Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bukan Sekedar Mimpi

Bukan Sekedar Mimpi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Sesejuk angin yang berhembus…
kala tersadar nikmat kasihmu…
tumbuhkan benih syukurku…

Ya Allah yang maha pengasih…
bimbinglah jalan hidupku…
tuk s’lalu tuju pada ke ridhaan MU…

(Brothers)

Ilustrasi (templates.com)

dakwatuna.com – Lagu yang begitu indah untuk menyambut sang mentari. Meski embun masih begitu malu bersembunyi di belakang dedaunan. Meski kokok ayam telah berlalu dalam dekapan kesejukan. Tak ada pagi yang tidak indah sama seperti malam yang telah dilukiskan dengan kesempurnaan keindahan.

Pagi ini semua memulai setiap nafas hidupnya dengan bergerak. Ya, karena gerak adalah keniscayaan dari sebuah harap. Namun hanya yang menyertai Asma Nya saja yang telah di jamin baginya kebahagiaan.  Hanya yang istiqamah saja yang mendapatkan kemuliaan dari setiap harapnya. Bukankah firman Allah berikut ini sangatlah indah untuk mengokohkan setiap bulir-bulir harapan kita,

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap Istiqamah, tidak ada rasa khawatir bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati” (Al-Ahqaf: 13).

Indah bukan?  Ya, Allah menjamin kebahagiaan dan ketenangan bagi kita yang bersyahadat dan beristiqamah menapak di atas jalan keridhaaNYA. Ada garansi hidup yang Allah berikan bagi setiap insan yang memahami kalimat syahadatnya.

Ketika berbicara tentang sebuah harap atau yang lebih menakjubkan yang kita sebut dengan Mimpi, ada satu kisah di zaman Rasulullah yang telah diukir sejarah dengan begitu indah. Kisah yang selalu saja membuat mata ini tak kuasa membendung Kristal-kristal bening yang telah lama tersimpan di kantongnya. Eh ana salah, Tidak hanya satu kisah namun Semua kisah yang telah di torehkan sejarah membuat diri ini merasa belum menjadi muslim sebenar-benarnya dan seutuhnya. Kemuliaan mereka, kemurnian iman mereka, ketundukan jiwa mereka dan keutuhan perjuangan serta pengorbanan mereka… ah begitu jauhnya diri ini… sangat jauh. Tapi salah satu kisah yang akan disampaikan ini menjadi salah satu penyemangat untuk menjadikan keimanan diri ini utuh sempurna. Meski tak sesempurna mereka.

7 abad lamanya Islam berharap akan kemenangan sebuah kota yang begitu sulit di taklukkan hingga lahirlah seorang pemuda yang cita-cita nya melebihi batas usianya. Usianya baru 23 tahun namun mimpinya menjulang melewati mimpi-mimpi pemuda seusianya. Kalau kita mungkin di usia itu masih bergelut dengan keinginan diri kita sendiri, atau bahkan ada yang masih menggantungkan hidupnya pada orang tua nya. Tapi tidak dengan pemuda yang satu ini. Bagaimana tidak, 7 abad sudah para pasukan Islam yang telah dipimpin oleh pemimpin-pemimpin berkualitas tak hanya dari pemikirannya namun juga keimanannya, tak mampu menaklukkan kota yang di pimpin oleh Heraklius itu. Ya, kota itu bernama Konstantinopel dan pemuda hebat yang dicatat sejarah itu bernama Muhammad Al Fatih.

Fatih kecil pernah di Tanya oleh sang guru, “jika kau diminta memilih untuk menaklukkan salah satu kota antara Konstantinopel atau Roma, mana yang kau pilih untuk kau taklukkan lebih dahulu ya Fatih?” mendengar pertanyaan sang mufti, ingatan Fatih kecil terbang hinggap untuk mengingatkannya akan sebuah hadits yang pernah disampaikan Rasulullah ketika beliau diberikan pertanyaan yang sama, “kota Heraklius lebih dahulu. Yang menaklukkannya adalah sebaik-baiknya pasukan dan pemimpinnya adalah sebaik-baiknya panglima”. Bermula dari kalimat hadits yang sederhana inilah lahir seorang panglima luar biasa. Fatih kecil memiliki mimpi yang begitu murni namun begitu pasti. Mimpi yang dicatat sejarah sebagai keniscayaan dari sebuah harap. Mimpi yang membawanya memiliki kemuliaan, menjadi seorang prajurit dan itupun sebaik-baiknya pasukan atau menjadi seorang pemimpin dan itu adalah sebaik-baiknya panglima. Bagi Fatih kecil tak masalah menjadi pasukan ataupun pemimpin karena keduanya adalah sebuah keistimewaan yang Allah kalungkan dalam hidupnya. Dan Allah mengalungkan baginya sebuah kepemimpinan dan ia telah berhasil menjadi sebaik-baiknya panglima karena mimpi 7 abad itu berhasil diwujudkan oleh kemurnian Mimpinya, ketulusan jiwanya dan kekokohan Imannya.

Malam itu di sepertiga malam terakhir saat tibanya masa penyerbuan yang menakjubkan, sang panglima berdiri di atas sebuah mimbar dan meminta semua pasukannya untuk berdiri. Kemudian meluncurlah kalimat-kalimat luar biasa yang menjadikannya pantas menjadi seorang panglima dan menjadikan Konstantinopel layak jatuh ke tangannya. Ke tangan pasukan yang dipimpinnya. “Wahai saudara-saudaraku di atas jalan Allah” tuturnya dengan penuh semangat, “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya yang terbaik lah yang layak untuk mendapatkannya. Tujuh Ratus tahun lamanya nubuwat Rasulullah telah menggerakkan para mujahid tangguh, tetapi Allah belum mengizinkan mereka memenuhinya.”  Kemudian pertanyaan menakjubkan itu meluncur pesat dan tegas. Sang panglima bertanya pada pasukannya,

“Aku katakan kepada kalian sekarang, yang pernah meninggalkan shalat fardhu sejak masa balighnya, silakan duduk!”

Begitu sunyi. Tak ada satupun pergerakan.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ramadhan, Silakan Duduk!”

Namun sekali lagi tak ada yang bergerak. Tetap dalam kesunyian.

“Yang pernah mengkhatamkan Al-Qur’an melebihi sebulan, silakan duduk!”

Kali ini, beberapa orang perlahan menekuk lututnya, berlutut di iringi tetesan air mata.

“Yang pernah kehilangan hafalan Al-Qur’an Nya silakan Duduk!”

Kali ini lebih banyak yang mengeluarkan buliran-buliran air matanya. Menangis sedih dan sangat pilu karena khawatir tak ikut menjadi bagian dari pasukan dan mereka pun duduk dengan lemas.

“Yang pernah meninggalkan shalat malam sejak masa balighnya, silakan duduk!”

Kini hanya beberapa yang masih sanggup berdiri diiringi kecemasan. Dada yang berdegup kencang. Tubuh yang menggetar.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ayyamul bidh, silakan duduk!”

Kali ini semuanya terduduk lemas dan hanya ada satu orang yang masih sanggup berdiri. Dia adalah sang penanya itu sendiri. Sang sultan. Sang panglima. Muhammad al Fatih.

Al- Fatih begitu luar biasa mewujudkan mimpinya. Dia begitu sempurna merenda harapannya, merajut mimpinya, dan merencanakan cita-citanya. Ketika perang tiba hal yang mustahil di mata para pasukannya menjadi yang mungkin di matanya. Melumuri kayu gelondongan dengan lemak sapi dan di seberangkannya kapal-kapal perang itu lewat darat. Ya, sekali lagi lewat darat!! Bukan di perairan seperti biasanya kapal-kapal dilayarkan.

Begitulah mimpi seharusnya. Dari al Fatih lah kita belajar menerjemahkan kata mimpi dengan sebenar-benarnya arti.  Allah mempersilakan kepada kita untuk bermimpi sebanyak-banyaknya. Semau yang kita mau. Seingin yang kita inginkan. Sesuka yang kita suka. Tentunya ada sebuah pembeda di dalamnya. Ya, mimpi seorang yang beriman dan yang tidak beriman inilah yang menjadi pembedanya. Kalau saat itu Ana berada di antara pasukan Al-Fatih mungkin Ana pun akan menjadi bagian yang gugur dari kriteria-kriteria yang disampaikan Al-Fatih. Untuk itulah Ana belajar dari kisah ini untuk senantiasa menjadi pribadi yang berkualitas dalam penghambaan terhadap NYA.

Seperti halnya Al- Fatih, mimpinya bukan untuk dirinya sendiri. Bukan semata-mata karena obsesi semu. Al-Fatih bermimpi untuk masa depan generasi sesudahnya. Ia bermimpi untuk mewujudkan mimpi orang-orang shalih yang sudah berusaha mewujudkannya sebelumnya. Mimpi al Fatih begitu murni dan bening. Begitulah seharusnya kita bermimpi. Mimpi kita bukan hanya untuk diri kita sendiri. Tapi tentang bagaimana mimpi itu menjadi bermanfaat untuk sesama.  Menjadi harapan masa depan.

Ada dari kita yang mungkin bermimpi memiliki perusahaan sendiri, ada yang bermimpi mengelilingi dunia, ada yang bermimpi mendapatkan beasiswa studi di negeri  seberang nan jauh di sana, ada yang bermimpi menjadi bagian dari petinggi-petinggi parlemen, Menjadikan perkumpulan atau organisasinya lebih besar,  menjadi penulis terkenal, menjadi pengusaha sukses dan sebagainya. Ana tidak mengatakan semua mimpi itu mustahil atau bahkan salah. Sekali lagi tidak akan Ana katakan demikian karena Allah pun membebaskan kita bermimpi sesuka yang kita suka. Semau yang kita mau dan seingin yang kita inginkan. Namun alangkah baiknya kita telusuri lebih dalam tentang mimpi-mimpi kita. Dan mengoreksinya.

Dalam sebuah mimpi tentu kita punya visi bukan? Sama halnya dengan mimpi Muhammad Al-Fatih, mimpinya bukan hanya pada batas menjadi sebaik-baiknya pasukan atau sebaik-baiknya panglima. Tapi tentang bagaimana mewujudkan mimpi Rasulullah dan para amirul mukmin 700 tahun silam. Juga mewujudkan mimpi kemuliaan Islam untuk beratus-ratus tahun ke depan. Ya, dalam retasan mimpi kita alangkah baiknya kita meluruskan Visi kita.

Mimpi-mimpi kita sudah seharusnya tidak hanya menjadi miliki kita atau hanya untuk kita perseorangan. Tapi bagaimana mimpi kita dapat terwujud untuk mewujudkan mimpi-mimpi lainya (mimpi orang lain). Bagaimana mimpi kita terwujud untuk memberikan harapan pada banyak orang lainya. Itulah yang menjadikan setiap mimpi orang-orang yang beriman berbeda. Seperti halnya al Fatih, ketika merenda mimpi-mimpi kita dalam sebuah perencanaan, kekokohan iman adalah hal yang paling utama. Pernahkah kita atas dasar alasan SANG mimpi, kita perlahan mundur dari panggung Dakwah Ilallah? Mundur dari proses terbina dan membina? Pernahkah kita ketika menapak mewujudkan sang mimpi kemudian menganggap amalan sunah menjadi nomor kesekian untuk dilakukan? Atau pernahkah kita karena begitu lelahnya mengejar sang mimpi akhirnya menganggap akhirat tidak menjadi prioritas atau menganggap tidak memberikan pengaruh signifikan atas terwujudnya mimpi kita? Tidak..!! Sungguh tidak demikian seharusnya..!

Saudaraku, kemurnian dari visi dan kejelasan dari tindakannya sangat penting untuk kita muhasabahi kembali. Adakah dari mimpi-mimpi kita yang hanya untuk diri kita sendiri atau adakah dari mimpi-mimpi kita yang mungkin juga untuk mimpi orang lain namun kita melupakan siapa sebenarnya yang berkuasa mewujudkannya. Ya, Allah SWT adalah alasan mengapa kita harus mengejar mimpi-mimpi kita dan memurnikan Visi nya. Sedikit pun kita tidak bisa menjadikan mimpi-mimpi kita sebagai Alasan untuk meninggalkan Allah dan merendahkan kualitas kemusliman kita. Jadikanlah diri kita memang layak mendapatkan Mimpi-mimpi kita. Mimpi-mimpi yang kita rentas di atas jalan keimanan dengan pengoptimalan penghambaan kepadaNYA. Karena kalau mimpi kita memiliki Visi yang murni dan jelas karenaNYA, percayalah seluruh penghuni langit dan bumi akan membantu setiap tapak langkah kaki kita dalam mewujudkannya. Maka, berMIMPI lah dengan sebenar-benarnya mimpi. Bermimpi bukan hanya sekedar MIMPI…

Kadang iman kita yang terlalu rapuh untuk memahami keinginan ALLAH yang sederhana…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Sebuah Nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Figure
Organization