Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Celupan dan Perubahan

Celupan dan Perubahan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Menara tua itu masih tetap setia menjadi teman bagi mereka. Setia merelakan pelatarannya dijejali sejumlah manusia yang hampir semuanya berpenampilan tak biasa. Itulah mereka; sampah masyarakat, orang-orang tak berguna, dan gelandangan pembuat resah masyarakat. Paling tidak, tiga hal ini sudah cukup menjadi citra dominan mereka di dalam benak kebanyakan orang.

Sebelas lebih 30 menit, tepat. Inilah waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding yang terpasang di menara tempat sampah-sampah masyarakat itu berkumpul dan bercengkerama. Asap rokok membumbung menuju ke langit, seolah punya niat hendak menundukkan keperkasaan sang raja siang. Lagu yang syairnya berisi hujatan terhadap pemerintah pun terdengar membahana, keluar secara serempak dari mulut-mulut mereka. Dibersamai iringan dua buah gitar yang dimainkan dua orang dari mereka, dan satu buah alat tabuh yang dimainkan salah satu dari mereka.

Di sebuah sudut, Jazuri menyaksikan seorang pria yang juga berpenampilan serupa dengan sampah-sampah masyarakat itu. Duduk terpekur sendirian. Terpisah dari hingar-bingar teman-temannya yang lain. Sebatang rokok terapit di sudut bibirnya yang hitam dicat lipstik. Asap pun mengelun dari bibir dan lubang hidung pria itu.

Jazuri mendekati pria yang terpisah dari komplotannya itu. Ia mendapati mata sang pria sedang tertuju ke arah sebuah bangunan artistik yang tepat berada di seberang pria itu. Bangunan itu adalah Masjid, tempat yang hendak dituju Jazuri untuk melaksanakan shalat Zhuhur.

Tatkala pria itu tahu ada seorang Jazuri yang hendak mendekat ke arahnya, matanya seketika beralih tajam menatap Jazuri. Gayanya yang menyeramkan pun semakin kentara dengan jelas. Sederet anting nampak terpasang pada kedua telinganya. Tak mau ketinggalan, bibirnya juga ia pasangi anting. Hidungnya pun demikian, dipasangi anting juga. Bibir matanya dicat berwarna hitam. Rambutnya berdiri kaku layaknya rambut seekor landak. Sebagian sengaja dipangkas habis, sebagian lagi sengaja dibiarkan tumbuh. Nampak begitu kumal dan tak terawat. Celananya ketat dan juga penuh tambalan. Bajunya kumal tak pernah dibersihkan. Kok bisa ada orang macam ini ya? Batin Jazuri pun berbisik demikian.

“Shalat yuk..” Ajak Jazuri setibanya ia di tempat pria yang sedang duduk terpekur itu. Berusaha berucap sesantun mungkin.

Tak didapatinya sebuah jawaban dari mulut sang pria. Mata sang pria malah kian tajam menatap Jazuri. Jazuri tak mau kalah, dia pun melakukan hal yang serupa dengan si pria. Ia menatap balik mata si pria dengan tajam. Sembari melangitkan sebuah do’a di dalam hatinya, ya Allah, lembutkanlah hatinya ya Allah.

Sang pria berpenampilan mengerikan itu pun kalah, tak kuat bersitatap terlalu lama dengan Jazuri. Tatapannya sesegera mungkin ia alihkan ke arah teman-temannya yang sedang bersuka cita dengan dendangannya. Berdirilah ia, setegak pohon kelapa. Kedua tangannya sengaja ia angkat tinggi-tinggi. Telunjuk tangan kanan tegak menyangga telapak tangan kiri yang ia posisikan horizontal, “Boi, berhenti dulu! Ayo kita shalat!” teriaknya.

Dampaknya memang hebat. Dendangan lagu pun seketika berhenti. Kawan-kawan pria itu saling bersitatap satu sama lainnya, seolah memastikan bahwa mereka tak salah mendengar ucapan.

“Ayo! Kita shalat dulu.” Teriak sang pria sekali lagi.

“Siap Bos!” Ujar sebagian besar dari mereka.  Kini mereka yakin bahwa mereka tak salah mendengar ucapan. Jazuri tertegun menyaksikan realitas itu. Lebih tertegun lagi tatkala dia mulai tahu bahwa pria bergaya amburadul yang terpisah dari kawan-katannya itu ternyata adalah ketua komplotan.

Parodi menakjubkan pun terjadi kemudian. Segerombolan anak Punk bergaya menyeramkan bergerak serentak menuju ke Masjid. Jazuri kini menjadi bagian dari mereka. Penampilannya tampak paling berbeda dengan orang-orang yang ada dalam komplotan. Adzan pun terdengar dikumandangkan beberapa saat kemudian.

Orang-orang yang di dalam hatinya sudah bersarang citra buruk akan perilaku anak-anak Punk itu, serta merta menatap mereka dengan tatapan jijik dan penuh ketidaksudian. Hanya berpikiran jijik, hanya berperasaan benci. Otak mereka tumpul tatkala dihadapkan pada pertanyaan bagaimana cara merubah anak-anak yang butuh sentuhan perhatian itu. Tak mampu berpikir, apalagi mengeksekusi sebuah solusi. Hanya bisa menghujat, mencela, dan juga mencaci; sampah masyarakat!, pembuat onar!, gelandangan tak berguna!.

“Ayo, wudhu dulu.” Ujar Jazuri kepada mereka.

Jazuri menyaksikan pemandangan itu untuk pertama kalinya. Puluhan anak berpenampilan mengerikan berjejalan menyucikan diri di tempat wudhu. Rantai yang mereka pasang di celananya masing-masing pun terdengar bergemerincing karena beradu satu sama lain. Bunyinya berkompilasi dengan suara cucuran air yang keluar dari keran-keran di tempat bersuci itu. Sangat indah untuk didengar dan disaksikan.

Wudhu pun purna mereka laksanakan. Semuanya segera beranjak menuju ke dalam masjid. Ikut shalat berjamaah bersama dengan orang-orang yang kerap mereka buat resah.

Setelah shalat selesai, mereka segera ke luar dari dalam masjid. Orang-orang yang masih tersisa di dalam masjid, seketika langsung gemerutu satu sama lainnya. Mencela lagi, mencaci lagi, memvonis lagi. “Aduh! Tu anak-anak bau.. bla.. bla.. bla..”

Kawan, ini adalah sebuah permulaan dakwah yang nyata dari seorang Jazuri. Tidak banyak cingcong berbicara penuh busa terkait cara mujarab untuk mempengaruhi dan merubah orang. Dia langsung mengeksekusi pemahamannya ke dalam amal yang nyata.

“Makan yuk di rumah saya..” suatu saat Jazuri mengundang para gelandangan itu untuk makan di rumahnya. Tentu setelah ia bicarakan terlebih dahulu dengan istrinya. Jazuri dan istrinya menjamu anak-anak gelandangan yang kerap membuat masyarakat murka itu dengan jamuan yang paling istimewa.

Kawan, yakinlah makanan adalah cara mujarab yang bisa kau pergunakan untuk menyentuh hati manusia. Karena, setelah itu, di luar bayangan Jazuri, ia langsung diminta oleh para gelandangan itu untuk mengadakan pengajian rutin. Bayangkan! Anak Punk melaksanakan pengajian rutin. “Bang, kami pengen ngaji.”

Awalnya sebulan sekali, anak Punk memanggil Jazuri abang. Lalu ditambah intensitasnya menjadi dua pekan sekali, anak Punk memanggil Jazuri ustadz. Lalu ditambah lagi intensitasnya menjadi sepekan sekali, anak Punk memanggil Jazuri dengan sebutan Amirul Shaff (baca: pemimpin barisan). Jadilah forum pengajian pekanan itu layaknya sebuah kelompok halaqah yang dinamis. Pesan yang senantiasa diingatkan Jazuri pada binaan-binaanya itu hanya dua hal; jaga shalat dan jangan bermaksiat kepada Allah.

Hingga pada suatu hari Jazuri terharu merenungi sebuah sms yang masuk ke HP-nya. Sms itu dikirim mas’ul halaqah binaannya yang sebelumnya merupakan ketua gerombolan Punk pembuat resah masyarakat.

“Yaa amirul shaff, kami akan mengadakan khitanan massal gratis di Desa Antah Barantah, kedatangan Antum adalah sebuah kehormatan bagi kami. Datang ya..”

Terpekurlah Jazuri. Hatinya berbunga mendapati perubahan yang demikian cepat dari binaan-binaanya.

Khitanan massal gratis. Direncanakan dan dieksekusi oleh anak-anak Punk. Sebuah kegiatan yang aktivis-aktivis berpendidikan sekali pun terkadang kesulitan melaksanakannya. Yang jadi penyebabnya adalah karena aktivis-aktivis yang katanya berpendidikan itu hanya mempunyai kemampuan berkoar di tataran wacana. Urusan eksekusi? Mereka tak tahu entah ke mana.

Cerpen ini diinspirasi oleh kisah hidup Ust. Herry Rusli. Sebagaimana beliau sampaikan dalam sebuah acara mabit di Masjid Madliyyah Kampus UGM.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (36 votes, average: 9.83 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa.

Lihat Juga

Hijrah, Dari Gelap Menuju Cahaya

Figure
Organization