Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Siklus Stagnan

Siklus Stagnan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Kita bukannya tidak bisa, tapi tidak sempat.
Kita bukannya tidak sempat, tapi tidak mau.
Kita bukannya tidak mau, tapi tidak tahu.
Kita bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli.
Kita bukannya tidak peduli, tapi tidak bisa.

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Setuju dengan siklus di atas? Itulah siklus stagnan. Siklus yang diam, statis, tidak bergerak, dan jika dibiarkan terus akan menjadi penyebab terhentinya aliran kebaikan lantaran tidak ada satu pun hati yang tergerak. Laiknya air yang tidak bergerak, cepat atau lambat akan menimbulkan kekeruhan dan menjadi sumber penyakit.

Saudaraku, sadarkah bahwa siklus ini kerap kita temui, hadapi, atau mungkin pernah kita jalani tanpa kita sadari? Mungkin bermula dari munculnya rasa malas, kemudian lahir kecenderungan untuk melarikan diri dari amanah dan masalah, hingga akhirnya terciptalah alasan-alasan yang sekiranya dapat dijadikan pembenaran atas kekeliruan yang terjadi. Kala itu, berjuta alasan lahir seakan tanpa dipikir. Atau mungkin dipikir dulu, barulah lahir sebuah alasan.

Lantas siapakah yang terjebak pada siklus stagnan ini? Entahlah. Bisa jadi kita semua. Karena kita hidup dalam sebuah sistem. Laksana siklus hujan, yang mana awal dan akhir hanyalah titik di mana sebenarnya semua saling terkait.

Jika pada pertandingan sepak bola kita dihadapkan dengan pertanyaan, “Apa yang kamu inginkan dalam pertandingan ini?” Sudah tentu jawabannya kemenangan. Namun saat kemenangan itu teraih, muncul kembali pertanyaan, “Kemenangan ini karena siapa?” Saat itulah muncul banyak spekulasi. Ada yang berkata bahwa ini terjadi karena sang kiper begitu lihai dalam menangkap bola; Juga disebabkan para penyerang yang pandai memasukkan bola ke gawang lawan; Atau karena bagian gelandang yang cekatan merebut bola dan memberikan umpan cantik.

Namun bagaimana kalau keadaan yang terjadi adalah sebaliknya, tim kita kalah, dan kita kembali dihadapkan dengan pertanyaan serupa namun sedikit berbeda, “Kekalahan ini karena siapa?” Saat itu, banyak sekali hujatan, sikap saling menyalahkan, dan kita pun mencari-cari pembenaran guna melepaskan diri dari tanggung jawab.

Saudaraku, sadarkah bahwa saat ini kita tengah tercatat sebagai pemain dalam sebuah pertandingan? Pertandingan yang jauh lebih penting dari sepak bola. Pertandingan yang terus berlanjut hingga napas kita tiada. Pertandingan yang membuat hidup kita mulia di dunia dan mengantarkan kita ke dalam Surga. Sebuah pertandingan, di mana mulanya terjadi pada kesadaran hati kita. Ya, pertandingan melawan kebatilan pada sebuah lapangan amal bernama dakwah.

Jika kembali merujuk kepada sepak bola, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kemenangan: skill individu dan soliditas kinerja tim. Begitu pula dalam dakwah. Setiap dari kita janganlah puas terhadap kondisi yang ada, hingga kita terlena dan merasa aman-aman saja. Apalagi yang lebih parah, kita jumawa bahwa kita sudah menang. Padahal, belum ada pengumuman resmi bahwa pertandingan ini telah usai! Maka penting kiranya setiap dari kita terus berlatih meningkatkan kapasitas (fastabiqul khoirots) baik secara ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah, serta berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi pemain-pemain unggulan yang dapat membawa pertandingan ke arah angin kemenangan.

Namun kadang kala yang terlewat adalah, saat skill tiap individu mulai meningkat, justru kinerja tim (‘amal jama’i) yang melemah. Padahal, sebaik apapun kualitas individu, jika tidak disertai kualitas kerja tim yang baik, maka akan sulit mencapai kemenangan. Itu sebabnya mengapa Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.” Ada pula filosofi sapu lidi, di mana sapu lidi sebatang tidak akan cukup kuat dan efektif dalam membersihkan.

Ya, kedua hal itulah yang menjadi dasar kemenangan dakwah. Namun ironisnya, dalam pertandingan ini, yang mana Islam sudah pasti menang, hanya saja terkadang beberapa pemainnya tidak sadar bahwa mereka adalah pemain. Mengapa? Karena mereka terjebak siklus stagnan. Itulah yang membuat mereka sulit mencetak gol, atau bahkan kerap melakukan gol bunuh diri. Kala itu, banyak pihak lebih memilih untuk mencari kambing hitam, atau diam seribu bahasa, menutup mulut, mata, dan telinga terhadap yang terjadi.

Bayangkan jika setiap pemain berpikiran sama, “Biarkan perjuangan ini dijalankan oleh yang lain. Saya merasa belum pantas atau cukup sibuk sehingga belum bisa ikut berjuang. Lagi pula, tanpa saya pun sudah ada yang berjuang.” Coba tebak, kalau begini, lantas apa yang akan terjadi? Hal tersebut sama dengan pengendara kendaraan yang berpikiran, “Ah, aku lewat jalan ini saja, karena aku pikir jalan itu pasti macet sekali.” Namun sayang, banyak pengendara kendaraan lainnya yang berpikiran sama. Alhasil jalan yang dipilih jadinya macet, sedangkan jalan yang dihindari malah lengang sekali.

Saudaraku, Islam menghendaki kita untuk beramal dengan jiwa dan harta kita. Menjadi pemain utama dalam perubahan. Bukan sebagai pemain figuran apalagi sebagai penonton yang kerjanya hanya duduk-duduk, dan menanti kapan kemenangan akan tiba begitu saja! Terkait hal ini, Allah berfirman,

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4: 95-96)

Janganlah seperti Bani Israil yang sudah ditolong Allah, tapi tetap saja membandel. Sudah dibebaskan dari cengkeraman Firaun, tapi tetap saja menyembah berhala. Diberikan makanan yang enak, bukannya bersyukur malah meminta yang lainnya. Bahkan saat diberi kenikmatan tempat tinggal yang sudah dijamin kemenangannya di Palestina, apa jawaban mereka?

“Hai Musa, kami sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. 5: 24)

Tapi lihatlah bagaimana gambaran pengikutnya Nabi Isa A.S. dalam surat Ash-Shaaf ayat terakhir,

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61: 14)

Kemenangan Islam merupakan keniscayaan. Tinggal kita yang putuskan, akan tetap berjuang dalam barisan sebagai pemenang atau tertinggal di belakang sebagai pecundang. Apa yang kita ragukan? Kini bukan saatnya lagi mata-telinga kita tertutup, mulut terkatup, hati terbungkam, dan gerak terdiam. Siklus stagnan hanyalah sebuah belenggu penjara yang sebenarnya kunci pintunya ada di tangan kita. Bila bukan kita yang membukanya, lantas siapa?

Kita bukannya tidak bisa, tapi tidak sempat.
Kita bukannya tidak sempat, tapi tidak mau.
Kita bukannya tidak mau, tapi tidak tahu.
Kita bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli.
Kita bukannya tidak peduli, tapi tidak bisa.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.

Lihat Juga

Segudang Prestasi Muhamad Fathan Mubin

Figure
Organization