Topic
Home / Berita / Silaturahim / Menuju UU Keserasian Gender

Menuju UU Keserasian Gender

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(ist)

dakwatuna.com – “Saya khawatir, RUU KKG sekadar pengalihan isu, Ada hal lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Jangan kita respon. Kita tunggu saja RUU KKG sampai disahkan. Toh nanti sampai disahkan saya tidak yakin akan efektif. Saya yakin secara naluri segelintir wanita saja yang akan melaksanakannya. Tunggu sampai disahkan. Toh ternyata jika nanti bahaya distop saja, selesai”, ujar seorang peserta diskusi ilmiah “Membedah RUU KKG” di kampus International Islamic University Malaysia  (IIUM) yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKMP) Gontor cabang Malaysia bekerja sama dengan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) dan Indonesian Student Society of INSTED (Institute of Education) (ISSI), Sabtu, 14 April 2012 yang lalu.

Menanggapi pernyataan tersebut, pakar gender dari INSISTS, Henri Shalahuddin, MIRKH selaku pembicara mengatakan, “Mungkin saja itu pengalihan isu, tapi apa ukurannya?  (Itu bukanlah pengalihan isu karena) kaum feminis bergerak sembunyi-bunyi. Begitu drafnya terbongkar mereka panik sekali. Kita adakan tabligh akbar mereka panik sekali. Kita mainkan semua media mereka panik sekali. Kita jangan main-main dengan hukum. Kalau sudah diundang-undangkan atau disetujui, judicial review perlu waktu lama lagi”.

Berdasarkan isi BAB IX Ketentuan Pidana Pasal 70 RUU KKG yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama ,,, (…) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp… ()” Henri menunjukkan bahwa RUU KKG bukan hanya peraturan normatif dan mempunyai kekuatan hukum untuk menghukum bagi yang melanggar jika telah disahkan.

Sebelum sesi tanya jawab, dengan kekhasannya yang suka melontarkan joke-joke segar namun tidak mengurangi keseriusan para peserta dalam mengikuti pemaparannya, Henri antara lain mengatakan tujuan feminisme adalah menuntut kesamaan hak. Hal ini dapat dilihat dari tujuan RUU KKG yang termaktub dalam Pasal 3:a yang berbunyi: “Mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan”.

Henri juga mengungkapkan dampak negatif dari feminisme. Dampak negatifnya adalah hancurnya institusi keluarga. Kehancuran institusi keluarga ini antara lain bisa dilihat dari dua faktor, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri di AS dan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di AS dan negara Eropa yang mana AS dan Eropa adalah pionir dalam feminisme

Laporan majalah TIME yang berjudul “Teen Suicide” (Bunuh Diri di Kalangan Remaja) menunjukkan kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja usia 10 sampai dengan  20 tahun meningkat sangat tajam di AS, yaitu bertambah 3x lipat pertahunnya sejak 1950. Faktor penyebab bunuh diri adalah kehilangan perlindungan dalam suatu keluarga serta perkembangan jiwa yang tidak sehat karena hilangnya kepedulian dan kasih sayang.

Jerman, Belanda dan AS menunjukkan angka pertumbuhan penduduk yang kecil dengan angka kelahiran yang kecil dan angka kematian yang besar. Inilah penyebab kehancuran Barat. Namun tidak demikian halnya dengan migran Muslim di AS dan Eropa yang mempunyai angka pertumbuhan penduduk yang besar, sehingga jumlah kaum Muslim terus meningkat dan bisa menjadi mayoritas secara alami…

Sebaliknya, negara-negara Muslim dimana gerakan feminisme masih belum selaris di AS dan Eropa, mempunyai angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan angka kelahiran yang besar dan angka kematian yang kecil.

Tahun

Natural Increase Rate/1000 Death Rate/1000 Birth Rate/1000

2004

-1,9

10,4

8,5

Jerman

2003

3

8,7

12,4

Belanda

2004

5,8

8,3

14,1

USA

2004

14,8

6,3

21,1

Indonesia

2004

27

2,7

29,7

Arab Saudi

2004

18,5

5,3

23,8

Mesir

 

Dalam diskusi ilmiah yang dihadiri mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi di IIUM dan Universiti Malaya (UM) itu, Henri yang akan menerbitkan buku “Indahnya Keserasian Gender Dalam Islam”  di akhir pemaparannya mengatakan seharusnya yang diperjuangkan bukan kesetaraan gender tapi keserasian gender yang antara lain memperjuangkan:

Tersedianya ruang menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers). Cuti hamil dan melahirkan selama 1 tahun. Masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarir. Subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia balita. Tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah. Kebebasan memakai jilbab di tempat kerja, sekolah, dan di tempat lainnya.

Ironisnya, di dalam RUU KKG sama sekali tidak terdapat hal-hal krusial seperti tersebut di atas. Sehingga RUU tersebut patut dipertanyakan sebagaimana yang diungkapkan Henri, “RUU KKG itu untuk siapa?” “Apakah untuk semua wanita (Indonesia)?” “Tidak”. Jadi, “RUU KKG adalah untuk mengakomodir kepentingan elit feminis tertentu saja, tidak untuk semua perempuan”, ujarnya.

Dalam acara yang menyedot perhatian para akhwat yang aktif di Forum Tarbiyah (FOTAR) IIUM itu juga diserahkan tanda tangan dukungan penolakan RUU KKG oleh para peserta yang mewakili organisasi dan pribadi.

Menurut hemat penulis, dengan adanya ide perjuangan menuju keserasian gender sepatutnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, organisasi sosial dan politik Islam dan masyarakat pada umumnya wajib memperjuangkan adanya RUU hingga menjadi UU yang mengakomodir keserasian gender.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 6.00 out of 5)
Loading...
Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur Malaysia.

Lihat Juga

Di Hadapan Ivanka Trump, Tun Mahathir Kecam Keras Amerika Serikat

Figure
Organization