Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Air Mata untuk Seorang Ayah

Air Mata untuk Seorang Ayah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sesaat setelah menjelaskan tujuanku, kubuka wawancara dengan pertanyaan dasar terkait penghasilan. “Penghasilan tidak pasti dik. Kecil, hanya sekedar menyambung hidup dari hari ke hari. Untuk membeli beras, saya upahan di ladang orang, jadi kuli tani, ikut bantu-bantu panen orang yang punya ladang, dan sebagainya dik”. Jawab ibu di hadapanku respek.

“Suami kerja di kota dik. Kerjanya kuli angkut barang, kadang juga kuli bangunan, ya, tidak pasti gitu di kota …” Seketika keadaan hening. Ibu itu terdiam dingin. Mendengar keterangan ibu ini, Aku pun menerawang kejadian siang itu.

***

Di tengah kepadatan orang yang berlalu lalang, tiba-tiba menyeruak suara teriakan: “Maling… maling…!!!” Kulihat seseorang berteriak-teriak lantang sambil menunjuk lelaki yang mencoba berlari di tengah orang-orang yang berdesak-desakan melewati gang sempit pertokoan. Tepat di depanku, lelaki yang diteriaki itu terhenti larinya, tertahan badan orang-orang yang berdesakan, dan seketika itu juga kulihat orang-orang di sekelilingku berebut memukuli lelaki itu saling berjibaku, menendang dan meninju. Saat itu aku hanya terdiam melihatnya. Dan yang aku ingat, wajah lelaki itu saat ia berteriak minta ampun, wajahnya memelas penuh mengiba. Sesaat setelah diamankan seorang tokoh pasar, kudengar keterangan bahwa ia kuli yang sehari-hari biasa bekerja di pasar itu. Ia tertangkap basah hendak mengutil sembako di sebuah toko yang sedang ramai pembeli.

***

Tiba-tiba wajah ibu ini langsung sendu, dan dengan lirih ia melanjutkan kalimatnya, “Ini sekarang kan dua minggu lagi mau lebaran dik, tapi belum pulang juga, ga ada kabarnya. Padahal biasanya beberapa minggu sekali pulang membawakan uang”. Kulihat mata ibu ini mulai sembab, sedangkan anak balita di pangkuannya hanya memandangi ibunya tak mengerti. Aku pun terdiam, merasa ikut menanggung beban deritanya.

“Itu dik, foto suami saya.” Suara ibu itu semakin lirih dan sendu, menahan isak tangisan. Aku pun menengok ke dinding geribik, tertempel di sana foto tanpa bingkai, tampak gambar seorang lelaki sedang menggendong bayi. Seketika aku tercekat, bayangan wajah lelaki di pasar siang itu berkecamuk di benakku. Aku tertegun. Tak terasa, air mataku mengalir perlahan, hangat melewati pipiku.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.62 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktivis KAMMI Daerah Lampung, Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Lampung.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization