Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Please Murabbi, Pahami Kami!

Please Murabbi, Pahami Kami!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Katakan saja kami futur jika apa yang kami sampaikan ini dianggap melenceng dan tidak sesuai dengan paham dakwah jama’ah selama ini. Sebut juga kami gila jika tulisan ini dianggap lancang atau kurang ajar lantaran telah menyinggung beberapa pihak yang mungkin sebagian para pembacanya merasa dibicarakan di tulisan ini. Untuk itu, kami mohon maaf dari awal jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Karena… karena… Aaarrgh! Kami sudah tidak tahan dengan semua ini!!!

Sebetulnya kami tidak marah, hanya menyayangkan saja. Karena bagaimanapun, kami yang notabene aktivis dakwah yang punya banyak amanah (bukannya sombong, pen) ini, memerlukan penguatan untuk tetap dapat kuat menapaki jalan kebenaran ini. Kami bukannya robot tak berhati yang setiap hari dituntut untuk memperhatikan umat, mengurusi segudang kegiatan dakwah, memikirkan perbaikan orang banyak, tanpa perlu perhatian. Untuk itu kami memerlukan penguatan! Dan adanya halaqah itulah yang kami harapkan dapat menjadi penguatan kami selama ini! Namun bagaimana itu bisa terjadi, jika kondisi halaqah kami sekarang tak lebih kegiatan pekanan yang isinya setor wajah dan formalitas belaka. Kering! Tak ada greget-gregetnya. Evaluasi tak ada; Motivasi untuk meningkatkan hafalan juga kurang ditekankan, atau malah tidak berjalan; Murabbi dan teman-teman juga sering kali datang terlambat, dan itu biasa! Pelatihan amal tidak diterapkan; Penugasan juga jarang-jarang. Setiap pekan begitu-begitu terus! Datang-duduk-dengarkan-pulang.

Apa hanya itu halaqah yang kami cari? Tidak! Kami inginkan halaqah yang benar-benar memberikan ketenangan dan kenyamanan di hati kami. Namun apa yang kami dapatkan? Rutinitas monoton yang membosankan, terlalu banyak ketawa dan bercanda (apalagi yang kader-kader genit ngomongnya cuma soal nikah melulu, pen), kontrol dan perhatian Murabbi yang kurang, hingga kondisi terlalu stagnan selama ini membuat kami berpikir kembali, apakah ini yang disebut halaqah?

Kami jadi ingat tentang sejarah yang membawa kami pada tarbiyah. Di mana saat itu, kala masa sekolah, sebelum mentoring di mulai, mentor kami menanyakan kabar kami. Kalau di antara kami ada yang sakit, dirinya cekatan mengusulkan untuk segera membesuk. Kalau ada yang pacaran, rona wajahnya berubah pias, seolah begitu menyayangkan langkah kami yang keliru tersebut. Lepas dari itu, tegur sapa yang menyenangkan tak pernah lepas dari pribadinya, hingga kami berpikir, apakah dirinya tidak lelah selalu menyungging senyum untuk kami? Terlebih ketika berdoa, memperkenalkan doa rabithah, dirinya begitu khusyuk, membuat hati kami merasa teduh dan larut karenanya.

Bahkan kami pun begitu senang dibuatnya, hanya karena mentor kami kerap membawa makanan kecil dan minuman untuk kami santap. Ah, tahu saja dia kalau kami selalu lapar sepulang sekolah. Hehe. Terlebih, kalau di antara kami ada yang ulang tahun, dirinya paling bisa ambil hati kami dengan kejutan-kejutan hadiah yang ia bawa. Hehe, lucu sekali kalau ingat itu. Apalagi sekarang kami tahu, bahwa makanan, minuman, dan hadiah yang ia berikan ternyata adalah taktiknya untuk mengambil hati kami, agar semata kami tetap betah ikut mentoring. Ya, boleh jadi itu taktik. Tapi tentang ketulusan dan kejujurannya, hati kami dapat merasakan itu.

Maka itulah yang kami butuhkan sekaligus rindukan pada halaqah kali ini, yakni kenyamanan dan ketenangan yang kami rasakan. Orang-orang bilang halaqah itu lebih tinggi levelnya dari mentoring. Tapi kenapa yang levelnya lebih tinggi ini malah berkurang soal keterikatan hatinya? Kami khawatir, jika ini diteruskan, banyak di antara dari kami yang kecewa dan akhirnya memutuskan untuk berhenti tarbiyah.

Kami merindukan halaqah yang memberi kesejukan. Betapa kami mengharapkan segala rasa ‘panas’ dan lelah yang menempel di tubuh kami akibat segudang aktivitas dakwah kami selama ini, dapat segera luruh dengan teduhnya nuansa halaqah yang kami dambakan, sehingga selepas kami halaqah kami membawa spirit baru untuk berjuang kembali. Bukankah dulu kami diajarkan bahwa halaqah adalah charger yang membuat ‘baterai’ keimanan kami terisi kembali? Tapi apa nyatanya sekarang? Bukannya dibuat tenang, tapi malah pusing melihat kondisi halaqah yang semrawut. Boro-boro curhat tentang masalah pribadi atau persoalan dakwah ke Murabbi, hadir dan tanya kabar para Mutarabbi saja jarang. Bahkan, bilang terima kasih setelah diberikan hadiah saja enggan! Tidak percaya? Ya, sekiranya itulah yang pernah kami rasakan. Miris, bukan?

Kami heran, apa jadinya Murabbi yang tidak tahu minat dan bakat para binaannya? Jangankan itu, kesibukan dan sifat-sifat menonjol para binaannya saja tidak tahu! Kalau seperti ini, bagaimana gerak dakwah akan bagus? Tak perlu bicarakan kemenangan dakwah yang besar kalau ngurusi halaqah saja tidak becus! Apakah benar ini refleksi jika halaqah tidak dibangun dengan sepenuh hati, alhasil kami pun menerimanya dengan hati yang separuh? Entahlah…

Malu kami kalau ingat sudah tua begini, tapi juz 30 saja belum hafal. Kami sadar, itu memang harus dengan kemauan pribadi dan azzam yang kuat. Tapi kami pun butuh disemangati dan dibimbing ketika kami lemah. Kami perlu diarahkan ketika kami lupa. Kami butuh di-iqab ketika kami salah. Kami juga perlu diapresiasi (meski bukan materi, pen) ketika dianggap baik. Menjadi aktivis dakwah bukan berarti menjadikan kami tidak butuh perhatian itu semua. Kami pun malu kalau punya kebiasaan terlambat sekarang ini. Tapi bagaimana lagi, Murabbi yang seharusnya mencontohkan pun kerap datang terlambat tanpa alasan yang tepat.

Di satu sisi, amanah kami sebagai kader dakwah mengharuskan kami lebih ekstra memperhatikan orang-orang di sekitar kami, baik itu sesama kader, maupun yang bukan kader, untuk kami dakwahi. Tapi di lain sisi, kami pun perlu didakwahi. Hati kami menangis, kala mengetahui kelemahan kami sebagai manusia biasa ini yang juga perlu diperhatikan, diberikan sentuhan lembut, dan juga dimengerti segala kelemahannya. Kami bukan robot yang hanya dirusuh mengerti tanpa pernah dimengerti! Kalau semua ingin dipahami, lalu siapa yang memahami kami? Hey, kami ini juga manusia! Perlakukan kami sebagai manusia. Bukankah esensi dakwah dan tarbiyah adalah memanusiakan manusia? Maka perhatikan kami. Penuhi hak-hak kami. Minimal, hak halaqah kami sebagai Mutarabbi. Hak untuk didengarkan, diperhatikan, dikontrol, diarahkan, dan termasuk hak untuk mendapatkan teladan yang baik dari mereka para Murabbi!

Sebut saja kami melankolis atau terlalu cengeng dengan mengatakan ini. Toh, kami yakin mereka yang mengejek kami seperti itu juga tak terlepas dari kebutuhan untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan ini. Mengapa kami katakan begitu? Karena itulah yang kita butuhkan sebagai manusia, khususnya seorang kader dakwah, yakni ketenangan dan kenyamanan dalam halaqah!

Sedikit bukti, orang-orang menikah bukanlah untuk dapat keturunan dan kekayaan. Kalaupun dapat, itu hanya bonus saja! Sudah pasti yang pertama dicari adalah ketenangan dan kenyamanan. Apa yang terjadi jika mereka tidak mendapatkannya? Sudah pasti keluarga akan banyak cek-cok dan berakhir tragis. Sekolah pun demikian, yang pertama dicari saat menentukan sekolah bukanlah mata pelajarannya, tetapi sekolah mana yang membuat kita nyaman dan senang. Karena kalau tidak nyaman dan senang, jangankan ilmu bisa terserap, niat untuk masuk sekolah saja bisa musnah! Seperti itu pula halaqah, bukan materi yang kami cari, tapi perhatian para Murabbi. Tak peduli bagaimana kapasitasnya, yang penting perhatian dan komitmennya untuk membina saja  sudah cukup. Itulah yang membuat kami merasa betah. Karena itu yang kami butuhkan.

Bukti lain. Kali ini, mari kita berpikir ekstrem. Pernahkah kita memikirkan secara mendalam relevansi eksistensi halaqah selama ini? Mungkin kita menjawab dari segi keilmuan, dari tidak tahu menjadi tahu. Karena Islam ini membutuhkan kepemahaman dalam pelaksanaannya. Lantas, kalau sudah tahu ilmunya dan ibarat kata sudah jadi orang baik-baik dan faqih agama, apakah perlu kita halaqah lagi? Sebagian lagi mungkin menjawab bahwa halaqah tidak hanya bermaksud mencetak orang-orang saleh, tetapi juga yang dapat menyolehkan orang lain (berdakwah, pen). Oke, sekarang begini, kalau kita sudah saleh, ibadah sudah tekun, ilmu agama sudah ‘ngelotok’, dan aktif juga di berbagai kegiatan dakwah, apakah masih perlu kita halaqah? Coba renungkan selama ini, dan gali jawaban yang begitu kongkret, sehingga alasan kita halaqah menjadi kuat dan substantif! Kami yakin, segala kegersangan atau curhatan para aktivis dakwah tentang proses tarbiyahnya tidak akan jauh dari keluh kesah mereka tentang ketenangan dan kenyamanan! Pola pikir mereka dibentuk sedemikian rupa untuk pandai berdakwah, tubuh mereka ditempa untuk kuat beramal, tapi sangat disayangkan jika mereka kurang disentuh hatinya dengan cinta dan kasih sayang.

Spirit halaqah bukanlah terletak di baramij-nya (susunan acara), melainkan dari nuansa ruhiyah yang jarang kita rasakan selama ini. Ruhiyah itulah yang membuat kita nyaman dan tenang. Kenyamanan dan ketenangan inilah yang kita perlukan. Sekali lagi, kenyamanan dan ketenangan! Mari simak penggalan hadits arba’in yang ke-36 ini: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya.” [HR. Muslim]

Lihatlah, bukankah hadits ini begitu akrab dengan situasi halaqah? Maka ketika tidak ada ketenteraman, ketenangan, dan kenyamanan dalam halaqah, maka boleh jadi selama ini ada yang salah dengan proses halaqah kita, dan itu perlu segera diperbaiki! Mungkin sekiranya inilah yang menjadi koreksi kita, bahwa apabila seluruh pelaku tarbiyah (halaqah, pen) memahami makna tarbiyah dengan baik dan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing, niscaya proses dan output tarbiyah itu akan baik sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan Murabbi, kalaulah mereka menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai guru, orangtua, pemimpin, dan sahabat dengan baik, niscaya impian dan target capaian halaqah akan tertunaikan dengan baik. Bahkan kami yakin, para binaan mereka akan sangat bersedih jika ternyata harus ditransfer ke Murabbi lain!

Ah, semoga yang kami rasakan ini hanya potret minoritas belaka. Kami menyampaikan ini guna sebagai muhasabah saat kami membina, juga mereka yang saat ini sebagai pembina (Murabbi, pen). Semoga tercipta perbaikan dan kebaikan. Kami sangat menantikan saat di mana para Mutarabbi dengan senang menjalankan kewajibannya karena mendapatkan haknya, sementara para Murabbi pun dengan bahagia menuntut haknya karena telah melunasi kewajibannya.

Allahu a’lam…

Didedikasikan untuk seorang sahabat yang sedang mencari penguatan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (103 votes, average: 8.96 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization