Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sepotong Kisah tentang Tarbiyah

Sepotong Kisah tentang Tarbiyah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (hudzaifah.org)

dakwatuna.com –  “Sungguh, hidayah itu akan datang kepada siapa saja yang dikehendakinya”

Aku tak mampu membahasakan lewat definisi tentang arti ‘tarbiyah’. Bagiku, tarbiyah merupakan bola besar yang akan terus menggelinding dan mendatangi siapa saja yang hendak ditujunya. Bola besar itulah yang akan menjadi penyejuk bagi yang mendapatinya. Namun, bola besar itu akan menjadi bara bila yang didatanginya tak mampu melihat keindahan yang dibawa dan dipancarkannya.

Sedikit ingin berbagi dengan kalian. Kembali mereview 5 tahun lalu (sekarang 6 tahun). Ketika kali pertama aku mengenal lebih jauh seperti apa kampus yang sesungguhnya. Kali pertama diperkenalkan dengan jamaah ini. Sebuah momen yang takkan pernah habis untuk kututurkan, tak bosan untuk kudendangkan, dan takkan pernah ingin aku lupakan. Berawal dari sebuah ajakan teman. Teman yang tentu ingin melihat hal baik pada teman yang dia ajak. Satu dari teman yang diajak itu adalah ‘aku’. Kaki ini pun melangkah ke sebuah pertemuan yang bagiku itu sangat asing. Asing dikarenakan kondisi yang ada di dalamnya. Asing karena metode yang berlangsung. Amat asing karena wajah-wajah yang kulihat memang tak pernah tersorot mata. Berbekal niat dan ucapan terima kasih. Kaki pun melangkah. Pintu hati terketuk??? Jawaban itu lama baru kutemukan. Terbiasa dengan kehidupan yang santai membuat kaki ini enggan untuk mengenal jamaah itu lebih jauh. Mungkin itu yang disebut dengan malas. Malas yang merupakan salah satu sifat syaithon. Sepertinya berusaha memburamkan titik-titik terang yang muncul sedikit demi sedikit dalam hati. Hingga kelembutan seorang guru yang biasa disebut dengan murabbiyah meluluhkan hati ini. Itu baru luluh, belum sempat mengikat hatiku untuk lebih mencintai jamaahnya. Tiga tahun, yah kurang lebih tiga tahun aku bersamanya. Memetik ilmu sedikit demi sedikit tentang jamaah yang ternyata memiliki sebuah nilai melebihi berlian. Padahal aku menghargainya sebatas permata biasa yang bernilai biasa-biasa. Aku pun mulai menangis ketika membaca kisah di tengah lingkaran. Aku mulai menyadari bahwa betapa dunia ini membutuhkan orang saleh yang tidak hanya sekadar saleh bagi diri sendiri. Namun, jauh…jauh…amat jauh, kesalehan itu perlu didistribusikan. Perlu diaplikasikan. Diaplikasikan pun masih butuh tanda tanya besar buatku.

****

Memoar Tarbiyah

Kini, kuukir kembali tentang kisah indah itu dalam catatan cinta yang kuberi judul Memoar Tarbiyah. AKU sedikit pikun kalau ditanya tentang kapan tepatnya aku mengenal tarbiyah? Tahun aku tahu, namun tanggal dan hari sepertinya tak begitu membekas dalam memori ini. Seperti yang telah kuungkapkan pada awal catatan. Berawal dari ajakan seorang teman. Semoga beliau selalu diberi rahmat oleh yang mahakuasa lahir dan batin. Bila beliau dalam keadaan sakit, semoga penyakitnya diangkat oleh Allah tanpa mengurangi ketakwaan dan keimanannya. Amin ya Robbal ‘alamin.

Tulisan ini pun baru kutuang beberapa menit yang lalu atas permintaan dari guru spiritual yang biasa dipanggil dengan murabbiyah alias MR bila disingkat (cerita 7 bulan yang lalu) Tarbiyah, tidak ada tempat yang lebih kunanti selain duduk dalam lingkaran, bercengkerama dengan qadhoya ‘curhat’, dan menikmati kuliner yang tersaji. Rindu yang begitu berat tiba-tiba menjadi enteng jika melihat senyum mereka (teman-teman tarbiyah). Indah. Sungguh suasana yang tak bisa tergantikan. Kekaguman pada MR yang tak terbatasi oleh apa pun, makin mempererat kecintaan kami. Sesuatu yang sulit dibagi kepada orang lain, bahkan kepada orang tua sekali pun. Akan mencuat dengan sendirinya, bukan karena paksaan atau intimidasi. Kepercayaan dan solusi. Sinergisitas kedua kata itu yang mencuatkannya. Semua itu kudapatkan dari sarana yang disebut ‘TARBIYAH’.

Sarana yang begitu mendidik, namun orang-orang akan merasa asing jika ia tak menyelami kedalamannya. Bahkan bisa juga dianggap sebagai aktivitas tak berbobot. Itu karena mereka sangat asing. Ingin kutularkan rasa bahagia ini. Pun keindahan itu ingin kutebar. Namun, rasa takut itu terkadang muncul. Tak semua orang mau menerima, tak semua orang sepaham. Namun, sedikit yang ingin merasakannya. Tetapi, aku begitu yakin seyogianya mereka tahu bahwa media ini memiliki nilai melebihi intan dan berlian. Takkan mau mereka berpaling. Bukan lagi mereka yang dicari, namun mereka yang mencari. Ternyata dalam tarbiyah itu ada ion positif dan negative. Ada hukum tarik-menarik. Aku menaruh harapan besar kepada sosok MR sebab penggerak roda-roda sarana ini adalah mereka. Teladan. Itu content yang tak bisa lepas dari mereka. Ketertarikan tak bertepi ini, semoga bisa dirasakan oleh semua kalangan yang belum sempat mencicipinya. Semoga mata mereka jeli melihat nuansa indah yang melekat.

Banyak hal yang ingin kutumpahkan di atas carik putih ini, namun sepertinya bila hanya berupa catatan singkat, maka takkan mampu menampungnya. Jazakallahu khoiran katsiir!

Rindu Tarbiyah Menggelayut

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (dakwah di jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal pada-Mu….” (Doa Rabitha)

Entah dengan cara apa aku mengembalikan kondisiku yang dulu dengan sekarang. Sembilan bulan lalu, aku masih bercengkerama dengan teman-teman yang selalu kurindukan (masih tentang tarbiyah). Kini, kami terserak. Aku meninggalkan kampung halaman (Makassar) sekitar sembilan bulan lalu. Tidak mudah untuk meraih semua ini. Kesempatan dan restu orang tua menjadi hal penting. Kumemilih untuk mengabdikan diri di sebuah desa yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kota. Saat ini aku berada di belahan Indonesia Timur, tepatnya Dompu, Nusa Tenggara Barat. Perekrutan Sekolah Guru yang diadakan oleh Dompet Dhuafa membuatku tergerak untuk menyelami Indonesia lebih dalam. Momen itu telah kutunggu selama setahun. Setelah 2 tahun lalu (2010) ingin mendaftar, namun karena banyaknya amanah yang kuemban membuatku mengurungkan niat dan menunggu pendaftaran satu tahun ke depan (2011). Alhamdulillah, lulus.

Banyak hal yang tertoreh dalam hati, termasuk kisah tarbiyahku yang hingga kini belum jua direspon oleh pihak setempat. Bagi sebagian orang ini adalah sepele, namun bagiku ini adalah hal besar yang buatku resah siang-malam. Siapa yang tak resah? Bila saja Anda pernah mendapat tempat berbagi ilmu, namun tiba-tiba tempat itu tak ditemukan lagi, maka sungguh kerugian yang teramat sangat. Bukan hanya mata yang mengeluarkan tangis, melainkan jiwa juga merintih sakit bagai tertusuk beling. Saat menulis kisah ini pun air mata berderai hingga tubuh gemetar, namun jemari tetap lincah ingin melukiskan kerinduan pada ‘lingkaran kecil’ yang disebut tarbiyah.

Entah kendala apa yang menyebabkan demikian. Jelang empat bulan berada di lokasi terpencil bagiku bukan masalah. Jarak berapa kilo pun akan kutempuh, sesusah apa pun sinyal menghampiri kediamanku kan kuterima, seangker apa pun daerah tempatku sekarang tak berpengaruh. Semua akan kuterobos bila ‘lingkaran kecil’ itu ada. Aku hanya butuh itu untuk berbagi. Bila komunikasi melalui dunia maya tak bisa kudapatkan di daerah penempatan ini, mestinya komunikasi face to face jangan sampai enggan menghampiriku. Itulah pintaku di tiap akhir sujud. Kapan Dia menjawab tak ada yang tahu. Aku hanya berharap hal itu cepat terwujud sebab bukan hanya ragaku yang kering, jiwaku terasa gersang dan butuh siraman hujan penyejuk.

Kerinduan ini membuncah tiap melangkahkan kaki menuju masjid. Aku memang mengajarkan kalam ilahi dan sunnah Rasul di masjid untuk menunaikan kewajiban dakwah. Namun, berbagi rasanya kurang lengkap tanpa mendapat bagian. Memberi ilmu tanpa diberi bagai tak minum setelah makan. Pernahkah Anda merasakan hal demikian, usai makan namun tak minum air, rasanya haus bukan? Bila dianalogikan, maka demikianlah analogi yang tepat untukku.

Pernahkah Anda membayangkan tidak minum selama empat bulan? Aku tak yakin hal itu pernah terbesit dalam memori kita. Sehari tak minum saja, tak berani melintasi pikiran, apalagi sampai berbulan-bulan, na’udzubillah tsumma na’uudzubillah. Tubuh yang tak mendapat cairan tentu akan mati perlahan. Jiwa yang tak dapat siraman kalbu pun akan mati. Bila jiwa sudah mati, maka kebenaran akan mental.

Sekali lagi, aku rindu tarbiyahku. Ingin rasanya kerinduan ini kubagi, bahkan ingin kugantikan dengan benda yang terjangkau, namun rindu ini amat luar biasa. Kekuatannya mahadahsyat hingga ketenangan tak sepenuhnya kudapat kecuali melepasnya bersua dalam majelis tarbiyah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (10 votes, average: 9.80 out of 5)
Loading...

Tentang

Fasilitator Komunitas Guru Gugus SGI Dompet Dhuafa. Bantaeng, Sulsel.

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization