Topic
Home / Pemuda / Essay / Nikmat Agung itu Bernama I.S.L.A.M Sob!

Nikmat Agung itu Bernama I.S.L.A.M Sob!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sekadar berbagi hikmah yang Allah taburkan pada setiap jengkal kehidupan…

Selesai menonton 1Liters of Tears. Sebuah film yang diambil dari kisah nyata. Film yang mengingatkan kita akan hakikat hidup dan hakikat kita sebagai makhluk hidup. Filmnya memang sudah sangat jadul, bahkan Ikeuchi Aya (penderita penyakit kerusakan sumsum tulang belakang) sudah wafat pada 23 Maret 1988, dan saya baru menontonnya, terus?? Masalah?? Hehe, tak apa sebenarnya, tapi merasa rugi saja ketika hikmah yang didapatkan Aya atas pengalaman hidupnya, tak bisa kita dapatkan pula sebagai sebuah pelajaran yang dapat membuka alam pikir kita, Allah katakan dalam Alquran: “Afalaa ta’qiluun”è “Maka apakah kamu tidak berfikir?”

Begitu Sob, maksudku…

Ok, kembali ke niatan awal. Subhanallah… hikmah itu, Kau taburkan dimana-mana… Betapa skenarioMu, bahkan sungguh sangat indah. Ketika penyakit itu Kau ciptakan, bahkan untuk memberikan pelajaran bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Betapa tujuan hidup yang Kau katakan pada kami melalui wahyuMu merupakan kekuatan tak terhingga, yang membuat diri bisa benar-benar menjadi kuat dan bertahan untuk hidup.

Saat diri terkulai lemah oleh penyakit yang belum manusia temukan obatnya, maka sungguh, pada akhirnya hanya pertanyaan “Apa tujuan saya hidup?” lah yang terlontar dari diri. Dan itulah yang terjadi, Ikeuchi Aya pun bertanya, “Apa tujuan saya hidup?”

Betapa pertanyaan yang Aya tuliskan pada lembaran akhir hidupnya itu, menohok saya, membuat saya melontarkan pertanyaan yang sama pada diri, “Apa tujuan hidupmu?”. Rasa syukur berbalut kesedihan pun saya rasakan. Syukur, karena hingga detik ini Allah masih menetapkan saya sebagai seorang muslim, dimana persoalan tujuan hidup telah Allah katakan jauh-jauh hari melalui wahyuNya, maka urusan saya saat ini adalah menjaga agar aktivitas hidup yang dilakukan senantiasa merujuk pada tujuan hidup yang telah Allah katakan. Sedih, karena Betapa rasanya ingin saya sampaikan pada Aya… “Untuk beribadah Aya… beribadah pada Allah yang menciptakan diriku dan dirimu, yang telah menetapkan skenario hidup atasku dan atasmu, jangan pernah merasa sendiri dan sedih Aya… karena Allah bersamamu, tidak pernah ada satu hal pun yang Dia ciptakan jika itu hanya sia-sia belaka. Begitu pun, pada ujian yang Allah takdirkan untukmu… Allah percaya bahwa dirimu mampu melewatinya…”

Klise?? Mungkin, setiap orang berhak untuk menilai apa yang ada dalam benak saya, kala melihat sebuah episode kehidupan yang digariskan Allah untuk makhlukNya, di belahan bumi sana, tapi, itulah yang benar-benar ingin saya sampaikan padanya…

Apakah kamu berfikir saya terlalu berlebihan? Mencoba menempatkan diri sebagai orang-orang di sekitar Aya yang ingin membantu menguatkannya atas ujian yang dia rasakan seorang diri, terlalu berlebihankah jika pada akhirnya saya berkata-kata seperti di atas?

Tak sabar, ingin segera menuliskan semua taburan hikmahNya yang saya petik pada episode kehidupan Aya. Sebab, kesemua hikmah ini, akhirnya membawa saya pada perenungan atas episode kehidupan yang kini tengah dijalani.

* Nikmat menjadi seorang muslim. Adalah sebuah nikmat yang tak bisa dibandingkan dengan suatu apapun. Ketika Allah menakdirkan kita terlahir dalam sebuah keluarga muslim, atau ketika Allah menakdirkan kita terlahir dalam sebuah keluarga non-muslim. Namun, pada akhirnya bisa mereguk nikmatnya berislam. Konsep hidup dalam Islam yang penuh dengan hal-hal yang mampu membuat kita bertahan dalam kondisi sekritis apapun. Tujuan hidup yang jelas. Itu yang saya garis bawahi.

* Perjuangan Ibu yang luar biasa. Atau… kata apa yang mampu melukiskan hebatnya perjuangan seorang Ibu? Karena rasanya kata ‘luar biasa’ itu terlalu biasa untuk menggambarkannya. Bagaimana dengan ketangguhannya, ia mampu menguatkan putrinya dalam kondisi teramat sangat kritis. Bagaimana ia mampu menyembunyikan rasa perihnya kala melihat penderitaan tak berujung yang dirasakan putrinya. Nikmat itu, sedikit demi sedikit Allah ambil. Nikmat berjalan, nikmat berbicara, nikmat bergerak bebas, pada putrinya. Bagaimana ia mampu terus menerus mengalirkan arus semangat hidup yang besar pada putrinya. Begitulah setiap Ibu ditakdirkan, dan begitu pulalah sosok Ibu dalam kehidupanku. Ibuku, Bidadari Surgaku.

* Kasih dan sayang seorang kakak pada adiknya. Fungsi alat tubuh yang terbatas, tak lantas membatasinya memberikan perhatian pada adik-adiknya. Sekecil apapun itu, betapa Aya sangat menghargai adik-adiknya. Ia selalu menempatkan posisi dirinya sebagai adik yang memiliki kakak dengan kondisi tubuh yang tak lagi normal, akankah adiknya merasa malu jika mereka harus pergi bersama? Maka, Aya selalu bisa mentoleransi sikap adik-adik padanya, sekalipun terkadang dirinya merasa perih. Namun, justru sikap tersebutlah yang pada akhirnya mampu membuka hati adik-adiknya untuk menerima kondisi Aya. Lantas bagaimana dengan saya yang masih memiliki fungsi alat tubuh normal? Apakah rasa kasih dan sayangku bisa kamu rasakan, dek? Maafkan jika selama ini, seringkali mengabaikanmu…

* Seseorang yang selalu mampu menghargai sekecil apapun bantuan orang lain. Menjadi seorang yang tak sungkan mengatakan maaf dan terima kasih. Pribadi yang dikenal senantiasa ingin membantu orang lain, sekecil apapun. Sebelum maupun setelah penyakit itu menghampirinya. Itulah Ikeuchi Aya.

* Seseorang yang selalu haus untuk membantu orang lain, bahkan saat geraknya terbatas. Masih enggankah untuk memberikan bantuan bagi yang memerlukan setelah Rasulullah sabdakan bahwa “Khairunnasi anfa’uhum linnasi” (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya)? Apapun, tak bisa menghalangi jiwa yang haus untuk memberikan manfaat bagi sekitar, sekalipun dia hanya bisa terbaring lemah…

* Kekuatan Self Acceptence dan Bersyukur. Rahasia besarnya ada pada bagaimana kita mampu menerima kondisi saat ini, dan bersyukur atas apa yang masih dapat kita lakukan hari ini. Tidak berfokus pada masa lalu. Itulah yang dapat mengendalikan rasa gugup, panik, bingung, kecewa dan perih. Meski sulit rasanya membayangkan jika saya yang harus melakukannya karena mengalaminya. Sebuah penyakit yang divonis belum ditemukan obatnya dan bahwa akan terjadi penurunan pada kemampuan-kemampuan yang kita miliki, perlahan tapi pasti, semua bergerak pada kemerosotan kemampuan diri dalam mengendalikan fungsi alat tubuh. Laa hawla wa Laa Quwwata Illa Billahil’aliyyil ‘adzhim…

* Masih ingatkah kita pada janjiNya? Bahwa QS. Al Baqarah: 155

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”

* Atau masihkah ingat juga dirimu pada janjiNya yang lain? Bahwa QS. Al-Baqarah: 286

“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya …”

* Dan bahwa janjiNya ini pulalah yang seringkali mampu membuat kita tegak berdiri menghadapi badai ujian, yakinkah kita pada janjiNya? Bahwa QS.Al-Insyirah: 5-6 

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”

Semua ini membawa saya pada pertanyaan,

Sudahkah saya bersyukur atas nikmat menjadi seorang muslim?
Sudahkah saya menjadi anak yang dapat menghargai perjuangan seorang Ibu?
Sudahkah saya tunaikan kewajiban sebagai seorang kakak dengan baik?
Sudahkah saya bisa menghargai semua hal di sekitar?
Sudahkah orang lain merasakan kebermanfaatan saya?
Masihkah saya ragu dengan janji-janjiNya?

Mengapa itu semua saya lontarkan? Agar diri dapat terus menerus mengevaluasi perjalanan kehidupan yang sudah sejauh ini. Dan karena saya tak pernah tahu, berapa detik lagi kehidupan ini bisa saya cicipi. Saya pun tak pernah tahu, dalam kondisi apa Allah akan menjemput suatu hari nanti.

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Agar setiap kita dapat senantiasa menjaga keberlangsungan evaluasi pada diri. Hingga hari-hari yang berlaku bagi kita di depan sana, adalah hari-hari yang dipenuhi dengan ikhtiar kita untuk menjadi pribadi yang bermakna. Tentu, pribadi yang Allah cintai.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...
Bernama lengkap Salma Shifatia Thursina. Saat ini kuliah mengambil Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Aktif dalam beberapa unit kegiatan mahasiswa dan menjadi fasilitator pada lembaga Daarut Tauhiid Training Center.

Lihat Juga

Mencintai Diri Sendiri

Figure
Organization