Topic
Home / Pemuda / Essay / Hidup Digadai Online

Hidup Digadai Online

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Zaman sekarang, teknologi sudah sangat maju, banyak hal bisa dilakukan dengan duduk manis depan PC sambil kipas-kipas. :D

Mau beli barang misalnya, tinggal buka forum jual beli on-line yang sudah menjamur dimana-mana. Tinggal menunggu beberapa hari, datang deh. Tidak perlu lagi harus mencari-cari ke toko atau bahkan hunting barang ke luar kota. Semua sungguh sangat mudah.

Begitu pun berkirim surat. Dulu, berkirim surat harus beli kertas dulu, nulis dulu, dimasukkan amplop, pergi ke kantor pos, beli perangko, dikirim berhari-hari hingga penantian menunggu balasan dari seberang sana. Sekarang? Nggak punya kertas, nggak sempat ke kantor pos, nggak perlu menunggu lama, e-mail bisa dikirim seketika itu juga.

Hal yang lain lagi, koran misalnya. Dulu, orang-orang menunggu pagi-pagi untuk menerima koran dari loper koran langganan, atau membeli koran di perempatan saat lampu merah, atau sengaja berkunjung ke tetangga untuk ikut membaca koran. Sekarang? Tinggal klik saja, mau koran yang jenis apa saja sudah tersaji di depan mata. Praktis.

Tapi yah kawan, jika kita mau melihat lagi, merasakan perbedaannya antara yang dulu serba manual dan sekarang serba ‘tinggal klik’, ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang kurang yang terasa saat ini. Yaitu seni dalam melakukan hal tersebut. Coba bayangkan, dulu saat ingin membeli sesuatu kita harus jauh-jauh ke toko atau bahkan keluar kota. Itu artinya kita harus ke luar rumah, bertemu orang-orang, bertemu penjual dan pembeli yang lain, bersosialisasi. Dulu, saat kita ingin berkirim surat, kita harus membeli ini itu, mengantarkan ke tukang pos, menanti dengan sabar balasan yang diterima. Dari situlah kita belajar untuk menghargai profesi-profesi di sekitar kita, dari situlah kita belajar bersabar menanti sesuatu yang kita inginkan. Dan sekarang semuanya tidak begitu terasa lagi. Banyak orang yang sudah memilih lebih praktis mengerjakan semuanya di depan PC, sendiri. Berkuranglah orang-orang yang bersosialisasi, berkuranglah pendapatan orang-orang yang bekerja dengan kerjaan “manual” (pak pos misalnya), berkuranglah seni-seni dalam hidup yang bisa kita ambil hikmahnya dari melakukan banyak hal secara manual.

Begitu pun dengan dakwah, kawan…

Mau kajian? Sudah bisa di dengarkan streaming, tinggal nyalain laptop tancepin modem. Mau cari materi buat ngisi halaqah? Tinggal searching, sekali klik, selesai. Mau syura? Tinggal chatting, jalan. Mau berbagi info atau menyampaikan sesuatu? Tinggal share dokumen atau di tulis di note, selesai. Mau minta maaf karena tidak bisa ngisi halaqah, tinggal pasang status biar dibaca adek-adeknya (eh, yang ini nggak ya? :D). Hampir semua aktivitas dakwah kita bisa dilakukan juga dengan “hanya” duduk manis di depan PC. Tapi, seperti halnya berkirim surat, seperti halnya berbelanja, ada yang kurang dari “seni berdakwah” jika hanya di lakukan on-line. Karena ternyata, sapaan hangat secara nyata bisa lebih membuat luluh adik-adik mentoring, karena ternyata menghadirkan jiwa dan raga secara nyata lebih membuat materi kajian terserap lebih baik, karena ternyata mengutarakan buah pikiran secara langsung dengan suara secara nyata akan lebih mengefektifkan syura, karena ternyata…karena ternyata…karena ternyata….

Karena ternyata kehidupan nyata tak bisa sepenuhnya tergantikan dengan kemudahan “serba on-line”.

Bukan, bukan berarti saya menolak adanya kemudahan serba on-line. Toh saya juga memanfaatkannya untuk beberapa aktivitas saya, karena memang dalam beberapa hal fasilitas on-line sangatlah membantu, termasuk menyebarkan kebaikan. Hanya di sini untuk koreksi kita bersama (termasuk saya, tentu saja), bahwa kita harus menggunakannya dengan bijak. Jangan sampai kemudahan ini membuat yang jauh menjadi dekat, tapi yang dekat terasa jauh. Harusnya yang jauh menjadi dekat, yang dekat tambah dekat. Kita harus menyeimbangkan aktivitas kita di dunia nyata dan dunia maya, termasuk aktivitas dakwah kita. Berangkatlah kajian ke masjid, jika kita masih mampu untuk berangkat, bukan streaming. Rembuglah dengan teman-teman kita, membahas kebaikan secara nyata, jika kita masih bisa mengusahakannya, tidak hanya sekadar chatting. Datanglah pada saudara-saudara kita untuk menghiburnya, untuk saling menasihati dalam kebaikan secara nyata jika kita masih mampu melakukannya, bukan sekadar menuliskan catatan di blog atau jejarsos saja. Lakukanlah hal-hal ‘manual’ itu jika kita masih bisa mengusahakannya semaksimal mungkin, dan beralihlah ke fasilitas on-line jika kita memang sudah tidak bisa mengusahakannya lagi. Karena dari yang ‘manual’ itu, ada seni yang tak kita temukan melalui jaringan internet. :)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 9.55 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang mahasiswa UGM dan aktivis yang sedang belajar menulis.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization