Topic
Home / Berita / Opini / Radikalisme Feminis Mazhab Chicago

Radikalisme Feminis Mazhab Chicago

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (Zapra Vesfa)

dakwatuna.com – Istilah mazhab Chicago mencuat saat saya mengikuti seminar Feminisme dan Kesetaraan Gender pada 22/12/2011 lalu. Istilah ini dilontarkan oleh seorang Doktor Sosiologi perempuan di perguruan tinggi Islam negeri di Jakarta ketika ia menjadi salah satu pembicara seminar. “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’i tapi sekarang saya bermazhab Chicago”, ungkapnya saat seminar.

Lahirnya istilah itu makin memperkuat asumsi bahwa gerakan feminisme di Indonesia semakin mem-Barat. Parahnya lagi, ideologi ini telah dimasukkan ke dalam RUU Kesetaraan Gender yang saat ini sedang digodok oleh DPR dan menjadi UU Prioritas di tahun 2012 (lihat hidayatullah.com, RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga, 20/02).

Gerakan feminisme selalu berkembang dengan beragam mazhab. Tapi sikap-sikap radikal tampaknya tidak bisa ditanggalkan. Contohnya seperti yang saya temukan dalam sebuah blog milik seorang feminis yang menulis pengalamannya selama hamil. Dalam tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia seperti ingin memperlihatkan kebenciannya menjadi seorang Ibu. “Dulu, saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui. Saya sangat paham hak anak, tapi my body is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya.

Gaya feminis seperti di atas dapat disebut radikalisme feminis mazhab Chicago, baik itu dengan menirukan pemikiran feminis secara sebagian atau keseluruhan dari Barat. Tentu gerakan seperti ini mengkhawatirkan, karena gerakan ini dari tahun ke tahun semakin radikal, tepatnya sejak Indonesia meratifikasi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Dari hasil ratifikasi tersebut, lahir UU No. 7 tahun 1984, yang kemudian disusul dengan terbitnya UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui UU Kesehatan dan adanya upaya membuat Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat oleh Prof. Musdah Mulia bersama tim pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 lalu. Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di belakangnya keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. (Dinar Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27).

Sejarah Feminisme

Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-minus. Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/menindas perempuan. (Hamid Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam, Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3)

Bukti bahwa feminisme dan gender berasal dari Barat dapat kita telusuri dari literatur mereka, menurut Mary Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul A Vindication of The Rights of Women, pada abad ke 18, perempuan mulai bekerja di luar rumah karena didorong oleh kapitalisme industry. Maka, tidak heran jika perempuan Barat pada zaman industri saat itu dibingungkan dengan dua pilihan: menjadi wanita karir ataukah Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor, Enfranchisement of Women, 1851).

Dalam perkembangannya, aktivis feminis radikal mengusik pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi perempuan dan laki-laki yang dianggap tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa perempuan dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal yang melahirkan praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme di Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5).

Hal ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena Herdiyani, selaku Direktur Eksekutif LSM Kalyanamitra yang merupakan salah satu penggagas RUU Kesetaraan Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender dalam RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02 lalu, “Tidak secara spesifik memuat hak-hak transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berdasarkan apapun, termasuk jenis kelamin, etnis, status perkawinan, kehamilan, usia, kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang menimbulkan stigma, orientasi seksual, identitas gender, status sosial, status ekonomi, jenis pekerjaan, atau status lainnya”.

Mengancam Keluarga

Salah satu pasal dalam RUU Kesetaraan Gender yang bisa menimbulkan perdebatan adalah pasal 1 ayat 2. Pasal itu berbunyi: “Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”.

Berdasarkan pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada perempuan Indonesia agar bisa setara posisi dan kondisinya dengan laki-laki di semua bidang kehidupan, termasuk ranah agama. Mengenai hal ini yang paling sering dipersoalkan oleh aktivis Feminis adalah Hak Waris antara laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam Hukum Waris Islam.

Selain itu, melalui RUU ini, para aktivis feminis menggugat perempuan yang posisinya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka menganggap bahwa suami yang tidak mengizinkan para istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai salah satu kekerasan dalam rumah tangga (lihat juga pasal 9 ayat 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Tentunya, kondisi semacam itu seharusnya disikapi secara bijak oleh negara, atas dasar apa perempuan tidak diizinkan bekerja oleh suaminya? Jikalau memang istri tidak diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi waktunya antara pekerjaan dan keluarga atau lebih memprioritaskan waktunya untuk pekerjaan, negara tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman penjara selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga).

Yang mengherankan, kenapa di negara mayoritas Muslim justru perempuannya ingin menerapkan suatu paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur bangsanya sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai-nilai agama yang dianutnya? Coba kita lihat agama lain, Kristen misalnya, dari jauh-jauh hari, tepatnya sejak tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi untuk menghindari gerakan feminism ini dan tidak mengadopsinya (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 Oktober 2006). Bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahaya teori gender ini karena teori gender yang diajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik (Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011).

Sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1946, atas dasar apapun (baik itu berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan Gender), seseorang yang menjalankan hak dan kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, termasuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab Chicago tidak bisa diterima di Indonesia, karena selain mempunyai kultur yang berbeda, perempuan Indonesia, khususnya perempuan muslimah tidak punya pengalaman buruk seperti perempuan Barat. Dengan demikian, tidak salah jika saya mengatakan gerakan feminisme mazhab Chicago yang radikal dapat mengancam keutuhan keluarga, khususnya keluarga muslim.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...
Anak terakhir dari 4 bersaudara ini sangat menyukai menulis, membaca, berdiskusi, observasi, Jurnalistik, humor dan browsing.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization