Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Masalah Feminisme, Masalah Kita

Masalah Feminisme, Masalah Kita

Ilustrasi (inet)

(Satu)

dakwatuna.com – “Aisyah menangis tersedu. Ujung jilbabnya ia gigit keras-keras sambil memeluk guling teman tidurnya. Sang Ibu yang sangat mengerti perasaan hati putri tersayangnya itu berkali-kali mengetuk pintu kamarnya. Aisyah tetap saja tak mau membukakan. Betapa ia ingat perkataan ayahnya sore tadi. Meskipun tak bernada memaksa, ayah seperti memberi ultimatum, “Gimana Is, nak Indro itu serius. Hidup sudah mapan. Ayah kenal baik pak Gunawan. Lagi pula mereka dari keluarga terpandang”. Dalam hati, Aisyah berbisik, Tahukah ayah bagaimana kehidupan agama Indro sebenarnya. Menikah kan menyangkut masalah masa depan, dunia dan akhirat. Buat Aisyah, suami mestinya jadi panutan kehidupan keagamaannya di masa datang. Perjalanan dakwah yang selama ini ia bangun lewat pengajian-pengajian kecil di rumah Mba’ Yul bisa jadi akan berantakan kalau kemudian Indro tidak mendukungnya sama sekali.”

(Dua)

“Lagi-lagi Tia pulang malam. Ayahnya sudah jemu menegur. Ada saja alasannya; “Les di rumah teman-lah. Belajar merangkai bunga-lah. Mengikuti seminar wanita modern-lah.” Atau paling sering dia bilang, “Biar nggak dibilang kampungan, Pa.” Kalau ayahnya sampai marah, Mamanya membela, “Ala pak, zaman kita kan berbeda dari zaman anak-anak sekarang.” Orang bilang sekarang kan emansipasi. Persamaan hak. “Kalau kamu nggak rajin ngawasin Dodi, Tia,” kata Riri yang selalu diingat Tia, “bisa-bisa Dodi disabet Inge.” Sampai suatu hari, Tia kedapatan muntah-muntah. Astaghfirullah.”

(Tiga)

“Tantri menyebut asma Allah keras-keras dalam shalat istikharahnya. Sudah sejak tiga hari ini ia mencoba menetralkan hati-nya dari bisikan apapun. Tiga hari lalu, seorang anak muda datang ke Mba’ Feth — guru ngajinya — yang meminta Tantri untuk menemaninya di jalan dakwah. Mba’ Feth cuma kasih pertimbangan, gambaran dan wawasan tentang kehidupan berkeluarga. Semua dikembalikan pada Tantri untuk memutuskan. Satu hal yang ditekankan Mba’ Feth bahwa Basith — anak muda yang memintanya itu — adalah seorang aktivis dakwah yang “sudah waktunya berkeluarga”. Setelah konsultasi dengan ayah dan ibu, mereka bilang, “Bila memang dia baik untuk kehidupan kamu, kami tak ada keberatan.” Tantri minta waktu seminggu untuk menjawab tawaran Basith”.

Jika kebetulan cerita di atas ada yang bersesuaian dengan alur kehidupan Anda, pertama-tama saya mohon maaf. Nama-nama di atas tak ada hubungannya dengan orang yang Anda kenal, baik masih hidup ataupun sudah mati. Semua hanya ilustrasi fiktif untuk memulai pembicaraan tentang feminisme. Issu feminisme yang tengah bergulir di hampir semua negara (termasuk negara Islam) saat ini, — diakui atau tidak — umumnya bermula dari satu persoalan yang sangat pokok: Ketidakadilan sikap masyarakat terhadap wanita. Persoalan itu terlihat jelas ketika wanita menghadapi masa-masa sulit. Seperti menentukan siapakah yang akan menjadi pendamping hidupnya karena — kalau bisa — sekali mengambil keputusan, hal itu mesti bertahan selama nyawa masih dikandung badan.

Pada masyarakat yang dikuasai kaum pria (male dominated society) wanita memang acap kali mendapati dirinya pada posisi yang sulit. Kalau ada laki-laki main perempuan, masyarakat memaklumi. “Itu kan simbol kejantanan”, komentar majalah PRIA. Tapi, bila seorang janda pulang malam, orang sekampung ribut. Padahal, Mba’ Anggi menjadi janda bukan pilihannya. Dan ia terpaksa bekerja di luar rumah untuk membiayai sekolah Tono dan Toni yang lahir sebagai hasil perkawinannya dengan — tentu saja — laki-laki.

“Male dominated society” ini sesungguhnya sudah bermula dari sikap kita terhadap anak-anak sejak mereka kecil. Pak Kadir, pensiunan PNS golongan IIIA, bingung menentukan pilihan siapakah yang mesti melanjutkan sekolah: Yana atau Yani. Akhirnya, ia menyuruh Yana mendaftar karena dia laki-laki padahal rapor sekolah Yani nilainya jauh lebih bagus dari Yana. “Nanti juga kan Yani kembali ke dapur”, begitu kira-kira alur berpikir Pak Kadir. Ketidakadilan sikap itu bukan saja telah menutup potensi Yani, tetapi sekaligus menyia-nyiakan sumber daya ekonomi Pak Kadir yang pas-pasan. Sebab tahu-tahu Yana jeblok sekolahnya karena kerjanya hanya tawuran.

Lebih jauh, perusahaan tempat kita bekerja juga bersikap sama. Seorang pekerja pria yang bekerja di perusahaan “A” sebagai manajer digaji lebih besar dari wanita yang bekerja pada posisi yang sama. Belum lagi bila kita ingat bagaimana Marsinah (semoga Allah swt. merahmatinya) dihabisi nyawanya hanya karena ingin meningkatkan gaji pokoknya dari Rp. 3.500,- perhari menjadi Rp.3.750,-. Marrisa Bellisario, salah seorang manajer wanita paling populer di Eropa pada tahun 1984., karena berhasil mengantarkan perusahaan ITALTEL menjadi perusahaan telekomunikasi paling berwibawa di Itallia, ternyata digaji lebih rendah dari CEO (Chief Executive Officer) pria pada IBM atau AT&T.2 Lembaga konsultan McKinsey melakukan penelitian pada lima negara paling aktif di bidang pemasaran. Hasilnya sungguh mengejutkan, di Jepang justru karyawati lebih makmur ketimbang sejawatnya di Amerika, negeri yang selalu berteriak tentang persamaan hak.3

Antara lain, berangkat dari fenomena seperti inilah, feminisme mulai menabuh genderang perangnya. Di masyarakat Barat, feminisme lahir sebagai protes atas sikap masyarakat yang menempatkan wanita tak lebih dari objek pemuasan seksual. “Untuk apa wanita diciptakan,” tulis William Dorothy, “untuk memuaskan nafsu seks laki-laki.”4

Thesis Dorothy ini berangkat dari fenomena sosial masyarakat Eropa abad pertengahan bahwa manusia diukur dengan kemampuan kerja. Maka, bila wanita tak memiliki kemampuan apa-apa, ia tak lebih jadi mangsa seks kaum pria. “Karena itu, kita memiliki istri untuk memiliki keturunan, dan kita memelihara gundik untuk memuaskan nafsu”. Tulis Dorothy lebih lanjut.5

Di masyarakat Islam, feminisme lahir dari tiga hal: Pertama; ia adalah antitesis dari sikap sebagian kaum pria yang terlanjur memandang wanita hanya sebagai “pelengkap” kehidupan seks belaka, kira-kira tak jauh beda dengan pandangan masyarakat Eropa di atas. Bagi mereka, wanita tidak lebih dari tiga “r”. Dapur, sumur dan kasur. Kalau Anda punya pikiran, “buat apa harus menyekolahkan Lani tinggi-tinggi, nanti kan ke dapur juga,” Anda sudah terkena gejala pertama dari kelompok pria yang menyepelekan kaum wanita itu. R.A. Kartini (Indonesia), Emile Ruete (Zanjibar), Taj Al-Saltanah (Iran), Aisya Taimuriah (Mesir), dan Zaynab Fawwaz (Lebanon) adalah sebagian wanita feminis yang melakukan pemberontakan terhadap sikap ambivalens laki-laki seperti itu.

Dalam roman “Siti Nurbaya”, Marah Rusli bercerita tentang perjuangan seorang Siti Nurbaya dari belenggu kecongkakan Datuk Maringgih. Meskipun Siti Nurbaya akhirnya “kalah” dan rela dipersunting kakek tua itu sambil berurai air mata, satu pesan moral yang hendak disampaikan Marah Rusli adalah bahwa wanita “mestinya” punya hak untuk menentukan pilihan hidupnya. Roman yang ditulis pada akhir abad sembilan belas tersebut menggambarkan suasana dilematis yang dihadapi wanita Indonesia khususnya dan masyarakat Muslim pada umumnya. Dalam kasus Siti Nurbaya, karena orang tuanya berutang budi pada Datuk Maringgih.

Kita pun patut prihatin bahwa hal ini terjadi di sebagian besar negara-negara Islam. Sampai-sampai Mas Syaukat, seorang teman Pakistan yang belajar Master of Business Administration, punya ungkapan begini, “Maulanas do not like the women work, but they like woman!” Ungkapan Mas Syaukat ini mungkin berlebihan tapi spiritnya patut kita catat. Bahwa banyak kaum pria berlindung pada kedok agama untuk melakukan justifikasi dari sikap-sikap “buaya”nya. “Ane kan kawin lagi karena Al-Qur’an menganjurkan,” kata bang Sholeh, orang Betawi asli yang hidup pas-pasan. Dari tiga istri pertama saja, dia sudah punya anak sembilan dan tidak seorang pun mendapat pendidikan yang layak. Eh tahu-tahu kawin lagi sama anak gadis umur delapan belas tahun. “Banyak anak, banyak rezeki.” Katanya menambahkan.

Dalam wacana yang lebih luas, sikap ambivalensi laki-laki terhadap wanita terlihat pada pola kehidupan sosial yang cakupannya lebih besar. Misalnya, soal kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, pelayanan kemasyarakatan dan kiprah politik. Untuk hal yang terakhir, syukur bahwa di negara kita ada Undang-Undang Dasar 45, yang memberikan jaminan hak pilih bagi wanita. Tapi lihatlah ke negara-negara Islam lainnya.

Di Maroko, baru pada akhir tahun 70-an, kaum wanita memiliki hak suara. Di Al-Jazair, wanita sama sekali tak menempati pos kepemerintahan. Di Saudi Arabia, wanita tidak diizinkan mengendarai mobil, tapi kalau pergi diantar sopir Pakistan — yang tentu juga bukan muhrimnya — boleh. Di Afghanistan, wanita bahkan tidak tahu siapa yang memimpin mereka. Di Pakistan, jatah wanita di parlemen dialokasikan sebanyak sepuluh kursi. Artinya, kompetitif untuk berkiprah secara politik (dalam batasan yang syar’i tentunya) telah diredusir lewat senjata gender.

Pada kondisi ini, pola kehidupan Islam yang diajarkan Rasulullah SAW, tidak dipraktekkan secara benar. Rasulullah SAW bukan saja melarang untuk menyiksa wanita, bahkan ketika terjadi kecekcokan (sebagai bumbunya berumah-tangga, kata yang sudah pengalaman), beliau hanya mengizinkan untuk “memukul yang tidak menyakiti” (dharban gair al-mubarrah). Sahabat Ibn Abbas (R.A) ketika ditanya apa yang dimaksud dengan “dharban gaira mubarrah”, beliau menjawab, “Pukullah dengan siwak”.6

Maka, karena tidak mendapatkan cinta dan kasih, wanita akhirnya melakukan pemberontakan. Pemberontakan wanita pada situasi yang dibelenggu laki-laki seperti ini, biasanya dilakukan dengan cara halus. R.A. Kartini melakukan korespondensi dengan sejawatnya di negeri Belanda. Aisyah Taimuriah menulis puisi-puisi yang simpatik dengan tetap mengantarkan nada menggugat. Rokhiya Syaukat Hussein (India) menuturkan penderitaannya dalam memoir yang sangat memilukan. Intinya sama: “enough is enough.” Cukup kami yang menderita dan tolong berikan kesempatan pada kaum kami mengenyam kehidupan yang lebih layak. R. A. Kartini menyuarakan advokasi pendidikan buat wanita-wanita Jawa. Rokhiya Hussein menulis agar adat “kawin dijodohkan” dihentikan di India. Ketika Aisyah, tokoh rekaan di ilustrasi pertama, menumpahkan unek-uneknya lewat airmata, ia adalah feminis yang hanya mampu menyuarakan kepedihannya di atas bantal gulingnya. Dan bila Anda sebagai ayah memaksakan kehendak, bisa jadi Anda lebih kejam dari Datuk Maringgih.

Kelompok kedua: Feminisme yang lahir dari kebodohan umat dengan “mempersoalkan” ajaran-ajaran Islam. Kelompok ini umumnya datang dari kaum wanita muslimah kelas menengah yang mengalami pencerahan dari sistem edukatif sekuler. Mengapa ada poligami tetapi tidak ada poliandri? Ini kan namanya ekspoitasi. Dalam bahasa sehari-hari kita pernah dengar, “Ala jeng, suami di mana–mana juga sama. Suka jajan di luar. Kalau kita sekedar jalan-jalan sama dik Andri ini kan wajar.” Kata Tante Ira merayu Mba Ria. Mulanya memang cuma jalan-jalan di mall, mengantar ke salon, menamani coffee morning, menjadi pasangan standing party dan menjemput sehabis arisan, tetapi lama-lama wallahu a’lam.

Di tataran akademis, kelompok ini diwakili oleh beberapa tokoh. Misalnya, Fatima Mernisi (Maroko), Riffat Hassan (Pakistan) dan Nawwal al-Sa’dawi (Mesir).7 Mernissi, umpamanya, mempertanyakan sejumlah ajaran Islam yang menyangkut hak-hak wanita.8 Antara lain, ia keberatan dengan pembagian hukum waris yang menurutnya sangat patriatis.9 Hadits-hadits yang “memojokkan” wanita, kata Mernissi, adalah produk politik dari zaman Bani Ummayyah.10 Sementara Riffat Hassan menggugat tafsir Al-Qur’an karena, katanya, banyak sekali dipengaruhi “mufassir laki-laki.”11

Inti dasar dari kaum feminis kelompok kedua ini adalah lemahnya mereka dengan sumber-sumber asasi Islam, dan secara sadar atau tidak, akhirnya dimanfaatkan musuh-musuh Islam untuk mempengaruhi wanita muslimah lain. Di Indonesia, banyak cendikiawan wanita yang sudah mulai terserang virus “feminisme” semacam ini. Jika memang tidak ingin berjilbab, sudahlah. Tidak perlu berteriak-teriak bahwa jilbab itu produk Arab dan karenanya tidak wajib. (Barangkali inilah tugas pokok para akhwat yang tengah menimba ilmu pengetahuan di luar negeri untuk bersaing secara akademis).

Kelompok ketiga: Feminisme yang lahir sebagai residu kerja kaum orientalis. Agenda kerja orientalisme dalam merongrong bangunan Islam sudah sama kita ketahui.12 Pertama, runtuhkan Al-qur’an.13 Fondasi ini tentu tidak mudah, bahkan mustahil, untuk dihancurkan sebab selain ada ribuan huffaz (mereka yang hafal Al-Qur’an) di berbagai belahan bumi Islam yang terus-menerus mengulang ayat-ayat Allah swt. Kita juga sudah mendapat jaminan dari Allah SWT yang berjanji akan menjaga kemurnian Al-Qur’an. “Sesungguhnya, kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan kamilah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijir, Ayat. 9).

Ketika yang pertama ini gagal, cara kedua dilakukan. Sebarkan keraguan pada hadits-hadits Rasulullah saw. Tokoh-tokoh seperti Ignaz Golziher,14 Joseph Schacht,15 Patriaca Crane, dan N.J.Coulson,16 untuk menyebut sebagai misal, adalah para pionir yang sangat aktif mengkaji keshahihan hadits-hadits Rasulullah saw. Mereka melakukan ini tidak untuk mencari kebenaran melainkan mencari pembenaran dari ide-ide dasar orientalisme.

