Topic
Home / Berita / Analisa / Dunia Barat di Ambang Epidemi Seksual: Sejumlah Negara Restui Pernikahan Gay

Dunia Barat di Ambang Epidemi Seksual: Sejumlah Negara Restui Pernikahan Gay

Ilustrasi penyimpangan seksual, gaydakwatuna.com :: Setelah berhasil mendapat hak “kemitraan sipil”, kini kaum gay dan lesbian Inggris berusaha memperoleh legalitas pernikahan. Sejumlah kantor pendaftaran nikah di Inggris, saat ini sudah mempunyai rujukan hukum untuk melegalkan pasangan sejenis, yang akan mulai diberlakukan tahun 2015. Undang-undang itu hanya tinggal menunggu restu gereja saja.

Inggris, merupakan salah satu negara pertama dunia yang mengakui hak sipil untuk gay dan lesbian. Tahun lalu, tepatnya bulan September 2011, pemerintahan kota London yang dikuasai partai Demokrat Liberal sudah mendeklarasikan rencana untuk meloloskan undang-undang yang membolehkan pernikahan sejenis, sesuai saran yang disampaikan PM David Cameron. “Saya ingin Inggris menjadi bagian dari pelopor negara yang bisa memelihara hak kaum homoseksual dan lesbian,” ujar Menteri Dalam Negeri Inggris Lynne Featherstone yang merasa paling bertanggung jawab memperjuangkan persamaan hak kaum gay. Ia lalu melontarkan harapannya agar pada tahun 2015, undang-undang itu sudah bisa diterapkan di Inggris.

Sebelumnya pada tahun 2005, undang-undang di Inggris sudah mengakui keberadaan kaum gay dan lesbian sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dan kini sebagai konsekwensinya, merekapun harus mendapat legalitas untuk bisa menikah sesuai dengan undang-undang. Di tahun pertama saat pengakuan bagi gay dan lesbian, sudah tercatat pernikahan 16 ribu pasangan sejenis di Inggris. Dan kini diperkirakan jumlahnya sudah menjadi lebih dari 50 ribu pasang. Menteri Featherstone mengatakan, bahwa berbagai diskusi intensif telah dilakukan sejak Maret 2012 untuk menetapkan undang-undang, “Dan bila seluruhnya berjalan lancar, pasangan gay dan lesbian akan memperoleh hak menikah sesuai undang-undang pada awal tahun 2015.” Di hadapan konferensi partai Demokrat Liberal, ia menegaskan, “Saya sudah melewati kehidupan politik. Dan saya terus menerus membela hak-hak perempuan. Sekarang saya akan memfokuskan kemampuan besar dari kesungguhan saya untuk membela hak-hak kaum homoseksual.”

Bukan tanpa ganjalan, rencana PM Inggris Cameron untuk segera merativikasi undang-undang legalitas pernikahan gay, mendapat beberapa kendala. Di kalangan politisi Inggris, anggota parlemen konservatif berupaya keras menyabot rencana tersebut. Mereka menggalang kampanye untuk mengalahkan rencana yang mencabut larangan pernikahan kaum gay dan lesbian di Inggris. Alasannya, menurut mereka, peraturan yang mengizinkan pernikahan gay dan lesbian akan menggoyang institusi pernikahan di Inggris.

Ganjalan lain datang dari izin Gereja di Inggris. Kajian serius tentang gay, kini tengah dilakukan berbagai kalangan elit Gereja Inggris, bukan hanya menyangkut hak pernikahan kaum gay dan lesbian di masyarakat umum, tapi juga status para gay nantinya akan diakui untuk bisa ada dalam keuskupan atau tidak. Uskup Norwich di timur Inggris, Graham James mengatakan, keuskupan kini mempunyai tanggung jawab dan mengklarifikasi posisi mereka atas isu hubungan sesama jenis ini. “Keuskupan selama beberapa tahun terakhir hanya menghabiskan sedikit waktu untuk membicarakan homoseksualitas. Waktunya sekarang telah tiba untuk komisi ini melakukan pekerjaan baru,” kata James sebagaimana dikutip dari koran Guardian.

Komisi pengkaji yang terdiri dari seluruh anggota keuskupan gereja, akan mendalami hubungan sesama jenis dan apakah pendeta gay di persekutuan sipil bisa diijinkan untuk menjadi uskup. Uskup Agung Canterbury Rowan Williams, pemimpin Gereja Inggris dan kepala gereja Anglikan sedunia selama ini berjuang untuk menjaga persatuan di tengah ketidaksetujuan atas pentahbisan uskup perempuan lesbian di Inggris dan uskup gay di Amerika Serikat. Jubir Konferensi Uskup Katolik di Inggris, mengatakan penolakannya terhadap pengakuan perundangan kaum gay dan lesbian. Bahkan Paus Benediktus XVI pada bulan Maret lalu, mendesak umat Katolik menolak “aliran-aliran politik dan budaya yang berusaha kuat mengubah definisi hukum pernikahan.”

Salah satu pernyataan penolakan Gereja Inggris terhadap legalitas pernikahan gay dan lesbian

Brazil Restui Pernikahan Gay

Heboh soal pasangan Gay juga terjadi di Brazil di waktu yang hampir bersamaan. Mahkamah Agung Brazil memutuskan bahwa pasangan homoseksual memiliki hak-hak yang sama dengan pasangan heteroseksual. Keputusan ini disepakati diambil para hakim agung dengan 10 suara setuju dan tidak ada suara yang menentang, sementara satu orang abstain. Putusan ini bahkan memuat peraturan terkait pemberian hak keuangan dan kemasyarakatan kepada pasangan homoseksual yang “permanen” sama seperti hubungan heteroseksual.

Brazil adalah negara dengan penduduk penganut Katolik Roma terbesar dunia yang diperkirakan saat ini memiliki 60 ribu pasangan gay. Keputusan ini menjadikan Brazil satu dari sejumlah negara Amerika Selatan, selain Argentina dan Uruguay, yang mengizinkan pasangan gay menerima kemudahan yang sama dengan pasangan heteroseksual menikah. Hakim Carlos Ayres Britto mengatakan, “Kebebasan seks pribadi adalah bagian dari kebebasan menyatakan pendapat individual.”

Pegiat gay menyambut baik keputusan dengan menyatakannya sebagai “hari bersejarah” negaranya. “Tingkat peradaban suatu negara dapat diukur dari cara masyarakat memperlakukan masyarakat homoseksual,” kata Claudio Nascimento, pimpinan Dewan Gay, Lesbian dan Transeksual Rio de Janeiro. Sekarang pasangan sesama jenis dapat mendaftar pernikahan di catatan sipil dan mendapatkan hak warisan serta pensiun sama seperti pasangan heteroseksual. Hanya saja keputusan ini tidak mengakui pernikahan gay yang dapat melibatkan upacara di depan umum atau keagamaan.

Menyebar Virus Seksual ke Seluruh Dunia

Adanya upaya melegitimasi pernikahan kaum homo, ibarat virus yang siap disebar ke seluruh dunia. Anehnya, virus yang disadari bahayanya akan tetapi mendapat dukungan lembaga dunia, utamanya PBB, sehingga akibatnya tak hanya bisa menjelma menjadi epidemi yang bersifat lokal, tapi global. Organisasi Amnesti Internasional mengatakan, “Homoseksualitas masih dilarang di 76 negara dunia. Dan masih ada jutaan orang di berbagai penjuru dunia yang menentang homoseksualnya dengan memberi hukuman mati, penjara, penyiksaan, kekerasaan dan diskriminasi akibat orientasi seksual atau identitas gender mereka.” Tahun 2008 dan 2009, Organisasi yang sama juga pernah serius melontarkan teguran keras pada Lithuania yang dianggap tidak memberi hak kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender).

Selain Inggris, Belanda adalah salah satu negara pertama yang sejak tahun 2001 telah membolehkan pernikahan pasangan sejenis, dan memasukkannya dalam pernikahan yang legal secara undang-undang. Disusul pada Juni 2011 kota New York sebagai kota yang paling padat penduduknya di Amerika, menjadi wilayah keenam yang membolehkan pernikahan sejenis dalam undang-undang. Diikuti oleh Mexico, Inggris, Brazil, Kroasia, Chekoslowakia, Denmark, Finlandia, Prancis, Israel, Luxemburg, New Zealand, Slovenia, Switzerland, dan empat kota di Australia.

Pernikahan laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, merupakan benturan hebat terhadap tata nilai dan moral masyarakat manusia di manapun. Terlebih bila dihadapkan dengan nilai-nilai agama, yang seluruhnya menolak keabsahan hubungan pernikahan sejenis. Undang-undang yang membolehkan pernikahan sejenis, berbenturan dengan semua undang-undang dan peraturan agama, baik Kristen, apalagi Islam. Berbenturan juga dengan semua tradisi sosial masyarakat, dan seluruh peradaban serta komunitas manusia, di manapun. Sangat dikhawatirkan bila jenis perundangan yang melegalkan pasangan sejenis itu, kemudian berkembang ke berbagai negara Islam lalu muncul penyakit seksual yang fatal. /usb

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...
Penulis, Penerjemah, Pengamat Masalah Timur Tengah. Mahasiswa Universitas Trisakti.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization