Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Keju Termahal, Kejujuran

Keju Termahal, Kejujuran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (ahmedfikreatif.wordpress.com)

dakwatuna.com – Di antara sekian banyak jenis keju di seluruh dunia, ternyata keju jenis inilah yang terbaik. Terbaik dan termahal ditilik dari sisi manapun. Keju Swiss, keju putih, atau keju jenis apapun kalah jauh dibanding keju yang satu ini. Kejujuran.

Jika melihat elit politik negeri ini sekarang, terlalu banyak yang tak berkesempatan mencicipi lezatnya keju ini. Kejujuran, menjadi sesuatu yang mahal dan langka di antara mereka. Berkelit dengan dalih lupa, tidak kenal, atau dengan 1001 manipulasi di hadapan pengadilan manusia, membuat mereka semakin jauh dari asap kejujuran.

Di luar sana bahkan beredar sebuah keyakinan, “Sapa jujur bakal ajur” yang artinya siapa yang jujur akan hancur. Prinsip ini mungkin telah menghinggapi sebagian masyarakat kita. Tak heran korupsi menjadi hal yang bercokol pada lapisan terendah masyarakat (grass root) hingga elitnya.

Tak usah jauh-jauh mendongak ke atas. Lihatlah diri sendiri di cermin reflektor. Sudahkah kita menjadi konsumen setia keju terbaik ini, kejujuran?

Saya tergelitik dengan status seorang teman. “Jika dosa dimanifestasikan dengan bau, saya yakin banyak orang yang tak mau mendekati saya lantaran bau pada diri saya.” (Yusup Azzam). Ya, dan tidak jujur adalah hal yang paling akrab dengan kehidupan kita, setidaknya saya. Dengan alasan membela diri, melindungi kepentingan diri, saya masih sering melewatkan kenikmatan keju yang saya bilang paling mahal ini.

Lalu, bagaimana cara agar kita bisa menjadi konsumen setia kejujuran? Mungkin Anda, jauh lebih tahu cara terbaik dalam hal ini. Saya hanya akan membagikan sedikit hal yang saya sendiri terapkan dalam kehidupan. Kejujuran, adalah hal yang gampang-gampang sulit. Namun, efek baik yang dihasilkan sangatlah dahsyat. Lagi-lagi, Baginda Rasul menjadi contoh terbaik dalam hal ini. Siapa manusia pada zaman beliau yang meragukan kejujuran seorang Muhammad. Bahkan, musuh beliau pun sejatinya mengakui kebenaran setiap perkataan beliau. Kesombonganlah yang menjauhkan mereka dari hidayah Allah.

Hal pertama yang saya terapkan pada diri yakni kesadaran. Saya harus tahu terlebih dulu apa itu kejujuran dan manfaatnya dalam kehidupan. Saya menstimulus diri untuk mencintai hal kecil yang bernilai kejujuran. Selanjutnya, saya disiplinkan dan tegaskan aplikasinya dalam diri. Saya tak memungkiri, bahkan hingga kini proses pembelajaran saya ke arah sana masih terus berlanjut. Pikir saya, jika saya tidak tegaskan kejujuran dalam diri akan saya temui kesulitan membiasakannya dalam keseharian.

Langkah berikutnya yakni pembiasaan. Saya memang bukan ahli yang meramu formulasi teori tertentu. Namun, apa salahnya sedikit berbagi ramuan ilmu yang saya dapat dari literatur maupun guru kehidupan di sekitar saya. Pembiasaan adalah langkah lanjutan setelah kita mengenal dan secara sadar memulai suatu hal. Pembiasaan membutuhkan setidaknya dua faktor utama; konsistensi dan dukungan lingkungan.

Konsistensi berikatan dengan kekuatan diri dalam mempertahankan hal baik yang kita usahakan. Ia membutuhkan perjuangan lantaran pasti banyak hal kontradiktif yang akan dihadapi. Kata orang, fitrahnya kebaikan ya ada saja yang melawan atau menghalangi. Nah, semakin kita merasa sulit mempertahankan prinsip kejujuran, di mana banyak hal yang merintangi, di sinilah kekuatan konsistensi kita diuji. Kuatkah?

Lingkungan eksternal merupakan faktor yang tak kalah penting. Sekuat apapun konsistensi kita mempertahankan prinsip kejujuran diri, jika tak didukung lingkungan yang kondusif akan berpengaruh pada keberlangsungan hal tersebut. Meski, tak dipungkiri juga, tetap ada orang hebat di luar sana yang mampu tetap mempertahankan kejujuran di tengah lingkungan yang korup.

Ada sebuah ungkapan menarik. “Ajarlah jiwamu untuk mencintai ketinggian (hal baik) agar ia benci sesuatu yang rendah (keburukan).”

Akhirnya, kejujuran menjadi cermin kebaikan raja tubuh kita (hati). Teringat nilai kejujuran tokoh Ayah dalam novel besutan Tere Liye, Ayahku (Bukan) Pembohong. Betapa kekuatan kejujuran mampu mendekatkan dengan banyak kebaikan lain sebagai buahnya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa semester 1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saat ini aktif di KAMMI dan menjadi kepala departemen Pemberdayaan Perempuan KAMMI Komisariat Madani.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization