Topic
Home / Pemuda / Essay / Mendiagnosa Arti Kata Cinta

Mendiagnosa Arti Kata Cinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Tema cinta tak pernah sepi dari kehidupan sehari-hari. Bahkan tak jarang ia dibedah dalam sebuah diskusi formal maupun non-formal. Dan kali ini pun, saya ajak kalian untuk sekali lagi membicarakan cinta. Mari…

Ah, sebenarnya cinta itu apa, sih?

Saya yakin tentu banyak di antara kalian melontarkan statement atau teori-teori handal untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi apa kalian yakin jawaban itu yang paling benar? Pasalnya, dari zaman batu sampai sekarang, atau mungkin sampai kiamat nanti, teori-teori definisi cinta tak akan ada habisnya. Mengapa? Karena cinta itu relatif! Ia bukanlah pernyataan. Dalam matematika, sebuah kalimat disebut pernyataan apabila sesuai parameter benar atau salah. Misal, 2 x 2 = 4 (benar). Bumi itu bulat (benar). Deddy Sussantho itu keren (eit, entar dulu. Bisa jadi empat dari lima orang di dunia ini menyatakan itu benar, tapi belum tentu dengan satu orang sisanya).

Jadi, kalimat yang dibumbui kata sifat, seperti baik, ganteng, bagus, jelek, dan lain sebagainya, bukanlah pernyataan. Hal ini karena kata tersebut tidak bisa dikatakan benar atau salah. Bisa jadi saya mengatakan Fulan baik, tapi belum tentu kalian sependapat, kan? Pun begitu dengan cinta. Ia tak terdefinisikan. Ia relatif. Ia ibarat bentuk air yang selalu berubah mengikuti mediumnya. Itulah yang menyebabkan teori definisi tentang cinta tak  ada habisnya.

Jadi apa itu cinta? Ya, begitulah… J

Jenis-jenis cinta? Emang ada, ya?

Ada dong! Sebagai seorang yang beriman (ceilah), kita kudu tahu nih jenis dan asal dari mana cinta itu berasal, biar gak salah dalam menggunakannya. Emang penting? Penting banget dong! Kenapa? Ya, karena cinta itu ibarat sebuah atom energi. Jika disalahgunakan, ia akan menjadi nuklir penghancur yang sangat dahsyat! Tapi jika digunakan sebagaimana fitrahnya, ia dapat menjadi PITC (Pembangkit Iman Tenaga Cinta) yang manfaatnya tiada kira. Nah loh… mantap, kan?

Secara global, cinta itu ada dua. Pertama, cinta kepada Allah SWT. Yang ini asalnya dari iman. Orang-orang biasa menyebutnya sebagai mahabbatullah, cinta kepada Allah SWT. Cinta ini adalah yang paling asasi dan hakiki. Cinta Yang Maha Cinta yang dapat memberikan energi positif tak habis-habis. Kedua, cinta kepada selain Allah SWT. Ini asalnya dari nafsu. Tenang aja, nafsu itu juga fitrah kok. Asal jangan berlebihan, apalagi melebihi cinta kepada-Nya. Kenapa? Karena itu sama saja dengan syirik! Syirik adalah menduakan Allah SWT atas apa pun. Jadi kalau cinta kita kepada selain Allah SWT melebihi cinta kita kepada-Nya, itu artinya syirik.

Hanya saja, dalam niatannya, banyak yang tidak sadar telah berlaku syirik. Misal, panggilan pacar lebih didengar daripada panggilan adzan; atau terlalu menggantungkan harapan sama bos daripada sama Allah SWT; lebih takut pocong daripada Allah SWT; lebih mudah berucap nista daripada berdzikir pada-Nya; dan masih banyak contoh lainnya.

Kata Pak Ustadz, diri kita akan jauh dari Allah SWT manakala keimanan kita sedang turun. Secara, iman itu kan bisa naik dan bisa turun, tergantung bagaimana kita menjaganya. Maka dari itu, ketika sedang dalam keadaan syirik tak sadar tersebut, hendaknya kita segera bertaubat. Biar tambah mantap, ucap syahadat lagi deh, supaya syahadat yang tadinya kendor karena maksiat bisa jadi kokoh kembali. Karena bagaimana pun, bukti cinta salah satunya adalah dengan ikrar. Maka syahadat dapat diartikan sebagai bukti cinta kita pada-Nya.

Lantas apa hubungannya dengan iman dengan cinta? Ini erat kaitannya dengan orientasi hidup. Allah SWT menciptakan manusia itu untuk beribadah. Jadi sudah sepatutnya apa yang kita lakukan dalam hidup ini diniatkan semata untuk menggapai ridha Allah SWT, sehingga bernilai ibadah dan mendapat pahala. Coba bayangkan, bagaimana mungkin kita tulus beribadah pada Allah SWT bila tanpa cinta kepada-Nya?

Orang yang cinta kepada Allah SWT, jelas akan mendapat kebahagiaan sejati. Hemat kata, meski miskin dunia, yang penting kaya cinta kepada-Nya. Tapi orang yang lebih mengutamakan cinta kepada selain-Nya, maka akan hanya mendapatkan kebahagiaan semu, lantaran sumber kebahagiaannya adalah dunia. Apabila kenikmatan dunia hilang darinya, maka ia tak lagi bahagia.

Kenalan dengan cinta, yuk!

Cinta itu apa, sih? Udah dibilang juga, cinta itu tidak dapat didefinisikan. Namun bukan berarti ia sulit untuk dikenal. Ia dapat diidentifikasi lewat tanda-tandanya. Mau tahu? Nih, ada tujuh tandanya. Oia, biar gampang, kita coba bandingkan dengan fenomena pacaran ya.

1. Dzikir (ingat)

Ingat Allah SWT kapan pun dan di mana pun. Baik suka maupun duka. Coba deh bayangin, kalau sedang pacaran, yang ada di otak pasti si doi terus. Nah, kalau abis pacaran, trus tiba-tiba kita dipanggil Yang Maha Kuasa dalam keadaan otak sedang dipenuhi si doi, gimana tuh hasilnya? Sementara kalau ditanya mau masuk surga atau neraka, kita serentak jawab, “surgaaaa!!!”

2. I’jab (mengagumi)

Kagum artinya merasa tidak ada kejelekan sedikit pun pada objek yang dikagumi. Sedangkan siapakah yang Maha Sempurna dan yang Maha Tidak Ada Kekurangan? Sudah pasti Allah SWT. Tapi coba bayangin, misal kita sedang pacaran, di mata kita pasti si doi gak ada lecetnya. Mau dia gimana juga, pokoknya di mata kita dia yang paling oke deh. Iya gak? Ngaku!

Bahkan dalam lagu-lagu zaman sekarang, nada syiriknya semakin terasa: “Ku mencintaimu, lebih dari apa pun…” atau “kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah.” Padahal kalau diganti niatnya untuk Allah SWT, lagu-lagu itu bisa jadi pahala loh! “Ku mencintai-Mu, lebih dari apa pun” atau “Kau begitu sempurna. Di mataku Kau begitu indah.”

3. Ridha (rela)

Orang kalau udah cinta, mau diapain aja rela dah! Betul gak? Dalam pacaran, kalau si doi mukul, itu namanya pukulan cinta. Kalau si doi marah, itu artinya marah sayang. Dan… bla-bla-bla. Gak ada habisnya deh. Intinya, apa yang dilakukan dan diputuskan oleh si doi, disambut dengan kerelaan yang luar biasa. Tapi giliran Allah SWT kasih ujian sedikit, misalnya dompet hilang, kita rasanya gondoook banget. Ke mana-mana bawaannya senewen. Bahkan tak jarang, giliran dikasih nikmat malah lupa gak bersyukur. Na’udzubillah.

4. Tadhiyah (pengorbanan)

Dalam pacaran, terdapat kalimat klasik, “Apa sih yang enggak buat kamu? Percaya deh, aku ada untukmu. Bahkan, ke gunung akan kudaki, ke laut pun kan kuselami.” Tapi giliran untuk Allah SWT, kita malah ogah-ogahan. Disuruh shalat aja malas-malasan. Disuruh dakwah, entar-entaran. Kalau cinta sama Allah SWT, mestinya kita azzamkan dalam diri, “Apa sih yang enggak buat Allah SWT?”

5. Khouf (takut)

Cinta kepada Allah SWT membuat kita takut. Takut kalau jauh dari Allah SWT; takut kalau amal ibadah kita ditolak oleh Allah SWT; takut Allah SWT mencampakkan kita; dan lain sebagainya. Tapi dalam pacaran, semua berubah. Takut kalau ditolak, diputusin, dicuekin, dan bla-bla-bla. Haduh, gak ada abisnya deh.

6. Roja’ (harap)

Nah, yang ini gak jauh beda sama khouf. Cinta kepada Allah SWT akan membuat kita berharap dan menggantungkan diri pada-Nya. Senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya; berharap Allah SWT menerima amal-amal kita; dan lain sebagainya. Intinya ada rasa kebutuhan dan ketergantungan diri kita kepada-Nya. Sementara kalau cinta selain kepada-Nya, kita cenderung berharap pada dunia ketimbang pada-Nya. Kalau sudah begini, apa masih mengelak jika dikatakan syirik?

7. To’at (taat/patuh)

Orang kalau udah cinta, mau diapain juga nurut-nurut aja. Disuruh begini, nurut. Disuruh begitu, juga nurut. Ada istilah, “ini bukti cintaku padaku.” Gak perlu dipikir yang diminta logis atau tidak, yang penting si doi minta, kita kudu patuh. Haduh, lagi-lagi yang begini nih yang ngaco bin lebay.

Sementara di sisi lain, kita mengaku orang beriman yang cinta kepada Allah SWT. Lantas sudahkah kita membuktikan cinta kita pada-Nya dengan kepatuhan dan ketakwaan?

Nah, udah bener belum orientasi kita pada ketujuh tanda-tanda cinta ini? Kalau belum, yuk latihan dan sungguh-sungguh mencintai-Nya. Karena cinta itu… membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Ayo menata hati dengan tingkatan cinta yang benar!

Kalau sebelumnya, tadi kita membahas bahwa cinta yang paling asasi dan hakiki adalah cinta kepada Allah SWT. Gak boleh deh tuh yang melebihi dari itu. Trus, apakah kita gak boleh cinta sama sekali dengan selain-Nya? Jawabannya boleh. Tapi tetap ada tingkatan dan skala prioritasnya. Jangan sampai tingkatan itu terbalik, apalagi salah menempatkan posisi pertama.

  1. Cinta kepada Allah SWT
  2. Cinta kepada Rasulullah SAW
  3. Cinta kepada mukminin
  4. Cinta kepada muslimin
  5. Cinta kepada manusia
  6. Cinta kepada materi/dunia

Nah, jadi jelas kita boleh mencintai orang tua, istri, anak, harta, dan lainnya, asal tidak melebihi, apalagi menjauhkan diri kita dari Allah SWT. Satu hal yang penting untuk diingat, cinta itu harus diikuti dengan tanggung jawab. Jangan bilang cinta bila belum siap bertanggung jawab. Maka, fenomena pacaran adalah bukti kongkret cinta (sesaat) yang tidak diikuti tanggung jawab. Kenapa? Karena sebagai seorang Muslim, tanggung jawab cinta kepada orang yang bukan muhrim adalah dengan menikah, bukan dengan pacaran.

Cinta itu perlu pembuktian, lho!

“Gak ada yang gratis di Jakarta, bung!” Kira-kira begitu slogan sarana umum di Jakarta. Apa hubungannya dengan cinta? Apa ada cinta gratis dan cinta komersil? Eit, sabar dong… kalau kata pujangga, cinta itu tanpa syarat. Jadi gak bener tuh kalau ada “cinta komersil” (perasaan ini judul film pada tahun ‘90-an, deh). Lalu bagaimana dengan cinta gratis? Apakah ada cinta gratis di dunia ini? Lantas siapa saja oknum di balik fenomena cinta gratis tersebut? Haduh, sepertinya saya mulai lebay. Hehe.

Saya tegaskan, tak ada cinta gratis! Kenapa? Karena gratis itu erat kaitannya dengan arti “tidak ada harganya” atau “tak berarti”. Cinta pun tidak gratis dikarenakan cinta itu butuh pembuktian. Bukan semata-mata bilang cinta, tapi enggan membuktikan. Maka dari itu, ini dinamakan dengan konsekuensi cinta (ceilah).

Lalu apa saja konsekuensi cinta? Menurut catatan saya, yang entah sumbernya dari mana (tapi logis kok. Bener deh, suer!), sekiranya ada tiga konsekuensi cinta (ceilah), yakni:

  1. Mencintai siapa yang dicintai oleh yang dicintai.
  2. Mencintai apa-apa yang dicintai oleh yang dicintai.
  3. Membenci apa-apa yang dibenci oleh yang kita cintai (Allah).

Nah loh, ngerti gak tuh? Mudah-mudahan gampang dipahami ya. Singkatnya begini, kalau kita cinta kepada Allah SWT, maka sudah sepatutnya kita juga mencintai siapa-siapa dan apa-apa yang Allah SWT cintai. Juga membenci apa-apa yang Allah SWT benci. Analogi sederhananya adalah pernikahan. Kita menikah dengan istri/suami kita, tentu secara tidak langsung kita juga harus mencintai keluarganya, bukan?

Waduh, jadi panjang juga nih tulisan. Yaudah deh, cukup sekian dan terima kasih. Semoga pembicaraan kita tentang cinta kali ini dapat memberi manfaat positif dan menjadikan kita hamba-Nya yang penuh cinta kepada-Nya, serta istiqamah dalam membuktikan cintanya.

Sampai jumpa di pembicaraan lainnya tentang cinta. ^_^

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). [QS. 2: 165]

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. [QS. 9: 24]

Allahua’lam…

Adaptasi dari tausyiah yang disampaikan Ustadz Abdul Hamid beberapa tahun lalu.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (28 votes, average: 8.96 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization