ingin tebar pesona, tapi ingin selalu tebar manfaat. Seorang muslimah pembelajar dengan motto 'Hidup mulia, mati syahid!'

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization