Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Cukup Katakan “Afwan, Jika Ada Hal Penting SMS Saja”

Cukup Katakan “Afwan, Jika Ada Hal Penting SMS Saja”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Cerita Pertama: Seorang ikhwan yang baru saja menerima telepon dari seorang akhwat yang memang merupakan partnernya dalam sebuah organisasi dakwah, senyum-senyum sendiri setelah selesai berbicara dengan akhwat di seberang sana melalui telepon. Kemudian teman sang ikhwan bertanya, “kenapa Antum senyam-senyum begitu? Dapet hadiah undian ya?” goda temannya. “Huuss apaan si Antum ini akh, memangnya siapa yang ikut undian? Ni tadi ukhti fulanah baru saja menelepon Ana.” jawabnya masih dengan senyum sumringah. “Lah terus kenapa meski pake senyam-senyum begitu, memang ukhti fulanah itu menelepon Antum untuk hal apa hayo? Mau ngajakin ta’arufan ya dia?”tanya teman sang ikhwan penuh selidik. “Ah apaan si Antum ini Akhi, ya nggak mungkinlah itu. Tadi ukhti fulanah menanyakan hal yang berkaitan dengan program kerja di organisasi. Gak tahu kenapa Ana senang sekali jika ukhti fulanah itu menelepon Ana. Hati jadi adem aja gitu dengerin suaranya.””Haaaaa???” teman si ikhwan kaget.

Cerita Kedua: Seorang akhwat memberi tahu teman akhwatnya yang lain bahwa ia baru saja menerima telepon dari ikhwan fulan yang memang merupakan partnernya dalam sebuah organisasi dakwah. Tidak ada hal spesial yang dibicarakan melalui telepon tersebut, hanya menanyakan program kerja di departemen yang menjadi amanah mereka. “Loh kenapa nggak tanya ke ikhwan lain aja? Memangnya ikhwan di departemen anti cuma dia?” Tanya teman sang akhwat. “Nggak tahu deh.” jawab sang akhwat singkat. “Eh ukhti, suara Akhi fulan kalau didengar dari telepon beda loh Ana rasa. Lebih lembut dan berwibawa. “Lanjut sang akhwat menjelaskan. Hmmm…..

Cerita Ketiga: “Tet…tit…tut…tet…tit…tet…tit…tut…tut…” dering hp seorang akhwat tapi enggan dijawab. “Jawab dong ukhti teleponnya, mungkin penting tuh.” desak temannya. Si akhwat begitu tenang dan tersenyum menanggapi desakan temannya. Setelah hp berhenti berdering, tertera tulisan “satu panggilan tak terjawab: Akhi fulan.” Kemudian si akhwat dengan tetap tenang mengetik pesan singkat “afwan Akhi, kalau ada hal yang penting sms saja. Jazakallah khair.” Lalu mengirim pesan itu kepada ikhwan yang meneleponnya tadi. Pesan pun dibalas, “afwan ukhti tadi Ana menelepon hanya ingin bertanya agenda apa yang dibahas saat syura. Tadi Ana berhalangan hadir.”

Tidak dipungkiri, fenomena seperti cerita di atas pernah kita jumpai dalam interaksi ikhwan-akhwat aktivis dakwah. Ada rasa “aneh” yang menyergap hati jika seorang ikhwan mendengar suara akhwat tertentu, begitu pun sebaliknya. Ada kicauan-kicauan yang tidak biasa dalam hati saat atau pun setelah mendengar suara itu, “suaranya kedengeran manja banget”; “eh suaranya beda banget ya, kedengeran lebih lembut”; “ah suaranya lucu tapi buat ngangenin”; “hmm suaranya lebih dewasa dari biasanya kalau didengar via telepon”. Dan fenomena ini jika lama dibiarkan akan menyebabkan beberapa efek negatif bagi diri sang aktivis juga bagi keberlangsungan aktivitas dakwah yang sedang mereka geluti. Efek negatif apa? Mungkin, bisa saja timbul virus-virus rasa “tak biasa” yang menyerang software hati yang masih belum terlindungi antivirus hati. Contohnya? Hati jadi kebat-kebut ria karena mendengar suara sang ikhwan atau sang akhwat, tidak nyaman jika ada hal yang dibicarakan harus menggunakan sarana lain semisal sms atau melalui email yang tidak menimbulkan efek suara, dari mendengar suaranya jadi terbayang rupa dan sikapnya, dan kicauan-kicauan “tidak biasa” lainnya yang menggelayut di hati saat mendengar suara ikhwan atau akhwat tertentu. Sebagai aktivis dakwah, memang agak sulit menghindari hal ini dalam berinteraksi. Namun dengan niat yang baik untuk senantiasa saling menjaga hati, insya Allah selalu saja ada solusi yang bisa ditawarkan. Bukankah setiap penyakit ada obatnya? “Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Dan setiap masalah ada solusinya? Sesulit apa pun, selalu saja ada kemudahan yang Allah berikan. “Karena sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Allah Swt tidak mungkin menurunkan penyakit tanpa menyediakan obatnya. Pun begitu, tidak ada masalah yang tidak ada solusi. Selagi kita yakin dengan Allah dan senantiasa berhusnudzon kepada-Nya, insya Allah segala sesuatu dapat kita atasi.

So solusinya? Mungkin apa yang dipaparkan berikut ini bisa dijadikan sebagai referensi solusi. Sebelum rasa yang “tidak biasa” itu menyambangi dan merusak hati, Allah sudah mengingatkan kita untuk menjaga cara bicara seperti yang Allah Swt firmankan dalam ayat berikut ini: “Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab: 32). Dari ayat tersebut tersirat bahwa kita diwajibkan untuk menjaga bicara khususnya terhadap orang yang bukan mahram kita. “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara”, jangan mendayu-dayu saat berbicara, jangan memanja-manjakan suara, intinya harus tegas dalam berbicara baik melalui telepon mau pun ketika berbicara di forum-forum, di acara atau saat syura dan interaksi lainnya dengan orang-orang yang bukan mahram kita. Maka tegaskanlah cara bicara Anda. Tegas bukan berarti keras atau marah karena dengan tegas berarti kita telah membentengi hati dan menjaga izzah diri. Sebab jika tunduk berbicara maka telah membuka peluang bagi syeitan untuk mempermainkan nafsu, menghembus penyakit dalam hati, menikmati rasa yang tidak biasa dan pada akhirnya akan menjerumuskan kepada zina hati. Karena pada hakikatnya, hati seseorang dapat diketahui dari apa yang diucapkan oleh lidahnya. Apa yang diucapkan oleh lidah bisa dijadikan parameter untuk menilai keistiqamahan iman seseorang. “Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqamah (terlebih dahulu), dan tidak akan istiqamah hatinya sehingga lidahnya beristiqamah (terlebih dahulu).” (HR. Ahmad dari Anas RA). Dan pada hadits lain dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Bila seorang hamba berada di pagi hari, maka semua anggota tubuh akan memberikan peringatan kepada lidah dan berkata, ‘Takutlah engkau kepada Allah, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Bila kamu istiqamah kami akan istiqamah, dan bila kamu melenceng kami pun ikut melenceng’.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).

Yahya bin Mu’adz berkata: Hati itu bagaikan panci yang sedang menggodok apa yang ada di dalam hatinya, dan lidah itu bagaikan gayungnya. Maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada Anda bagaimana “rasa” hatinya, adalah apa yang ia keluarkan dari lidahnya.

“Dan ucapkanlah perkataan yang baik.” termasuk penggalan ayat dalam surah Al-Ahzab ayat 32. Perkataan yang baik yaitu berbicara dalam hal-hal yang dapat membawa manfaat dan kebaikan serta mampu menahan lidah dari ucapan yang bathil yang bisa merusak hati. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia mengatakan hal-hal yang baik atau diam saja” (HR. Bukhari-Muslim).

Lalu bagaimana jika ada hal urgen yang memang harus diselesaikan melalui telepon antara ikhwan dan akhwat karena tidak efektif dirasa jika harus disampaikan melalui sms atau email? Maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara kita menyampaikan hal tersebut dengan baik dan efektif. Baik dalam arti menggunakan kata-kata yang formal, singkat, padat, jelas dan tegas. Dan efektif menggunakan waktu dalam menyampaikan hal itu melalui telepon. Fokus pada tujuan awal agar hal-hal di luar bahasan tidak perlu diutarakan (hemat pulsa, heheh). Jika diharuskan, seorang ikhwan yang akan menelepon akhwat atau sebaliknya untuk urusan kegiatan atau kerja dakwah bisa meminta orang lain untuk mendampinginya saat menerima telepon dari seorang yang bukan muhrimnya. Misalnya dengan mengatakan, “iya mau bicara apa akh/ukh? Kebetulan di samping Ana ada Akhi fulan/ukhti fulanah.” Mengapa hal ini perlu dilakukan? Agar hal yang disampaikan baik dan efektif sesuai dengan urgentifitas hal tersebut dan untuk mengantisipasi terjadinya ikhtilath. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR. Ahmad). Setan itu sangat lihai mengambil celah untuk menggoda manusia dengan mempermainkan nafsunya. Ikhtilath tidak hanya terjadi dalam interaksi nyata namun bisa juga terjadi melalui telepon bahkan saat berinteraksi melalui jejaring sosial dunia maya. Dengan adanya orang yang mendampingi saat membahas hal urgen tersebut melalui telepon diharapkan komunikasi menjadi lebih terjaga. Sebaiknya, jika dalam sebuah syura, forum diskusi dan acara apa saja yang melibatkan interaksi ikhwan dan akhwat diharapkan semua peserta yang menghadiri acara tersebut mencatat hal-hal penting yang disampaikan. Ini bertujuan agar teman-teman lain yang memang kebetulan tidak dapat menghadiri acara tersebut dan ingin mengetahui pembahasan yang dihasilkan dapat bertanya kepada teman semuhrim. Karena dengan teman semuhrim lebih leluasa menyampaikan apa saja hal yang ingin dipertanyakan (sekalian curhat juga boleh, heheh). Dan kalau pun masih ada yang menanyakan hal itu kepada seorang yang bukan muhrimnya, cukup katakana, “afwan Akhi/ukhti, jika ada hal yang penting sms saja.” Wallahu’alam bishawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 7.92 out of 5)
Loading...

Tentang

Alumni FMIPA USU stambuk 2008 jurusan D3 Kimia Industri. Saat ini aktif sebagai pengajar.

Lihat Juga

Denting Cinta di Sujudku

Figure
Organization