Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Lalu Aku, Siapa yang Perhatikan?

Lalu Aku, Siapa yang Perhatikan?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Roda arus kepemimpinan terus berputar, berirama. Roda ini pula yang entah sengaja atau tidak mengantarkanku pada terminal sepi ini. Menanti. Aku dan beberapa penumpang lainnya celingak-celinguk, bus mana yang akan mengangkut kami? Siapa yang akan menyetir perjalanan kami? Ke mana kami akan dibawa pergi? Dengan tertatih dan mencoba memberanikan diri, kami susuri jalan. Bus tumpangan tak kunjung datang. Takut-takut kami melangkah, takut salah. Hingga kami sampai ke satu tempat, masih linglung. Benarkah jalan yang kami ambil tadi? Inikah memang tempat tujuan kami? Tak satu pun yang bisa menjawab,’ ya mungkin’, ‘eh tapi sepertinya bukan’. Tidak ada kepastian. Hingga kami putuskan untuk tetap berjalan, berharap ada cahaya di sana. Tak jarang kami terpeleset, terjerembab, dan sering pula kami terperangkap dalam satu jebakan yang indah luarnya. Tapi kami seolah tidak punya pilihan lain. Terus berjalan sambil menyemangati diri berucap lirih, Harapan Itu Masih Ada.

Sekelumit kisah tadi menggambarkan kondisiku hari ini.

Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu. Saat di mana aku mendapat perhatian penuh. Hingga tidak jarang aku yang sedikit nakal menghindar dari tatapan sayang, rangkulan manja. Kini aku tidak berani menanti. Bayangkan, menanti pun aku tak berani lagi. Menanti hal seperti itu bakal hadir kembali dalam perjalanan dakwah ini rasanya hanya satu kemustahilan. Aku berjalan bersama satu dua orang dengan amanah di pundak. Berat. Untuk sedikit tertawa saja rasanya tidak ada waktu yang tepat. Saat ingin bersenang-senang sebuah pesan singkat dan tidak jarang panggilan telepon mengusikku. Bolehkah aku istirahat sebentar?

Aku harus memperhatikan adik-adik, membimbing, dan parahnya aku harus bisa menjadi teladan. Apa yang harus kuturunkan pada mereka, haaah?

Jika ditanya aku tidak jauh lebih pintar dari mereka. Aku pun merasa tidak dibelajarkan penuh dahulunya, dan sekarang ingin mengajarkan? Bagaimana? Haah, aku pun yakin adik-adik mengetahui kelemahan dan keterbatasanku ini. Bisa jadi bertanya padaku hanyalah ingin menjaga perasaanku sebagai senior untuk menanyakan sedikit pendapat, tidak lebih.

Aku menjalani profesiku ini dengan tertekan, ada yang peduli? Tugas kuliah sudah tidak terkondisikan, teman-teman sekelas mulai tidak paham dengan alur pikiranku yang bercabang-cabang, hak mata dan tubuh mulai tak terpenuhi, dan aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri. Haruskah aku bertahan dengan topeng ini? Atas semua kejadian ini, ada yang bertanggung-jawab?

Yang lain butuh perhatianku, lalu aku? Siapa yang perhatikan?

Baik, salahkan aku yang tidak belajar maksimal kala itu, tapi hanya salahku?

Di mana qiyadah-qiyadah yang memberiku amanah ini? Ya, walau katanya amanah ini dari Allah namun kan mereka harus bertanggung-jawab. Aku tidak merasakan pembelajaran dari mereka. Mereka pikir aku paham menjalankan ini semua? Hei, aku tidak secerdas yang kalian bayangkan. Aku dengan senyum yang sering kuuntai hanya mencoba menghibur diri sendiri, tidak lebih. Beban ini berat, aku tidak sanggup. Dan aku pun tidak pernah digembleng tuk diarahkan menerima amanah ini. Lalu aku bergerak hari ini dengan bahan bakar yang pas-pasan, salah siapa?

Kalian tahu, aku seringkali takut melangkah. Masih sering aku bertanya, memang beginikah yang ada dalam sistem? Atau apakah aku sudah merusak sistem yang ada? Saat aku tanyakan pada kalian, yang kuterima hanya anggukan dan jawaban singkat. Tidak adakah segelas air yang bisa kalian bagi untukku yang haus? Haus sekali, dan lapar. Ataukah kalian juga belum paham sistem dalam dakwah ini?

Namun saat kutanyakan pada qiyadah yang lain, aku tidak diizinkan berbuat. Ada banyak sekali peraturan-peraturan yang diberikan hingga aku semakin enggan untuk melangkah, apalagi berlari. Hingga aku berjalan di tempat menunggu bola datang. Pasrah.

Di mana pula murabbiku? Mereka bilang murabbi adalah guru, sahabat, abang/kakak, dan bisa jadi seperti orangtua. Aku tidak yakin bahwa kalian sudah merasakan hal itu. Bisa jadi itu hanya pemanis di bibir saja agar aku terus bertahan di sini. Mereka bilang murabbi tempat curhat, apa? Aku tidak punya kesempatan untuk sedikit bercerita. Semua kami seolah diburu padatnya agenda sebelum dan sesudah halaqah. Ya, aku dan teman-teman sering terlambat kuakui. Tapi setelah itu? Berjalan datar. Tidak ada yang special. Murabbi pun tampaknya sangat sibuk. Kembali, aku harus menelan ludah. Pahit. Kuurungkan niat untuk sedikit berbagi cerita, tentang ibu yang sakit. Tidak ada khabar. Seolah halaqah hanya agenda rutin yang tak bermakna. Aku harus mengalah, ya murabbiku sibuk.

Di mana teman-teman yang dahulu berikrar setia dalam suka dan duka? Mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan aku tertinggal jauh di belakang untuk urusan yang itu. Lagi-lagi, aku mengalah. Pertanyaan-pertanyaan kabar yang kuterima lewat HP seolah tidak punya ruh. Aku pun tidak berniat untuk membalas. Hingga taujih-taujih yang menghiasi inbox tak mampu mengusir kekesalanku. Aku ingin kalian ada di sampingku, hanya itu. Tidak pahamkah kalian perasaan ini? Aku ingin kita sama-sama membuat keputusan-keputusan ini. Tidakkah kalian tahu bagaimana keterbatasan pemikiranku? Aku tak secerdas kalian. Banyak keputusan yang salah yang kuperbuat. Inginkah kalian aku terjatuh ke jurang ini terus? Aku melihat kalian sangat kritis, lha aku?

Lalu, siapa yang perhatikan aku?

Sejenak aku terdiam. Aku bahkan lupa kapan terakhir tilawah 2 juz ku perhari dan kapan sujud raka’at ke 8 shalat malamku. 

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.77 out of 5)
Loading...
Mahasiswi tingkat akhir Universitas Negeri Medan, aktif di LDK sebagai staff Dept. Rekrutmen dan Pembinaan Kader.

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization