Topic
Home / Berita / Opini / Jenggot (Tabir)

Jenggot (Tabir)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Secara berterus terang dan bangga, saya memiliki secuil jenggot.

Gundukan rambut-rambut kecil di bawah dagu itu saya biarkan sejak masa sekolah menengah hingga sekarang ini. Ia tumbuh begitu saja dari tahun ke tahun, tidak lebat dan tidak tipis, menumpuk. Jenggot saya rawat, saya cukur, dan saya rapikan. Sebagai ciri untuk memudahkan kalau-kalau ingin mencari saya di kerumunan, carilah yang berjenggot – di samping kriteria fisik lainnya. Jenggot yang sepele ini, yang sekadar aksesoris fisik ini, siapa sangka telah menjadi simbol untuk mewakilkan kata “teroris”; salah satu polemik-polemik besar dunia di awal abad 21.

Saya masih kenal sosok Osama, dan kasus 911, yang dirancang seolah bertuju untuk memojokkan salah satu umat beragama dengan simbol jenggot, dan teroris. Osama adalah berjenggot, maka yang berjenggot adalah teroris (tanpa memfilter fakta apakah Osama benar-benar teroris, atau apakah Osama adalah muslim). FOX, BBC, Reuters, dan media-media lainnya memegang kuasa dalam mendoktrin dan mengisi pikiran-pikiran masyarakat dunia dan lebih-lebih masyarakat Amerika dalam segala hal. Presidennya saja; GW. Bush silam, yang mengkomando rakyatnya untuk “buy more, joy more” demi kepentingan kapitalis, tidak berkutik tanpa sokongan dari media. Presiden yang satu ini juga ambisius; ambisinya agar masyarakat (di)mengerti(kan) oleh media bahwa agama Islam, agama yang ‘berjenggot’, dan muslim, adalah agama penuh darah dan agenda genosida demi menebar ketakutan di mana-mana: rumah, gedung, restoran, airport, mal, rumah ibadah. Tak pelak saat ini, bagi orang yang bernama kearab-kearaban, atau berjenggot, bisa repot sendiri ketika mengurus perjalanan ke luar negeri, di bandara akan distop oleh bodyguard dan diinterogasi dulu. Kalau beruntung, bisa lolos. Sebuah marginalisasi yang tanpa disadari telah diterima oleh lingkungan, bahkan oleh para muslim sendiri yang tidak paham.

Tetapi saya tukas itu sejenak. Benar dan salah adalah urusan belakangan. Apakah tindakan Abu Bakar Ba’asyir itu benar atau salah, bukan urusan saya. Atau apakah semua itu konspirasi, saya sampingkan dulu. Agama, Tuhan; Allah Subhanahu Wa Ta’ala, adalah Maha Benar. Dan salah ada pada manusia-manusianya. Jadi saya lupakan perdebatan teroris itu, dan mari bicara yang dekat-dekat saja; tentang muslim di sekitar saya, mahasiswa-mahasiswa yang beragama Islam.

Pernah seorang teman baik yang ‘alim (kata orang-orang), berbaju koko rapi, selepas shalat Isya ngeluh ke saya tentang lingkungannya. Bertuturlah ia tentang kekecewaan terhadap teman-teman mahasiswa lain yang banyak melupakan Allah sebagai Tuhannya. “Dunia hanya permainan, dan orang-orang semuanya bermain. Yang shalat ya shalat, yang lupa ya lupa.”, katanya dengan murung namun serius.  Saya diam dan berpikir khidmat, memahami posisinya sebagai teman baik. Lalu dia melanjutkan kata-katanya setelah diam agak lama juga, “Kita ditugaskan untuk mengubah itu.” Saya masih diam dan lebih diam lagi, tidak tahu harus merespon apa. Saat itu hanyalah otak saya yang memberontak; bertanya-tanya dari mana ia bisa menyimpulkan segala premis-premis kalimatnya tadi. Saya tidak menjawab karena saya hormat padanya, dan usaha-usaha berpikirnya itu. Lalu ia melengos begitu saja, pergi.

Entah sebab apa predikat ‘alim itu bisa kita tanam padanya. Karena jenggot? Ah, ia tak punya. Mungkin karena baju koko. Ya, karena baju. Seperti halnya sarung dan peci, yang dikisahkan dalam balada “Da Peci Code” karya Ben Sohib. Tokoh Rosid yang kritis menolak memakai peci karena alasan budaya turun temurun yang terlalu pragmatis. Ben menuangkan fakta-fakta yang membuat kita menelan ludah tentang sejarah simbol perangkat-perangkat ibadah ini. Ketiga benda ini – peci, sarung, baju koko – bukanlah serta merta produk asli orang Islam. Baju bergramatikal ko-ko yang berkancing tengah lurus aslinya berasal dari Cina. Sering kita jumpai dalam film-film action Cina tokohnya berbaju koko merah. Lalu sarung, adalah inovasi kain bermotif dari kain terkenal India, kain sari yang dibalut sebagai penutup bawah. Dan peci? Paus sang ‘rasul’ Katolik pun mengenakannya kala khotbah, dan peci hitam ada pada orang-orang Betawi dengan macam ragam dan bentuk.

Senada dengan lambang bulan bintang yang disematkan di tiap ujung kubah masjid, atau bahkan partai-partai politik bernuansa Islam. Seorang esais Avianti Armand dalam esainya bertajuk “Rumah Tuhan”, juga mengutip bahwa masjid pun awalnya tidak berkubah dan kubah dipopulerkan pertama kali oleh orang Nasrani (kebetulan pengarangnya orang Nasrani). Di kukusan, tempat saya tinggal saja ada masjid tak berkubah. Ramai jama’ah pula. Urusan-urusan furu’iyah (cabang, sekunder) inilah yang sering diaminkan masyarakat hingga saat ini. Dari mana asal usulnya saja tidak termaktub dalam sejarah Nabi, shirah nabawiyyah. Orang bersarung dan berpeci dibilang ustadz, sudah shalih (padahal shalatnya bolong-bolong). Jadi saya pribadi menafikkan simbol-simbol itu.

Simbologi dalam Islam terlalu banyak direka-reka dikarenakan kebiasaan para penganutnya, yang mengikuti budaya setempat. Sedikit intermezzo, inilah yang selalu diungkit-ungkit oleh tokoh pluralis Indonesia; alm. Nurcholis Madjid, Siti Musdah, Ahmad Baso, untuk menghancurkan pilar kesatuan umat Islam, walau cara mereka tidak pernah berjalan efektif. Biar begitu, kita tetap patut waspada. Mereka pernah mengkritik penggunaan hijab/jilbab pada muslimah yang katanya karena Islam mengikuti budaya Arab, namun mereka keliru tidak membaca An Nur ayat 31 tentang perintah Allah bagi wanita. Perintah-perintah dan larangan-larangan sudah masuk ke bagian hal-hal teologis yang tidak bisa diganggu gugat, dikritik, ataupun ditolak. Praktisnya seperti di fakultas saya, terdapat program “J’Co Day (Jilbab and Koko Day)” setiap hari Jumat untuk memfasilitasi muslim dan muslimah mengenakan pakaian a la “orang Islam”. Soal koko telah saya singgung, namun soal jilbab ini adalah kasus yang berbeda: memang sebuah keniscayaan untuk ada. Bahkan seharusnya; wanita muslim seluruhnya wajib berjilbab. Tetapi tidak mengapa, sebab ini semua adalah “pembelajaran”.

Simbol-simbol Islam yang tidak resmi tadi terkadang dijadikan ketetapan oleh masyarakat awam, dan digunakan sembarangan untuk berbagai kepentingan. Makna Islam jadi bias, sebatas pada simbol-simbol, menyebabkan sekumpulan mereka yang “bersimbol” akan berinteraksi dengan sesamanya saja. Simbol-simbol mencipta ekslusivisme, dan eksklusif mencipta batas void (maya) antara si ‘benar’ dan si ‘salah’. Antar ruang masing-masing individu makin menjauh, seolah ada tabir tebal di tengahnya. Orang-orang ‘alim yang merasa sudah ‘baik’ inginnya bermain dengan yang ‘baik-baik’ saja, dengan yang sama sepertinya. Ekslusivitas muncul perlahan seiring dengan perasaan sentimen dengan lingkungan yang tidak sesuai dengan mereka. Memang ilmunya banyak, pandai mengaji, rajin ibadah tahajud, ciri mukmin sejati. Namun saat ditanya sudah sejauh mana akhlak berkontribusi pada lingkungan untuk menebar kebaikan, jawabannya ngeluh ini-itu, ngedumel. Kebiasaan tidak cocok lah, takut terpengaruh lah, macam-macam. Padahal kita pernah membaca Al Hujurat ayat 11 dan 12 tentang larangan mengolok-olok kalangan lain. Mentok-mentok hanya berdakwah untuk kalangannya saja, sebatas pada kader-kader mahasiswa di organisasi Islam (Rohis, Halaqah, atau sejenisnya). Yang pintar menjadi lebih pintar, namun introvert untuk dirinya sendiri. Lalu di manakah jatah dakwah untuk teman-teman mahasiswa kita yang naif dan tabu soal Islam; yang menanggalkan shalat dengan biasa, yang tidak mengenal Allah, yang menganggap Islam itu teroris, yang tidak bisa baca Quran…….yang pacaran?

Mereka adalah orang-orang malang yang secara tidak sadar sering kita prasangkakan buruk dan tidak pernah mengenal esensi Islam sebenarnya. Hanya gara-gara simbol dan eksklusif.

Eksklusif sungguh bukanlah makna Islam yang hakiki. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bukti bahwa Islam tidak eksklusif, malah rahmatan lil ‘alamin yang terbuka bagi siapa saja. Barangkali kalau Beliau mengekslusifkan diri, agama ini hanya akan bertahan sebentar dan tidak sampai pada kita. Tetapi Beliau bersabda, “Aku hanyalah seorang yatim dalam asuhan Abu Thalib.” Beliau mau turun ke jalan-jalan, menyuapi si buta Yahudi, tersenyum saat diludahi. Sosok yang sangat supel dan cerdas bergaul, menyentuh segala lapisan-lapisan masyarakat. Simbol-simbol digunakan hanya ketika saat-saat tertentu; saat perang dengan membawa panji-panji Islam hitam dan putih bertuliskan “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah” dalam huruf-huruf dan bahasa Arab. Atau ketika ditanya oleh sahabat manakala terjadi pembauran kafilah antara kaum Yahudi, Nasrani, dan Muslim, Beliau menyuruh sahabat untuk menumbuhkan jenggot sebagai pembeda. Bukan sarung, atau peci. Dan sebagai muslim, jenggot adalah salah satu “identitas” nyata, dibanding dengan pakaian yang marak dan simbol-simbol lainnya.

Lagipula, di luar semua simbol-simbol itu: akhlak adalah prioritas. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Percuma bilamana kita sukses dalam hablum minallah (pertalian dengan Allah) namun kita gagal di hablum minannaas (pertalian antar manusia). Akhlak yang komunikatif dan terbuka bagi siapa saja adalah kepatutan supaya kita mudah diterima dan bisa berbaur; bukan melebur. Dengan menerima lingkungan seutuhnya dan tidak individualis membenarkan diri sendiri, kita akan bisa lebih belajar banyak dan mengenalkan Islam pada teman-teman mahasiswa yang masih hilang arah dan bingung, tanpa harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan buruk lingkungan. Keluh kesah pada lingkungan hanya akan tertelan dan hilang. Lalu mengaburkan pandangan baik pada orang-orang. Dan hasilnya nol besar. Senior saya, Arlex Shalahudin (2008) senantiasa mengutip ayat al Quran, “Panggillah kaummu dengan hikmah (kebiasaan) dan cara yang baik.” Rasa-rasanya memang benar.

Islam adalah seimbang dan di tengah, serta tegak (tawazun, tawashuth, i’tidal). Bukan yang anarkis dan garis keras, atau yang apatis. Segalanya terdapat kemudahan, kendati tidak dimudah-mudahkan. Yang fanatik dengan simbol-simbol itu juga sama saja, saya sangsi.

Dan tulisan ini berinti pada evaluasi; semata-mata refleksi diri saya sendiri. Tanpa menghakimi siapa itu si ‘benar’ atau si ‘salah’. Yang terang adalah, saya masih kotor dan penuh salah. Maka akhirnya, di penghujung paragraf ini timbul pertanyaan-pertanyaan klimaks pada diri saya: Apakah saya masuk pada kelompok eksklusif? Sejauh mana saya berbaur? Seberapa besar saya bermanfaat bagi lingkungan sekitar?

Saya kira mengawali dari diri sendiri adalah langkah paling sederhana.

Atau kelak suatu hari ada yang bertanya: “Kalau Anda tidak eksklusif, mengapa Anda berjenggot?

Ah, Nabi saja menyuruh. (*)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (32 votes, average: 9.22 out of 5)
Loading...

Tentang

-

Lihat Juga

Antara Islam, Muslim dan Perilaku Islami

Figure
Organization