Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Al-Qur’an vs Akal

Al-Qur’an vs Akal

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pernahkah kita mendengar tentang pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan akal kita untuk memahami agama kita? Pernah pula-kah kita mendengar tentang pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan akal kita untuk memahami Al-Qur’an?

Pendapat-pendapat ini, mungkin didasari pada argumentasi yang pada awalnya benar, yaitu untuk mencegah agar kita tidak terlalu liar dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tapi lama kelamaan pendapat ini berkembang menjadi pendapat yang tidak bisa dibenarkan. Dengan adanya pendapat seperti ini, akhirnya muncullah generasi yang tidak mau membuka Al-Qur’an, lalu malah sibuk dengan hal-hal yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, seperti fatwa-fatwa ulama atau pertentangan-pertentangan fiqih, atau mungkin pula tema-tema lain yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, misalnya tema bid’ah.

Pernahkah kita melihat orang yang sibuk membahas masalah bid’ah, atau membahas fatwa-fatwa dari ulama tertentu, atau sibuk membahas perbedaan tata cara ibadah dan menyalahkan orang yang berbeda tata cara ibadahnya? Kalau kita sudah pernah melihat orang yang seperti ini, mari kita renungkan, mengapa mereka bisa menjadi seperti itu?

Salah satu sebab mengapa mereka bisa menjadi seperti itu adalah, karena dalam kajian-kajian yang ada, yang dijadikan sebagai tema utama adalah fatwa-fatwa ulama, atau maksimal sekali, hadits-hadits nabi.

Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak, karena kita jelas butuh hadits nabi dan fatwa ulama sebagai pelengkap pemahaman kita. Tapi hal ini bisa menjadi salah manakala Al-Qur’annya justru malah ditinggalkan.

Inilah yang terjadi di kalangan kita saat ini. Banyak anak muda yang dijejali dengan fatwa-fatwa ulama tentang suatu hal, misalnya tentang bid’ah, tentang isbal, tentang haramnya politik, tentang haramnya musik dan lainnya, padahal tentang hal ini bisa jadi ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan di saat yang sama anak-anak muda itu tidak diajari untuk menghafal Al-Qur’an, tidak diajari untuk memahaminya, dan tidak diajari pula untuk mengamalkannya.

Mengapa sampai bisa begini?

Salah satu penyebabnya adalah karena ada sudut pandang, yang meskipun mungkin tidak akan diakui, tapi jelas-jelas terlihat, yang seolah-olah mengatakan bahwa diri kita ini terlalu kotor untuk bisa memahami Al-Qur’an. Atau, kita ini bodoh dan tidak pantas membaca Al-Qur’an langsung. Atau, kalau kita ini membaca Al-Qur’an langsung, maka besar kemungkinan kita akan salah dalam memahaminya, jadi bahaya, dan lebih baik tidak membaca Al-Qur’an. Atau, kita ini wajib harus menggunakan tafsir untuk memahami Al-Qur’an, padahal kitab tafsir itu rata-rata tebal-tebal, dan mayoritas kita malah jarang ada yang punya.

Dengan adanya sudut pandang seperti ini, akhirnya lahirlah sudut pandang lain, yaitu sudut pandang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan akal kita dalam memahami Al-Qur’an. Padahal pada kenyataannya, tidak semua ayat Al-Qur’an butuh penafsiran yang rumit, malah sebagian besar ayat Al-Qur’an adalah ayat-ayat yang tidak butuh penafsiran sama sekali (mudah dipahami). Sayangnya, sudut pandang ini lalu benar-benar digunakan sebagai argumentasi yang pada akhirnya malah menjauhkan manusia dari Al-Qur’an. Alasannya, akal kita tidak akan mampu memahami Al-Qur’an. Atau, akal kita tidak akan mampu memahami Al-Qur’an kalau tidak disertai dengan kitab tafsir yang tebal-tebal, atau lainnya. Pada akhirnya, karena tema Al-Qur’an adalah tema yang dirasa “terlalu berat” bagi akal sebagian umat manusia, maka, tema yang diambil dalam kajian-kajian akhirnya adalah tema yang benar-benar tidak mengacu pada Al-Qur’an lagi. Jadi, muncullah hal-hal yang saat ini mungkin sudah ada banyak di keliling kita, yaitu kajian-kajian yang tidak pernah menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai tema utama, lalu lebih memilih untuk membahas pendapat-pendapat ulama tertentu atau membahas tema-tema tertentu yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, misalnya tema bid’ah. Alasannya bisa jadi banyak, di antaranya mungkin adalah keterbatasan ilmu si nara sumber itu sendiri. Tapi alasan lainnya adalah, karena adanya sudut pandang bahwa akal kita tidak akan mampu dan tidak boleh digunakan untuk memahami Al-Qur’an ini.

Yang paling ironis adalah, pada beberapa kajian tertentu, kadang-kadang secara vulgar malah disebutkan dan diajarkan bahwa akal kita adalah racun dalam memahami agama kita ini. Jadi, akal kita harus dikunci mati. Kita harus menerima semua apa kata ustadz apa adanya, lengkap dengan dalil-dalil yang tidak boleh diutak-atik lagi, dan semua itu harus kita telan ke dalam otak kita meskipun kita sendiri tidak memahaminya. Inilah awal dari sebuah doktrin. Dan dengan doktrin seperti ini, akhirnya lahirlah generasi yang menganggap hanya ucapan ustadz-nya saja-lah yang benar, hanya pendapat ulama-nya saja-lah yang benar, lalu sibuk membid’ahkan kelompok yang berbeda pendapat, dan kalau mereka dibantah dengan dalil yang berbeda, mereka akan membantah pula dengan ucapan:

“Ikutilah pendapat ulama kami, jangan ikuti akal-mu, karena akal adalah racun!”.

Ini adalah satu contoh hasil doktrinasi yang pada awalnya dimulai dari sudut pandang yang sederhana, yaitu: Akal kita ini kotor!

Akal menurut Al-Qur’an

Lalu, bagaimana sebenarnya posisi akal kita menurut Al-Qur’an?
Mari kita lihat sendiri bagaimana Al-Qur’an menilai akal kita, misalnya dari ayat-ayat di bawah ini.

1. Orang-orang kafir adalah orang-orang yang tidak mau menggunakan akal mereka.

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. Al-Maa’idah, surat 5, ayat 58)

2. Kita diperintahkan untuk menggunakan akal kita dalam merenungi kondisi orang yang sudah tua.

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan? (QS. Yaasiin, surat 36, ayat 68)

3. Nabi Musa meminta Fir’aun untuk menggunakan akalnya.

Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” (QS. Asy-Syu’araa’, surat 26, ayat 28)

4. Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal kita dalam merenungi tanda-tanda kebesaran Allah.

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ra’d, surat 13, ayat 4)

5. Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal kita dalam memahami Al-Qur’an.

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf, surat 12, ayat 2)

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf, surat 43, ayat 3)

6. Orang yang tidak mau menggunakan akal mereka untuk memahami peringatan yang ada, maka mereka akan masuk ke dalam neraka.

Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk, surat 67, ayat 10)

Dari beberapa ayat di atas, jelas sekali terlihat bahwa sebenarnya akal kita ini adalah satu hal yang positif. Dan kita wajib menggunakan akal kita untuk memahami agama kita ini, termasuk di dalamnya adalah untuk memahami Al-Qur’an. Tentu saja, “mengakali Al-Qur’an” seperti yang dilakukan oleh kelompok Liberal adalah satu hal yang dilarang. Tapi menggunakan akal kita secara wajar untuk memahami agama kita dan memahami Al-Qur’an adalah suatu keharusan.

Jadi, kalau kita masih menjumpai ada orang-orang yang malah melarang kita untuk menggunakan akal kita dalam memahami agama kita ini, mari kita sodorkan ayat-ayat di atas, dan mari kita tanya apa pendapat mereka tentang ayat-ayat tsb.

Akhir kata, sudut pandang yang mengatakan bahwa “akal kita kotor” adalah sudut pandang yang tidak bisa dibenarkan. Dan dari sudut pandang ini, akhirnya muncullah generasi yang tidak mau mempelajari Al-Qur’an, dan malah sibuk mempelajari hal-hal lain yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, misalnya tentang bid’ah, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya pertentangan di mana-mana, lalu mereka juga pasti akan bersikap “mau menang sendiri” dalam berdebat, karena dari awal udah didoktrin untuk mematikan akal mereka. Jadi, mari kita gunakan akal kita untuk memahami Al-Qur’an dalam batasan yang wajar, tanpa perlu sibuk menafsirkan ayat-ayat yang kita memang tidak bisa memahaminya secara langsung. Jangan ikuti pendapat yang mengatakan bahwa akal kita tidak boleh kita gunakan untuk memahami Al-Qur’an, karena justru ayat Al-Qur’an sendiri-lah yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal kita agar bisa memahami ayat-ayat tersebut. Dan jangan pula kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu terlalu sulit bagi akal kita, karena Allah sendiri sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa Allah sudah membuat Al-Qur’an ini mudah, agar kita mampu mengambil pelajaran darinya.

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar, surat 54, ayat 17, 22, 32, 40)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (14 votes, average: 8.64 out of 5)
Loading...
Born in Cirebon, moved to Bandung, Tokyo, Kawasaki, Hitachinaka then Matsumoto, now live in Cikarang-Bekasi. Understand Javanese, Sundanese and Arabic Qur'an, speak in Indonesian, English and Japanese. Learn Islam from beloved parents in NU family, join kajian salafy for few years, learn many things from Egyptian Ikhwanul Muslimin ustadz, do many things with Tarbiyah friends, and enjoying friendship with many people from Jamaah Tabligh and others. Graduated from Institut Teknologi Bandung and Tokyo Institute of Technology, join short research program at Matsushita Research Institute Tokyo, work at Hitachi Automotive System Japan as Embedded Software Engineer for automotive radar cruise control system, moved to Seiko Epson Corporation Japan as Senior Embedded Software Engineer for epson printer, now working as Manager at PT Indonesia Epson Industry, Cikarang.

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization