Topic
Home / Berita / Opini / Karnaval Kartini

Karnaval Kartini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Repro negatif potret RA. Kartini (wikipedia)

Telaah terhadap Ketokohan Kartini

dakwatuna.com – Warna-warni pakaian adat meramaikan jalanan raya menyambut hari Kartini. Anak-anak dari jenjang taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah dirias sede mikian rupa untuk kemudian melakukan long march. Bentuk lain yakni berupa kontes busana adat atau ajang pemilihan model Kartini. Disadari atau tidak, aktivitas ini telah membudaya di dunia pendidikan negeri. Namun semestinya perlu dipertanyakan esensi manfaatnya. Benarkah demikian merupakan pembelajaran emansipasi? Lalu, apa pula hakikat emansipasi?

Berbicara tentang emansipasi, berbagai kalangan mempresepsikannya dengan konsep yang beragam. Dalam pengantar buku Sejarah Perempuan Indonesia karya Cora Vreede-de Stuers (2008), emansipasi bagi Timur Jauh yang modern, diartikan sebagai upaya penaklukan dari segala determinasi.

Emansipasi sering pula diidentikkan dengan perjuangan wanita untuk mendapat kesempatan berprestasi di segala bidang sebagaimana halnya lelaki, bahkan jika mungkin melebihinya. Emansipasi menjadi kata yang paling popular mendekati tanggal 21 April setiap tahunnya yang dinisbatkan sebagai hari Kartini.

Salah Kaprah Emansipasi

Sejarah yang diinternalisasikan pada pemahaman siswa di negeri ini selama berpuluh tahun masih sangat parsial. Tokoh Kartini hingga kini masih dipahami sebagai sosok pejuang wanita yang membebaskan dari keterkungkungan (emansipasi). Akan tetapi, kejelasan arah emansipasi yang diangkat Kartini di kalangan masyarakat masih nampak mendung  lantaran didasarkan tanpa penelaahan lebih dalam terhadap latar belakang historis kehidupannya.

Berdasarkan buku Tragedi Kartini oleh Asma Karimah (1986), terdapat tiga kluster pemikiran Kartini selama masa surat-menyuratnya. Pertama, kluster adat Kartini. Pada masa ini, Kartini yang memang keturunan keluarga cerdas banyak mengkritisi kehidupan adat Jawa di lingkungan keningratannya. Perjuangannya di tahapan ini berkisar pada sektor pendidikan dan peraturan adat.

Pada tahun 1899, surat Kartini merujuk tentang kerumitan adat Jawa yang menata tata laku yang menurutnya berlebihan. Terdapat pembedaan perlakuan yang Kartini rasakan dalan naungan keningratan keluarganya. Para adik Kartini harus berjalan merangkak saat melewatinya. Sembah dalam setiap kalimat maupun pertemuan menjadi hal yang tak boleh absen dari adik-adik Kartini di hadapannya.

Pendidikan dalam kaca mata Kartini semestinya juga menjadi hak kaum pribumi. Para kolonialis (pemerintah Hindia Belanda)  membatasi aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat pada masa itu. Tentu saja. Logikanya, jika terdapat banyak kaum terdidik pada masa itu, maka akan semakin masif gerakan perlawanan. ”Berilah pendidikan kepada bangsa Jawa,” demikian ajuan kritik Kartini kepada beberapa departemen pemerintahan Hindia Belanda.

Masa kedua yakni masa barat Kartini. Aktivitas surat-menyurat Kartini hampir keseluruhannya ditujukan pada teman baratnya. Sebut saja, Mr. Abendanon, Nyonya Abendanon, Annie Glesser, Stella, dan Ir. H. Van Kol dan Nyonya Van Kol. Dalam buku Tragedi Kartini, tokoh-tokoh tersebut dinyatakan membawa misi terselubung terhadap Kartini. Politik Asosiasi mereka gunakan untuk memasukkan peradaban barat dalam masyarakat pribumi. Dan melalui Kartini yang merupakan priyayilah misi tersebut dapat terlaksana.

Pada masa itu Kartini menjadi terpengaruh oleh pemikiran barat. “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa,” demikian surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899.

Perlahan, setelah mengalami kedekatan dengan Kartini, Nyonya Van Kol, mulai melancarkan aksi kristenisasinya.  Kartini yang sangat berkeinginan untuk belajar di Belanda maupun Eropa mereka halangi. Ketidakinginan mereka melihat Kartini majulah yang melandasinya.

Dan ketiga, masa pencerahan Kartini. Surat-surat yang ditulis sebelum Kartini wafat banyak mengulang kata Door Duisternis Tot Licht. Kata-kata tersebut kini kita kenal dengan istilah Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun sekali lagi, terdapat konspirasi sejarah yang urung mengemukakan makna sebenarnya dari kata tersebut. Kartini memunculkan kata itu terinspirasi oleh potongan ayat 257 Surat Al Baqarah.

Kata minadz-dzulumati ilannur dalam ayat menjadi landasan sebenarnya gerakan Kartini. Kata ini hakikatnya bermakna ‘dari gelap menuju cahaya’. Hal ini dicetuskan oleh Kartini usai pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Kartini yang berjiwa pembelajar menanyakan kepada sang ustadz tentang terjemahan bahasa Indonesia/Jawa dari al Quran.

Masa inilah yang menjadi titik balik kehidupan pemikiran Kartini. Kartini yang semula merasa agama adalah sebuah keterkungkungan, beralih pemikiran. Ia mendapat jawaban langsung tentang krisis tafsir Quran yang selama ini dialaminya. Kyai Sholeh Darat berkontribusi memberikan terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa kepada Kartini. Dari ‘gelap’ ditafsirkan Kartini sebagai masa lalunya yang belum memahami secara integral tentang agamanya, Islam. Menuju ’cahaya’ diartikan sebagai masa pencerahan dan penemuan kembali jati diri keislamannya. Kartini wafat sebelum ia dapat menerima seluruh terjemahan Quran itu.

Kartini pada masa itu semakin menyadari hakikat dirinya. “Sudah lewat masanya. Tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sendiri mulia? …” surat Kartini pada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902.

Hakikat Emansipasi Kartini

Kartini mengalami sejarah panjang dalam kehidupannya. Namun yang nampak di masyarakat hanyalah satu isu, bahwa Kartini memperjuangkan emansipasi. Emansipasi yang umum dipahami adalah yang mengarus pada usaha kesetaraan wanita terhadap laki-laki dalam segala bidang.

Padahal, sebuah penggalan surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, mematahkan itu semua. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Demikianlah gagasan sebenarnya dari seorang Kartini. Gagasan ini bermuara pada satu hal pasti, kesadaran. Kartini menyadari dan ingin menyadarkan kaum wanita di seluruh negeri ini akan kewajiban menimba ilmu bagi wanita. Namun, menimba ilmu di sini berada pada koridor tepat pengaplikasiannya, yakni untuk mempersiapkan generasi peradaban. Pepatah mengatakan, wanita adalah tiang negara. Maka upaya mencerdaskan wanita dalam suatu negara adalah tanggung jawab setiap elemen negeri.

Menjadikan Kartini sebagai sosok pahlawan tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, hal tersebut haruslah berlandas pada kepahaman integral terhadap perjuangan Kartini itu sendiri. Gagasan emansipasi sudah bukan lagi masanya dijadikan tameng untuk mengusung ‘kebebasan kebablasan’ bagi kaum wanita. Dan bukan lagi saatnya hari Kartini dirayakan dengan euforia pemilihan model atau karnaval yang miskin akan esensi.

Salam peradaban!

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 8.44 out of 5)
Loading...
Mahasiswa semester 1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saat ini aktif di KAMMI dan menjadi kepala departemen Pemberdayaan Perempuan KAMMI Komisariat Madani.

Lihat Juga

Empat Ciri Wanita Penghuni Surga

Figure
Organization