Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tiga Kriteria Kepemimpinan Salman Al-Farisi

Tiga Kriteria Kepemimpinan Salman Al-Farisi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Kita semua memiliki mimpi yang berbeda dan kita juga punya hak atas mimpi-mimpi itu, tinggal bagaimana kita mengemas dan membungkus mimpi-mimpi itu menjadi lebih baik. Sudah menjadi fitrah manusia dikaruniai keinginan terhadap sesuatu. Ingin memiliki jabatan, kedudukan, kekayaan, keturunan, pria, wanita dan lain sebagainya.

Kesemuanya itu adalah hal yang wajar untuk dimiliki asalkan yang perlu kita ingat adalah ke mana semua itu akan kita gunakan atau manfaatkan? Sebab semua yang kita miliki akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Sebagai seorang mukmin kita meyakini adanya kehidupan yang hakiki setelah kehidupan dunia ini, kita percaya adanya hidup setelah mati dan adanya perhitungan atas segala amal perbuatan, dan ini tentunya menjadi barometer dalam berbuat dan bertindak.

Kali ini saya ingin berbicara tentang kepemimpinan. Di negaraku sendiri Indonesia, jadi seorang pemimpin mungkin menjadi impian banyak orang. Tanpa pandang bulu, berilmu atau tidak, bergelar tinggi tau rendah, semua ikut meramaikan dalam pencalonan diri sebagai kepala daerah, tidak hanya itu bahkan banyak dari kalangan selebritipun kini mulai adu nasib di dunia politik.

Dengan menganut sistem demokrasi, kepemimpinan di Indonesia harus bersifat transparan. Mungkin karena itulah kerap kali para petinggi-petinggi negara masuk dalam banyak pembicaraan media, terutama permasalahan politik yang tidak sehat yang membuat para politikus-politikus negeri harus bertindak lebih berhati-hati lagi. Namun sayangnya semua bulan-bulanan media tidak membuat para politikus jera, hingga saat ini tetap saja terdengar kasus-kasus yang tidak sedap yang dilakukan oleh sebagian mereka.

Sebut saja korupsi. Kata ini hampir tak pernah absen dari pemberitaan media. Sudah menjadi hal yang biasa di kalangan mereka, bahkan masyarakat awam pun tak mau ambil pusing lagi dengan pemberitaan yang seperti itu. Tak heran jika “Pemimpin” menjadi hujatan dan cibiran khalayak ramai. Banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa kepemimpinan adalah batu loncatan untuk mencari kekayaan, memonopoli kekuasaan, menindas hak-hak rakyat, korupsi dan lain-lain.

Walau demikian, saya yakin bahwa masih ada banyak orang di sana (Indonesia) yang memiliki hati yang bersih, niat yang tulus untuk memajukan bangsa, memperjuangkan hak-hak rakyat, tapi mungkin mereka belum aku temukan sekarang.

Sifat-sifat yang seperti itu tentunya bukan harapan dan anjuran agama kepada kita. Barangkali memang ada yang salah dalam diri kita, dengan cara kepemimpinan kita, atau bahkan dalam sistem negara kita. Sekarang adalah saatnya kita merubah paradigma berfikir kita dan masyarakat, kita masih punya banyak generasi-generasi muda yang luar biasa untuk bisa meluruskan perjuangan bangsa ini.

Beranjak dari itu semua, dalam tulisan sederhana ini saya ingin mengatakan kita belum terlambat, masih ada waktu untuk berubah dan berbenah dengan kembali membuka lembaran-lembaran sejarah para manusia-manusia hebat, yang lebih dulu berpengalaman dan sukses. Kesuksesannya bukan terlihat dari seberapa banyak kekayaannya atau seberapa luas kekuasaannya, tapi seberapa banyak ia bermanfaat untuk orang lain dan masyarakatnya.

Saya ingin mengingatkan kita semua dengan figur seorang Salman Al-Farisi. Beliau adalah sahabat yang menjadi tokoh penting dalam perang Khandaq. Kepintaran dan kecerdasannya membuat Rasul dan para sahabat-sahabat yang lain kagum dengannya, maka tak heran jika Ali bin Abi Thalib menggelarinya dengan sebutan “Lukmanul hakim”.

Perjalanan panjang dalam mencari kebenaran telah mempertemukan ia dengan seorang yang sangat mulia yaitu Rasulullah saw. Walaupun ia pernah merasakan hidup senang ketika bersama keluarganya, namun semua itu ia tinggalkan demi kesetiaannya kepada Rasulullah, dan ia pun memutuskan untuk selalu mendampingi Rasulullah dalam barisan jihad hingga akhir hayatnya.

Keberadaan Salman yang selalu mendampingi Rasulullah tentu memberi banyak pelajaran dan menjadi sejarah emas bagi kita umat Islam. Kepribadian luhur terukir dalam jiwanya, bijaksana dalam memimpin, sederhana dalam hidup, dan cerdas dalam berfikir itu yang menghiasi kepribadian Salman semasa hidupnya. Minimal 3 karakter di atas sudah cukup menjadi alasan yang menjadikan Salman selalu berada di hati para sahabat dan masyarakatnya.

Bijaksana dalam memimpin.

Kita akan melihat bagaimana sosok Salman Al-Farisi menjadi tauladan dalam kepemimpinan. Ketika beliau memimpin sebuah daerah yang bernama Madain, beliau dikenal dengan sosok yang bijaksana dan sangat sederhana. Sebuah riwayat pernah mengisahkan, “Ketika ia menjabat sebagai amir (Pemimpin) di negeri itu, tidak ada yang berubah dari dirinya, ia tetap terlihat seperti biasanya, bahkan ia menolak untuk menerima gaji dan memberikannya kepada rakyat. Ia lebih memilih makan dari hasil tangannya sendiri (bekerja membuat keranjang dari daun kurma). Pakaiannya pun tak seperti layaknya seorang pemimpin, sehingga ia terlihat seperti rakyat biasa.

Suatu hari ia bertemu dengan seorang pemuda dari negeri Syam yang sedang membawa bongkahan kurma dan buah tin. Tanpa pikir panjang pemuda itu meminta Salman untuk membantunya membawa sebagian dari buah yang ia bawa. Di tengah perjalanan Salman dan pemuda tersebut bertemu dengan sekumpulan masyarakat, kemudian Salman mengucapkan salam kepada mereka dan mereka pun berdiri menyambut dengan hormat kedatangan Salman seraya berkata “Wa ‘alal amir as-salam” (dan berikan salam kepada Amir Salman).

Spontan pemuda yang bersamanya itu berkata “Wa ‘alal amir as-salam??? (Beri salam kepada pemimpin??) Dengan penuh keheranan, pemuda tersebut balik bertanya “siapa pemimpin yang kalian maksud?” mereka menjawab “Anka ayyuhal amir” (Salaman lah pemimpin yang mereka maksud). Akhirnya si pemuda tersebut baru mengetahui bahwa seseorang yang bersamanya, yang membantu membawa bebannya itu adalah seorang Amir (Pemimpin), dan ia adalah Salman Al-farisi.

Dengan perasaan yang sangat bersalah ia langsung meminta maaf kepada Salman sambil merampas barang yang ada di pundak Salman. Namun bagaimanakah Salman bersikap? Ia justru mengatakan “Tidak, barangmu akan aku hantarkan sampai pada tujuanmu”. Allahu Akbar…sungguh Salman tidak memarahinya atau menyakitinya, bahkan sedikit pun Salman tidak merasa rendah diperlakukan seperti itu oleh rakyat nya.

Itulah sebabnya ketika ia ditanya oleh seseorang “Kenapa engkau begitu benci dengan kedudukan?” Ia menjawab “Kedudukan itu senang untuk mendapatkannya akan tetapi sulit untuk melepaskannya, itulah yang Aku khawatirkan”. Ternyata kekhawatiran Salman itu terbukti pada saat sekarang ini. Kita bisa melihat bagaimana sikap para pemimpin dan pemerintah kita ketika sudah menduduki jabatannya? Sudah barang tentu ia ingin selalu duduk, ingin selalu memimpin sampai akhir hayatnya, itu yang menyebabkan mereka berlama-lama di kursi jabatan. Sehingga tak heran banyak di antara mereka menjabat sampai lebih dari 10, 20, 30 tahun, atau bahkan seumur hidup, hanya karena sulit untuk melepaskan kekuasaannya.

Kebijaksanaan Salman juga terlihat ketika ia bersikap kepada pembantu-pembantunya. Hal ini tentu memberikan pelajaran kepada kita bagaimana selayaknya kita bersikap kepada para pembantu, atau bawahan kita. Sebuah riwayat mengisahkan, “Suatu ketika salah seorang sahabat masuk ke rumah Salman, dan terlihat Salman sedang mengaduk-aduk kue, kemudian sahabatnya bertanya “Ainal khadim?” mana pembantumu ya Salman? dengan bijak Salman menjawab “Pembantuku sedang istirahat, tadi dia sudah menyelesaikan tugasnya, dan aku tidak mau memerintahkan dia untuk mengerjakan 2 pekerjaan sekaligus”.

Subhanallah, sungguh indah jawaban Salman, menyentuh hati menenangkan jiwa. Sekarang apa yang sedang terjadi dengan pekerja-pekerja kita, bawahan-bawahan kita, pembantu-pembantu kita? Mereka selalu mendapatkan perlakuan di luar batas kewajaran dari tuan-tuan mereka, dari pemimpin-pemimpin mereka yang tidak berperasaan dan berperikemanusiaan.

Sederhana dalam hidup

Salman berasal dari keluarga yang terbilang mampu. Semasa kecil hidupnya penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan namun itu semua tidak membuatnya terlena, justru semua ia tinggalkan demi mencari kebenaran. Kesederhanaan Salam semakin tampak jelas ketika ia hidup bersama Rasulullah. Ia orang yang sangat zuhud terhadap dunia. Ketika Islam benar-benar memancarkan sinar kejayaan, kekayaan dan kemakmuran menyelimuti umat Islam, namun Salman lebih memilih hidup dengan kesederhanaan, menafkahi keluarga dengan hasil keringatnya sendiri, ia bekerja sebagai pembuat keranjang dari daun kurma yang kemudian dijual dan dari hasil itulah ia memenuhi kebutuhannya. Pakaiannya pun sangat-sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa menutupi auratnya saja.

Di sisi lain, jika kita berbicara tentang rumah seorang pemimpin seperti Salman, maka kita dapat membayangkan bahwa rumahnya tidak layak disebut rumah. Rumahnya hanya sekedar dapat melindunginya dari panas, dan dapat menyelimuti diri dari dingin. Ukurannya pun tak lebih besar dari hanya bisa untuk berdiri dan berbaring saja. “Ya begitulah rumah Salman”. Nah kira-kira sekarang rumah apa yang bisa disamakan dengan rumah Salman? Saat ini adakah rumah para pemimpin, atau rumah rakyat biasa yang tipe rumahnya mirip dengan rumah seorang sahabat Salman Al-Farisi? Tipe rumah ini mungkin cocok dikatakan sebagai “Rumah Sangat-sangat Sempit Sehingga Sulit untuk Selonjor (RSSSSS)”. Hehe….

Banyak sekali mau’idzoh (contoh) dari kesederhanaan Salman yang mungkin terlalu panjang untuk saya sebutkan semua. Begitulah sekilas tentang kesederhanaan Salman radhiyallahu ‘anhu.

Cerdas dalam berpikir

Soal kecerdasan, Salman tidak diragukan lagi. Salah satunya adalah idenya yang cemerlang ketika ia mengusulkan penggalian parit pada perang Khandaq, sehingga perang dapat dimenangkan oleh kaum muslimin ketika itu. Di hati para sahabatnya Salman juga ditempatkan pada posisi yang istimewa. Ia diberi kemampuan untuk menguasai al-ilmu al- awwal (agama sebelum Islam) wa al-ilmu al-akhir (agama Islam) sehingga ia diibaratkan lautan yang tak pernah kering (Bahrun la yanzif).

Dalam sebuah riwayat juga pernah dikisahkan bahwa Salam pernah menasihati Abu Darda’ RA, tatkala ia mengetahui bahwa sahabatnya yang bernama Abu darda’ itu selalu menghabiskan waktu istirahat malamnya dengan mendirikan shalat, kemudian mengisi siangnya dengan berpuasa. Pada suatu ketika Salman berusaha untuk menghalang-halangi Abu darda’ melakukan shalat dan puasa sunnah, sehingga membuat Abu darda bertanya kepada Salman “kenapa engkau melarangku berpuasa dan shalat, sedangkan itu semua aku lakukan untuk Tuhanku? Dengan sindiran halus Salman menjawab “Sesungguhnya matamu itu punya hak, keluargamu juga punya hak atasmu, puasalah tapi sesekali berbukalah, shalatlah tapi juga tidurlah.

Berita tersebut sampai kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul sedikit berkomentar “Sungguh Salman diberikan banyak ilmu pengetahuan”. Rasulullah tau kecerdasan dan keilmuannya yang terdapat pada diri Salman. Maka sangatlah wajar dengan kecerdasannya ia diangkat menjadi seorang pemimpin. Kecerdasan memang sangat penting untuk menjadi seorang pemimpin, terutama pemahaman dan keilmuan agama yang luas, kemudian ilmu tentang kepemimpinan yang dalam.

Sekarang kita dapat menilai diri kita sendiri, berada di level manakah kita? Berada di peringkat berapakah para pemimpin kita? Jika kita sudah mengetahuinya maka berubahlah dengan cara meningkatkan semua kekurangan dan keterbatasan kita.

Pesan untuk para generasi muda, temui dan pelajari cara memimpin yang benar agar kekuasaanmu tidak membinasakanmu, kedudukanmu tidak menjatuhkanmu, sehingga kepemimpinanmu dapat bermanfaat bagi masyarakat. Bagi para pemimpin kami, masih ada waktu untuk berubah, yang perlu diingat semua kedudukan, kekuasaan dan kepemimpinan kalian akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Wallahu a’lam bis shawab…

Mudah-mudahan ada pelajarannya untuk kita semua, Amin…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...

Tentang

Nama asliku Novrinaldi.S, panggilan akrab Novri, atau aldi juga boleh..heheh lahir 1 November 1990, sekarang sedang melanjutkan studi di Al-Azhar University Cairo. "Tak ada yang istimewa dalam hidup ini, kecuali bisa saling berbagi manfaat terhadap sesama" perubahan itu sangat dibutuhkan maka milikilah jiwa dan mental sebagai agent of change...

Lihat Juga

Sudirman Said: Orang Baik Punya Kesempatan Besar Pimpin Indonesia

Figure
Organization