Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ramadhan Terindah di Bumi Sakura

Ramadhan Terindah di Bumi Sakura

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (flowerswallpaper.info / hdn)

dakwatuna.com – Hari hari Ramadhan di negeri Sakura biasa kulalui sendiri. Bangun di penghujung malam saat suami sedang tertidur pulas, menyeruput teh hangat dan menyantap hidangan dalam kesendirian adalah hal yang tak pernah ku terbiasa dengannya. Walau bertahun-tahun mengalami hal yang sama, tak pernah ku terbiasa dengan keadaan itu. Selalu hadir rasa sepi, rasa sedih, rasa khawatir tentang bagaimana dengan suamiku?

Bagaimana nasibnya di akhirat kelak, aku tak ingin bersama hanya di dunia, aku ingin cinta ini sampai ke surga. Walau bertahun-tahun ku alami rasa sepi tak terkira setiap Ramadhan, berpuasa sendiri, tidak, tak pernah aku terbiasa tanpanya. Dan aku tak mau terbiasa dengan keadaan ini. Karena jika ku tak sedih, tak merasa sepi, terbiasa berpuasa tanpanya, berarti hatiku telah mati. Mati untuk mencintai suamiku dengan cinta yang sebenarnya. Yaitu mencinta dengan cinta yang dicintaiNya.

Merenung kembali, seakan menahkodai kapal besar nan berat. Tidak ada jalan lain, kecuali aku nahkodanya. Tidak ada jalan lain, kecuali aku harus kuat. Agar kapal ini sampai di tujuannya. Istana abadi, dimana kita sekeluarga bertelekan di atas dipan-dipannya.

Suamiku puasa hanya saat libur, seminggu dua kali.  Seperti karakter orang Jepang pada umumnya yang workaholic, dan empat belas jam kerja menjadi unsur sebab akibat untuk tidak berpuasa. Tidak pernah ku memaksa melainkan mencoba memahami dan memahami lagi, walaupun hati ini menjerit,” Harus tunggu sampai kapan, aku takut maut menjemputmu sebelum kau sadar. Bukankah sudah sepuluh tahun…, kau dalam pelukan Islam.”

Satu yang menghiburku adalah saat sang buah hati semangat berpuasa. Walau masih berumur lima tahun, putri kecilku satu-satunya semangat ikut sahur dan berbuka. Saat berumur enam tahun, ia marah saat dilarang berpuasa sampai Maghrib. Sakit demam berdarah saat liburan musim panas di Jakarta memaksanya untuk berpuasa sampai tengah hari saja. Alhamdulillah beranjak tujuh tahun,  hampir sebulan penuh si putri kecil bisa berpuasa sampai Maghrib di tengah terik matahari musim panas, di tengah teman-teman sekolah yang tidak berpuasa, yang saat itu lamanya waktu puasa adalah kurang lebih enam belas jam !

Adakah yang bisa membayangkan, bagaimana sedihnya hatiku saat aku dan putriku bangun jam dua malam untuk sahur sedangkan ayahnya masih tertidur lelap?

Adakah yang bisa meraba keping hati ini saat aku dan putriku dengan sukacita berbuka dan suamiku sibuk di kantornya tanpa puasa?

Hari libur suami menjadi hari yang ku tunggu-tunggu untuk berpuasa sekeluarga tanpa seorang pun tertinggal.

Alhamdulillah, walau suamiku berpuasa hanya saat libur, namun sepertinya keharmonisan Ramadhan antara aku dan putriku memercikkan sedikit demi sedikit atmosfirnya pada jiwa suami.

Tahun berikutnya, tahun kesebelas pernikahan kami. Sinar-sinar hidayah makin banyak menembus ruang hati suamiku. Ketegaran dan ketegasan putri kesayangannya akan penerapan nilai-nilai Islam menundukkan hatinya perlahan.

Beberapa hari memasuki Ramadhan 2011, putriku beranjak 8 tahun. Tahun itu ada yang berbeda, suamiku sibuk memikirkan hiasan dekorasi Ramadhan yang cocok bersama buah hatinya. Mereka menggunting, menempel, menggantung hiasan-hiasan Ramadhan yang mereka bikin bersama.

“Papa nanti puasa, khan?“ tanya si kecil sambil mengoper hiasan Ramadhan ke papanya yang berdiri di atas kursi untuk menggantungkannya di dinding.

“Ya, Papa akan berusaha puasa saat libur,” jawab suamiku.

Mm… hanya hari libur? Baiklah, untuk ikut heboh menghias rumah menyambut Ramadhan saja sudah suatu kemajuan luar biasa. Aku hanya bisa berharap dan berdoa agar suamiku bisa berpuasa lebih dari hari liburnya.

Tiba saat malam sebelum hari pertama Ramadhan. Saat kami makan malam, aku sampaikan pada anakku bahwa ia terpaksa harus sahur sendiri dan puasa sendiri besok, karena aku berhalangan.

“Jadi Mama cuma nemenin sahur ya, Sayang,” kataku. Ternyata anakku itu sama sekali tidak peduli walau ia harus puasa sendiri. Semangat Ramadhannya terlalu berkobar untuk dapat dipadamkan.

Tapi, terlihat perubahan air muka suamiku saat mengetahui putri kesayangannya ternyata harus puasa sendiri besok. Dengan terbata-bata dia berkata, “Ja… jadi, di …di rumah ini hanya Azu yang puasa…?”

Suamiku gelisah.

“Besok Papa ikut sahur dan puasa, deh. Nemenin Azu. Kasihan kalau puasa sendiri,” katanya.

“Oke,” kataku yang masih berkeyakinan bahwa itu hanya kemauan yang temporal dari suami. Keesokan harinya, mereka berdua bangun, sahur, puasa sampai Maghrib. Sampai tiba saat masa halangan puasaku habis, aku kira suamiku hanya akan berhenti sampai di sini. Ternyata tidak, dia terlalu menikmati waktu-waktu sahur sebagi waktu extra dimana dia dapat bercanda bersama keluarga dalam kehangatan yang istimewa, waktu yang tak bisa ia dapatkan selain bulan Ramadhan. Ia menikmati berpuasa walau hari itu hari kerja, dan ia benar-benar berusaha berpuasa setiap hari. Ia menikmati malam Ramadhan dimana pengalaman lapar dan dahaga di hari itu menjelma sebagai suatu kepuasan yang kita rasakan bersama.

Ya Allah, nikmat apa lagi yang dapat kudustakan?

Satu bulan berlalu, tibalah saat perpisahan dengan tamu agung itu. Rasa haru melepas Ramadhan yang biasa kurasakan hanya berdua dengan putri kecilku ternyata kini dirasakan juga oleh suami tercinta.

Beberapa hari setelah Ramadhan, suamiku berucap,” Andai setiap bulan adalah bulan Ramadhan, andai sepanjang tahun adalah Ramadhan. Sungguh, aku merasa saat Ramadhan adalah saat-saat paling sehat, segar dan fit. Semua keluhan kesehatanku hilang saat aku berpuasa. Dan itu bulan yang paling menyenangkan ya untuk kita sekeluarga.”

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Bergema takbir di hatiku saat mendengarnya.

Ramadhan kesebelas di pernikahan kita, insya Allah adalah awal Ramadhan terindah dari Ramadhan-Ramadhan indah lainnya yang akan kita lalui bersama. Ramadhan yang aku akan terbiasa dengannya.

Tokyo, akhir Juni.
Menghitung hari-hari menjelang Ramadhan…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (15 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...
Seorang Muslimah Indonesia yang menikah dengan warga negara Jepang mualaf dan menetap di Tokyo. Senang sharing tentang perjuangan para muslimah yang sedang berjuang menegakkan syariat Islam dalam keluarga campuran Indonesia-Jepangnya. Dan senang mengamati keadaan sosial, terutama benturan-benturan yang kadang harmonis ataupun bertentangan antar budaya lokal dengan nilai Islam yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan generasi Islam Jepang.

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization