Topic
Home / Berita / Opini / Diskriminasi Muslim Myanmar Dahulu dan Hari Ini

Diskriminasi Muslim Myanmar Dahulu dan Hari Ini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi – Peta Myanmar (Burma). (bbc.co.uk)

dakwatuna.com – Di beberapa negara Asia tenggara, seperti Filipina dan Thailand, komunitas muslim umumnya menetap secara terkonsentrasi di wilayah selatan di setiap negara. Filipina dengan Mindanaonya, Thailand dengan Pattaninya, dan Myanmar dengan Arakan dan Rohingyanya. Ironinya, karena keadaan komunitas muslim yang minoritas, diskriminasi dan ketidakadilan sering menimpa saudara-saudara kita di sana. Mulai dari kebijakan pembatasan ibadah, pembedaan pemberlakuan hukum, bahkan hingga tidak adanya perlindungan atas hak-hak dasar dari komunitas muslim minoritas di sana.

Dalam tulisan ini penulis akan menitikberatkan pembahasan mengenai komunitas muslim di Myanmar dalam konteks sejarah dinamika politik sebagai representasi dari persoalan kemanusiaan yang terjadi pada komunitas muslim di beberapa negara ASEAN. Dengan menambah konteks pembahasannya dalam kerangka persoalan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar hari ini.

Sejarah komunitas muslim Myanmar

Menurut sejarawan orientalis, Cem Ozturk, lahirnya komunitas muslim di Myanmar terjadi pada sekitar abad ke 9 masehi sebagai hasil dari perkawinan antara pendatang muslim dari luar Myanmar yang memiliki berbagai latar belakang, seperti pedagang, tentara, budak, ataupun profesi lain yang menikah dengan penduduk lokal di wilayah barat dan selatan Myanmar. Hingga kemudian bahkan beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa pernah juga terdapat muslim di Myanmar yang pernah mendapat peranan penting dalam kerajaan Myanmar sekalipun, komunitas muslim di Myanmar hanyalah minoritas. Catatan Orientalis lain bernama Moshe Yegar mencatat pula bahwa pada masa kerajaan Myanmar masih dalam periode bagan misalnya, pernah dicatat bahwa ada muslim asal Arab bernama Rahman Khan yang diangkat menjadi guru kerajaan dan kemudian menjadi gubernur pusat pemerintahan kerajaan Myanmar.

Masa Kejayaan Komunitas Muslim Myanmar

Mengenai penerimaan terhadap Islam, dalam sejarah kerajaan Myanmar juga mencatat beberapa kejadian penting. Misalnya, pada abad ke 19, raja kerajaan Myanmar yang bernama Mindon, pernah dengan sangat terbuka mengangkat banyak tokoh komunitas muslim di kerajaannya menempati posisi-posisi yang strategis. Termasuk tentara kerajaan dan pejabat pemerintahan daerah seperti gubernur dan walikota. Raja ini bahkan mengangkat hakim muslim agar hukum syariah dapat diterapkan di sana. Raja Mindon tidak berhenti sampai di situ, beliau juga dikenal membangun beberapa masjid untuk kepentingan komunitas muslim yang ada di Myanmar, bahkan di dalam istana kerajaannya pun ada gedung yang ditujukan sebagai masjid dengan fondasi bangunan yang terbuat dari emas. Istana itu kemudian dihancurkan oleh Koloni Inggris yang merubahnya menjadi lapangan polo berkuda.

Catatan Kelam Komunitas Muslim Myanmar

Namun itu hanya bagian dari sejarah emas kehadiran komunitas muslim di Myanmar, karena sisa sebagian besar gambaran sejarah yang dialami oleh komunitas muslim di Myanmar begitu miris dan memprihatinkan. Pada masa kerajaan Myanmar misalnya, ada beberapa raja yang dikenal begitu keras terhadap komunitas muslim di sana. Raja Bayintnaung melarang produksi makanan halal dan melarang perayaan hari raya Idul Adha. Begitu juga raja Alaungpaya dan Bodawpaya yang pernah menangkap dan membunuh beberapa tokoh muslim Myanmar karena menolak jamuan makan dari kerajaan yang terbuat dari babi. Sebagaimana hasil publikasi yang pernah dikeluarkan oleh Ranggon University, Myanmar pada tahun 1960.

Pada masa setelah kerajaan, komunitas muslim di Myanmar pernah mengalami kondisi di mana terjadi gerakan anti Islam yang secara masif dikampanyekan oleh para biksu Buddha dengan semangat nasionalisme Myanmar yang amat kuat pada tahun 1930an.

Pengorbanan Komunitas Muslim Myanmar

Menurut Gustaaf Houtman, seorang peneliti sejarah kawasan Asia Tenggara, persoalan diskriminasi hari ini muncul karena pilihan sejarah para elit muslim Myanmar pada masa awal kemerdekaan Myanmar. Setelah kemerdekaan Myanmar dari inggris, sebuah lembaga naungan komunitas muslim di Myanmar dibentuk pada tahun 1945 dengan nama Myanmar Muslim Congress (BMC) yang dipimpin oleh U Razak. U razak dikenal sebagai salah satu politisi muslim Myanmar yang juga diberikan kesempatan menjadi anggota komisi pembentukan konstitusi Myanmar. U razak memiliki kemauan yang besar untuk menyatukan Myanmar yang ketika itu dilanda krisis kepercayaan dan sosial karena persoalan etnis yang sangat kompleks. Akibat kemauannya ini, U Razak mengorbankan kepentingan jangka panjang perlindungan secara spesifik bagi komunitas muslim di Myanmar dengan tidak memasukkan pengaturan perlindungannya ke dalam konstitusi. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya posisi komunitas muslim Myanmar dalam perpolitikan Myanmar pada saat itu. Hingga kemudian secara perlahan muncul konflik hingga titik kulminasinya terjadi pada saat perdana menteri pertama Myanmar, U nu mengumumkan agama resmi negara yaitu Buddha dan secara resmi melarang pelaksanaan hari raya Idul Adha di negara tersebut.

Pada pemerintahan Ne Win, kondisi komunitas muslim di Myanmar bertambah buruk, persoalan pelarangan pelaksanaan hari raya Idul Adha berkembang jadi persoalan sosial dengan adanya labelling dari masyarakat buddhis dan para pejabat pemerintahan Myanmar bahwa komunitas muslim di Myanmar adalah komunitas yang buruk dan jahat. Beberapa organisasi komunitas muslim di Myanmar tidak lepas dari tuduhan terorisme karena pemberlakuan peraturan keamanan yang diktatorial dan sangat keras bagi komunitas muslim Myanmar.

Komunitas Muslim Myanmar Hari Ini

Pada beberapa tahun kemudian terjadi beberapa peristiwa bersejarah yang tidak kalah mirisnya, ribuan biksu Buddha berdemonstrasi menyuarakan slogan anti muslim dan memprovokasi masyarakat untuk melakukan pengrusakan dan penjarahan terhadap asset dan harta kepemilikan para komunitas muslim di beberapa kota tempat konsentrasi komunitas muslim umumnya menetap, seperti di Mandalay, Taungoo, dan yang paling hangat dalam pemberitaan hari ini adalah di wilayah Arakan di mana etnis muslim Rohingya dan Rakhine banyak yang dibantai secara tidak berkeprimanusiaan, bahkan tidak hanya melibatkan unsur masyarakat sipil dan agama namun juga para personil militer Myanmar. Ratusan tewas dibunuh, ribuan hilang dan ratusan ribu mengungsi ke berbagai negara di sekitar Myanmar. Yang pasti, semua kejadian pembantaian itu diakibatkan oleh keislaman komunitas muslim di Myanmar tersebut.

Bagaimana Sikap Kita?

Setelah sejarah menjelaskan keadaan komunitas muslim di Myanmar, pertanyaan menjadi sederhana, bagaimana persoalan kemanusiaan yang menimpa komunitas muslim di Myanmar bisa dibiarkan terjadi satu persatu tanpa adanya titik penyelesaian ataupun upaya advokasi dari negara-negara berpenduduk muslim mayoritas di sekitarnya? Konsesi negara ASEAN yang menyerukan penguatan kekuatan ekonomi dan politik regional mesti ditunda dan diganti dengan upaya penyelesaian komunitas muslim di negara-negara ASEAN, utamanya di Myanmar saat ini, guna menghormati semangat perlindungan atas hak-hak kemanusiaan dan prinsip egalitarian yang dianut oleh negara-negara ASEAN.

Indonesia harus bisa menggunakan pengaruhnya yang besar dan dominan di forum tingkat ASEAN, untuk setidak-tidaknya bertindak atas nama kemanusiaan untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak di pihak komunitas muslim Myanmar yang kini sangat terhimpit. Diamnya Indonesia hanya akan menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah untuk turut aktif dalam upaya perdamaian dunia. Malah akan lebih baik lagi apabila Indonesia bisa secara aktif mendorong upaya penyelesaian persoalan serupa yang melingkupi negara-negara di Asia Tenggara. Seperti mendorong upaya perdamaian dan anti diskriminasi melalui revisi konvensi Treaty of Amity and Co-operation (TAC) pada tahun 1976 di Bali. TAC itu sendiri meletakkan fondasi bagi regionalisme ASEAN di mana negara-negara anggota ASEAN tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota lainnya dan menjunjung tinggi integritas territorial serta kedaulatan negara anggota ASEAN. Hal ini menjadi alasan beberapa negara ASEAN untuk tidak mengintervensi persoalan komunitas muslim Myanmar hari ini karena dianggap sebagai ‘persoalan internal’ minimal sekali, perubahan itu bisa mulai dengan menambahkan pengecualian intervensi atas persoalan kemanusiaan yang lebih universal dan mendesak.

Memang benar bahwa persoalan muslim di Myanmar adalah persoalan agama, di mana yang menjadi alasan utama dari diskriminasi dan pembantaian tersebut adalah agama, sehingga peristiwa-peristiwa tersebut hanya bisa dikategorikan sebagai masalah agama yang penyelesaiannya umumnya dibangun melalui forum dialog yang non represif, namun esensi persoalan yang terjadi juga harus disadari merupakan pelanggaran paling fatal dari aspek-aspek perlindungan hak-hak mendasar manusia. Tanggung jawab penyelesaian dan upaya perlindungan tidak hanya menjadi tanggung jawab umat muslim saja, melainkan semua manusia yang masih memiliki rasa perikemanusiaan. Karena pembantaian komunitas muslim Myanmar hari-hari ini bukan hanya persoalan internal Myanmar saja, melainkan persoalan kemanusiaan secara global.

Wallahu alam bishawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.08 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa angkatan 2010 yang tengah berstudi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selain kuliah, penulis merupakan ketua umum dari Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 2013

Lihat Juga

Misi PBB: Militer Myanmar Bakar Anak Rohingya Hidup-Hidup

Figure
Organization