Bila cara itu pun gagal, masuki cara ketiga. Sebarkan fitnah di kalangan wanita muslimah sebab wanita adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Feminisme seperti ini dimulai dengan mengajak wanita berkiblat pada tata-cara hidup Barat. Jargon yang diteriakkan biasanya adalah “Emansipasi Wanita,” “Wanita Modern”, “Ibu Masa Depan”, “Wanita Karir”, “Menunda Kehamilan”, “Single Parent” dan banyak lagi kata-kata pemanis bibir lainnya. Tia, tokoh fiktif dalam ilustrasi kedua di awal tulisan ini, adalah salah satu korban dari feminisme yang disemai kaum orientalis tersebut. Kalau Anda pernah menasihati tetangga, “Hati-hati lho jeng, jangan terlalu banyak punya anak. Nanti kalau berbadan mekar, suami jeng bisa-bisa lari,” Anda sudah terkena virus dari penyakit feminis kelompok ketiga ini.

Jaringan kerja orientalis Barat tidak semata lewat buku dan bahan bacaan, tetapi lewat berbagai media komunikasi. Ketika Naomi Compell memperagakan busana musim panas di atas catwalk Paris, para mahasiswi Jogya mencarinya di Matahari Dept. Store besok pagi. Saat Demi Moore dalam film Ghost menggunting rambut pendek, kontan saja ibu-ibu di Jakarta pergi ke salon dan tanpa malu-malu bilang KDM (Korban Demi Moore). Ukuran wajah yang tidak pas bukan saja tidak membuat makin cantik malah mendatangkan ghost benaran.17 Cerita ini akan makin panjang bila kita urut dengan persoalan-persoalan wanita sehari-hari.

Konferensi Wanita Dunia (15 Maret-14 April 1995) yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Beijing menelurkan resolusi yang sangat mengejutkan. Resolusi itu antara lain mengabsahkan wujud single parent dengan nuclear family (keluarga sangat kecil) yang mengacu pada pelepasan norma-norma keislaman dan ketimuran.18 Contoh paling gampang dari model keluarga begini bisa kita lihat pada kehidupan artis semisal Madonna. Ia membayar seseorang untuk membuahinya dengan perjanjian — di atas kertas bersegel tentu saja — bahwa “sang ayah” tak berhak mengklaim anak yang lahir.19

Maka, masalah feminisme adalah masalah kita. Bukan semata masalah kaum wanita. Dari sinilah kita mengerti mengapa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang sangat besar terhadap wanita. Dari bibirnya yang mulia, terucap sabda yang sangat bijaksana, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”20 Ketika sahabat bertanya, siapakah yang mesti paling dituruti, Rasulullah SAW menjawab, “Ibumu…Ibumu…Ibumu” kemudian, “Bapakmu.”21 Bahkan saat salah seorang sahabat datang pada Rasulullah SAW dan meminta izin untuk berjihad, Baginda Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau mempunyai ibu?” “Ya.” “Jagalah dia baik-baik karena sesungguhnya surga berada di kakinya.”22

DR. Yusuf Al-Qaradhawi memberikan suatu nasihat yang sangat baik tentang bagaimana seharusnya sikap wanita dan perannya dalam usaha “shahwah Islamiyah.”23 Menurut beliau, ada tiga hal yang harus dilakukan kaum wanita. Pertama: peningkatan taraf pendidikan. Kedua: pembagian tugas kerja dan Ketiga: hormati mahligai rumah tangga. Ketiga poin ini sekilas nampak simpel tapi bila tidak mudah untuk merealisasikannya. Dibutuhkan kerja yang sungguh-sungguh dan dukungan semua pihak agar wanita memainkan peran yang optimal sesuai ajaran Islam.

Buat saya pribadi, tokoh feminis paling Islami, kalau boleh kita sebut begitu, adalah Fatima Azzahra, putri Rasulullah saw., tercinta. Pada pribadi Fatima-lah mestinya wanita-wanita modern berkaca. Saat kecil, ia adalah gadis penurut yang selalu membahagiakan hati ayahnya. Kala dewasa, ia menjadi istri yang mematrikan cinta kasihnya pada sahabat Ali (R.A) dalam senang dan susah. Menjadi tak mengherankan bahwa ketika ada seorang shohabiyah yang dipaksa kawin oleh orang tuanya, Fatima mengadukannya pada Rasulullah SAW., dan menjadi pembela wanita itu.24 Dalam bahasa sekarang, ilustrasi ketiga mungkin sealur dengan cara berfikir Fatima. Berikan wanita haknya untuk menentukan. Jadi, bila Tantri menjawab “na’am” Basith mesti pandai-pandai bersyukur. Tetapi andai kemudian Tantri tak menemukan bayangan Basith dalam istikharahnya selama seminggu itu, ia mesti juga siap berlapang dada. Hormatilah hak-hak wanita.

Wallahu a’lam bis shawab.

__________________________

Catatan Kaki:

2 Weihrich, Heinz dan Koontz, Harold, “Management; A Global Perspective”, McGraw-Hill International Editions, Singapore, 1993. Hal. 106.

3 Ibid. Hal. 101-102

4 Rakhmat, Jalaluddin, “Islam Aktual” Mizan, Bandung. Hal. 105

5 Ibid.

6 Al-Ubadi, Abdullah Abd. Rahim, “Min al-Adab wa al-Alkhlaq al-Islamiyah,” Matba’ah As-Sa’adah, Cairo. 1979. Hal. 59.

7 Untuk karya Sa’dawi, Nawal, “Al-Mar’ah wal Jin” Cairo, 1971., Lihat juga, “The Hidden face of Eve”, London, 1979.

8 Lebih lengkap, lihat : Mernissi, Fetima, “Woman in Islam; An Historical and Theological Enquiry”. Oxford. 1991. Lihat juga, Mernissi, Fetima, “Beyond the Veil, Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society”, Bloomington, 1987.

9 Mernissi, Fetima, “Woman in Islam; An Historical and Theological Enquiry”. Oxford. 1991.

10 Ibid, hal. 49. Lebih lengkap baca sub-judul, “Sacred Text and Political Weapon” hal. 15-62.

11 Lihat, Hassan, Riffat, “Muslim Woman and Post-Patriarchal Islam”, dalam “After Patriarchy, Feminist Transformation of the World Religions,” penyunting Paula M. Cooey, William R. Eakin dan Jay B. Mac Daniel. Maryknoll. N.Y. 1991. Hal. 39-64.

12 Tentang bagaimana strategi orientalis, lihat misalnya ; Said, Edward, “Orientalism”, Oxford University Press, 1952.

13 Tentang keseriusan orientalis untuk menghancurkan Al-Qur’an, lihat antara lain karya Dr. Islamil Salim Abd. Aal. “Al-Mustasyriqun wa al-Qur’an.” Rabita Alam al-Islami, Makkah – Almukarammah, 1990. Terutama sub-judul “Naqd Nataij al-Dirosat al-Istisyraqiyah fi Tarikh al-Qur’an al-Karim.”

14 Lihat antara lain karya Ignaz Golziher, “Muhammadinsche Studien”, Edinburg University Press, 1952, “Introduction to Islamic Theology and Law”, Princeton University Press, 1981.

15 Untuk karya Joseph Schacht, lihat, antara lain, “The Origin of Muhammad Jurisprudence,” Oxford University Press, 1954., dan “The Legacy of Islam,” Oxfrod Clarendom Press, 1974.

16 Lihat antra lain karya N.J.Coulson, “Conflict and Tension in Islamic Law,” Chicago University Press, 1969. Dan “A History of Islamic Law,” Edinburgh University Press, 1964

17 Tentang ini saya pernah membacanya di majalah TEMPO tapi saya tidak lagi memiliki copy majalahnya dan tidak ingat di edisi ke berapa. (Mohon Maaf)

18 Lihat, Majalah “Qadhaya Dawliyah” Edisi Khusus, “Konfensi Wanita Beijing”, Islamabad – Pakistan. 1995.

19 Lihat, ASIAWEEK, edisi Maret 1997.

20 Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

21 Hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Harairah R.A.

22 Hadis riwayat Imam Ahmad dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami.

23 Lihat, al- Qaradhawi, Yusuf, “Al-hil al-Islami, Faridhoh wa al-Darurah, Muasasah al-Risalah,Beirut. 1993. Hal. 59-60. Lihat juga, shohwah al-Islamiyah wa humumum al-wathan al-Arabi wal-Islami,” Muassasah al-Risalah, Beirut. Hal. 35

24 Lihat, Shariati, Ali, “Fatima is Fatima,” The Shariati Foundation, Tehran, 1980, Hal. 34.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization