Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Adakah Batasan Taat Kepada Pemimpin?

Adakah Batasan Taat Kepada Pemimpin?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Ketaatan kepada ulil amri atau qiyadah dalam konteks kejamaahan menjadi salah satu unsur penting dalam gerakan jamaah tersebut. Karena hal tersebut akan menentukan sejauh mana para jundi mau ikut dan mengikuti setiap keputusan yang telah dibuat dan diputuskan oleh para pemimpin. Betapa pentingnya sebuah ketaatan sehingga ada sebuah prinsip yang mengatakan “Tidak ada Islam tanpa berjamaah, sementara tidak ada jamaah tanpa ada kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.” Prinsip atau ungkapan ini menggambarkan bahwa dasar dari penggerak Islam adalah ketaatan. Sejauh mana umat Islam taat terhadap syariat-syariat silam, sejauh mana ketaatan umat Islam terhadap perintah-perintah Rasul serta sejauh mana umat Islam taat kepada perintah pemimpin umat Islam itu sendiri.

Jika umat Islam tidak memiliki ketaatan maka tidak akan muncul sebuah kepemimpinan, dan tidak ada persatuan dalam barisan jamaah sehingga jika tidak adanya persatuan dalam bentuk jamaah maka Islam akan sangat mudah dihancurkan oleh musuh-musuh Islam. Oleh karena itulah saat ini musuh-mush Islam tersebut tengah berusaha bagaimana ketaatan yang dimiliki oleh umat Islam ini bisa hilang sehingga mereka dengan mudah dapat menghancurkan Islam.

Oleh karena ketaatan ini merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh seorang muslim, maka Imam Syahid Hasan Al Banna menjadikannya salah satu dari 10 (sepuluh) rukun baiat jamaah Ikhwanul muslimin. Karena jika seorang yang bergabung dalam sebuah barisan jamaah tidak memiliki ketaatan, maka hal itu akan menyulitkan jamaah itu untuk mencapai target-target dakwahnya dikarenakan orang-orang yang ada di dalamnya hanya mau mengerjakan hal-hal yang mudah, atau hanya mau bekerja mengikuti perintah di kondisi-kondisi tertentu saja.

Seperti yang telah disampaikan oleh imam syahid Hasan Al Banna mengenai definisi dari taat itu sendiri.  Ketaatan adalah melaksanakan perintah dan merealisir dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas. Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketaatan adalah sebuah bentuk pelaksanaan terhadap perintah yang diberikan di segala kondisi. Ketika ada orang yang mengerjakan perintah hanya pada keadaan yang mudah dan pada saat bersemangat saja tetap ketika dalam keadaan sulit ia enggan melaksanakan perintah maka hal tersebut tidak bisa dikatakan taat.

Ketaatan yang disebutkan di atas ditujukan kepada Allah swt, Rasul dan Waliyul amr, seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surat an Nisa ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ           تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً  ٤:٥٩

” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.  An Nisa: 59)

Dalam ayat di atas, kita (orang-orang yang beriman) diperintahkan oleh Allah swt untuk taat kepada Allah swt, taat kepada Rasul dan juga ulil amri. Sehingga ayat ini menjadi landasan syar’i tentang ketaatan seseorang kepada orang lain (ulil amri).

Ketaatan kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat wajib. Tidak ada perdebatan dalam mentaati Allah swt dan Rasul. Lantas bagaimana dengan ketaatan terhadap makhluk (ulil amri) terlebih dalam konteks kejamaahan?

Inilah yang menjadi pembedanya. Jika ketaatan kepada Allah swt dan Rasul tidak ada batasan. Apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, sebagai orang-orang yang beriman wajib untuk mentaatinya atau melaksanakan baik dalam keadaan mudah maupun sulit, baik dalam kondisi semangat ataupun malas. Untuk ketaatan terhadap ulil amri, ada batasan yang diberikan terhadap hal ini, batasan tersebut ialah:

1. Siapa yang memberi Perintah

Dalam ayat di atas (An Nisa ayat 59 ) terdapat kata “wa ulil amri minkum”  atau jika diterjemahkan “…dan ulil amri di antara kamu..” dan ayat ini dibuka dengan kalimat “Hai orang-orang yang beriman…”  maka Allah swt dalam ayat ini telah memberikan batasan siapa saja yang boleh ditaati selain Allah swt dan Rasul, yaitu kepada orang-orang yang beriman. Kata-kata ini menjadi penegasan selain kepada Allah swt dan Rasul, kepada siapa ketaatan itu boleh diberikan. Sehingga jika perintah itu datang dari ulil amri yang merupakan orang beriman maka kita harus mengikuti perintahnya tersebut. Sedangkan jika yang menjadi ulil amri adalah orang yang tidak beriman maka kita tidak wajib untuk mengikuti perintahnya tersebut.

Hal ini juga menjadi pedoman bagi setiap muslim jika ingin memilih seorang yang akan dijadikan ulil amri. Kriteria keimanan haruslah menjadi pertimbangan serius, mengingat kita hanya diperintahkan untuk mengikuti dan taat kepada perintah seorang ulil amri yang beriman kepada Allah swt.

2. Content atau isi dari perintah

Dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

Hadits di atas memberikan garis batas yang jelas tentang sejauh mana ketaatan yang boleh kita berikan kepada makhluk (manusia/ulil amri). Kita tidak boleh memberikan ketaatan kita untuk hal-hal maksiat kepada Allah swt karena ketaatan itu diberikan kepada manusia hanya untuk hal-hal kebaikan. Sehingga ketika ada ulil amri yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang melanggar syariat, maka kita wajib menolaknya dan kita juga berkewajiban untuk mengingatkan ulil amri tersebut akan kesalahannya dalam memberikan perintah. Tetapi ketika perintah itu tidak melanggar syariat maka kita selaku jundi wajib mengikuti perintah tersebut dalam kondisi apapun.

Jadi dapat disimpulkan bahwa:

  1. Ketaatan kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat mutlak.
  2. Ketaatan terhadap makhluk (ulil amri) tidak bersifat mutlak, ada batasan-batasan yang diberikan. Batasan-batasan tersebut ialah: yang pertama, siapa yang memberikan perintah, kita hanya boleh memberikan ketaatan kita kepada orang-orang yang telah terbukti keimanannya, karena itu dalam mengangkat seorang ulil amri faktor keimanan menjadi hal yang harus diperhatikan. Kita tidak wajib dan tidak boleh memberikan ketaatan kepada orang-orang yang tidak beriman. Yang kedua, isi perintah yang diberikan, kita tidak boleh taat dan melaksanakan perintah yang melanggar syariat.
  3. Jadi jika perintah itu berasal dari pemimpin atau ulil amri yang sudah terbukti keimanannya dan perintahnya tidak bertentangan dengan syariat Islam maka bagi para jundi wajib untuk mengikuti dan taat terhadap perintah tersebut.

 

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Aktif dalam Lembaga Dakwah Kampus NADWAH UNSRI sebagai kepala departemen PPSDM. Mantan ketua Umum Lembaga Dakwah Fakultas Teknik KALAM FT.

Lihat Juga

Lelah dalam Ketaatan

Figure
Organization