Topic
Home / Narasi Islam / Hidayah / Ustadzah Jempolan

Ustadzah Jempolan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – “Perkenalkan ini Bu Guru ngaji kalian yang baru. Panggil saja Bu Nining. Silakan Bu, kalau mau kenalan lebih lanjut dengan mereka. Saya tinggal dulu, ya?” tutur Bu Hafni (alm.), sang “ibu kedua” yang dahulu pernah kuceritakan.

Bu Nining nampak tersenyum dan mengangguk kepada ketua PR ‘Aisyiyah sekaligus pendiri TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) Nurul Huda Ds. Ujunggede itu.

“Nama lengkap saya Sukma Gemala Ciptaningsih. Tapi, kalian cukup memanggil saya Bu Nining saja” tukasnya.

Beliau pun bercerita singkat tentang di mana saat ini tinggal, latar belakang pendidikannya, dan beberapa hal lain. Tahukah kau, saudaraku? Kehadirannya kuanggap membawa arti tersendiri bagiku. Hingga kini masih terasa apa yang beliau pernah ajarkan kepadaku dan santri-santri lainnya.

Kukira beliau ialah tipe seorang muslimah yang taat dan rajin membaca. Tebal kaca matanya dipadu dengan jilbab dan kerudungnya yang lebar mengingatkanku pada ikon majalah Annida. Ya, sejak SD cerpen-cerpen remaja ala Annida menjadi salah satu bacaan favoritku. Di mataku, Bu Nining itu bak jelmaan ikon majalah remaja Islam itu. Ada banyak hal yang bisa kupetik dari kisahku menimba ilmu darinya. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah, karena aku ditakdirkan bersua dengannya.

Think Beyond

Itu mungkin satu frase yang cocok merepresentasikan ustadzah muda ini. Ditunjang beberapa pengalaman mengajar sebelumnya, beliau benar-benar membawa perubahan positif atmosfir belajar kami kala itu. Tanpa menganggap remah ustadzah sebelumnya yang mengajar kami, Bu Nining tampil dengan berbagai inovasi. Kami dibuat lebih kerasan berangkat mengaji di TPQ.

Khoirukum man ta’allamal qur’aana wa’allamahu. Artinya, sebaik-baik kalian ialah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Hadits Riwayat Bukhari.” Itulah salah satu hadits yang mula-mula kami hafal bersama. Hadits ini pula yang konon jadi favorit beliau. Subhanallah. Benar-benar berjiwa Qur’ani, ya?

Selain hafalan hadits-hadits pendek, Bahasa Arab, praktik shalat, wudhu, fiqih, gharib, aqidah, akhlaq, tajwid, tarikh, dan Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi kami. Tiap harinya kami tetap mengaji dengan membaca Al-Qur’an atau Qiro’ati (sejenis Iqro’) sesuai jilid atau level yang masih dijalani. Namun, usai itu kami diberi suplemen materi-materi tadi secara bergantian. Hafalan hadits menjadi salah satu momen favorit kami. Biasanya beliau menuliskan sebuah hadits di papan tulis dengan kapur. Lalu, kami membaca hadits tersebut bersama-sama beliau dengan suara keras beberapa kali. Usai itu, giliran kami diberi waktu untuk menghafalnya dalam waktu 5-10 menit. Maka, mulailah mulut kami berkomat-kamit menghafal. Ada pula yang kemudian pindah tempat duduk di pojok ruangan. Agar lebih konsentrasi, katanya. Setelah batas waktu selesai, kami dipanggil satu persatu untuk melafalkan hadits tersebut di depan beliau. Yang belum hafal, biasanya diminta untuk menghafal lagi di rumah. Alangkah senangnya jika kami berhasil menghafalnya. Hampir tiap pertemuan kami diminta bersama-sama melafalkan hadits-hadits terdahulu yang pernah dihafal sebelumnya. Inilah salah satu strategi beliau agar kami tidak barlen (Jawa: bubar klalen) alias langsung dilupakan setelah selesai TPQ. Saking semangatnya, hadits yang kami hafal sering jadi penghias bibir tatkala bermain dengan santri lain di waktu istirahat atau sebelum belajar di TPQ mulai. Senangnya mengenang masa itu.

Penyabar

Ustadzahku memang top. Tak hanya mengajari kami banyak hal, sikapnya dalam menghadapi kami pun jempolan. Beliau tak mudah marah meskipun tingkah laku kami terkadang menyulut emosi. Ketika sudah keterlaluan, aksi diam menjadi pilihannya. Dan terbukti itu cukup ampuh mengalahkan kenakalan kami. Kesabarannya juga bisa kulihat dari kegigihannya untuk berusaha hadir on time tiap pertemuan. Padahal, beliau tinggal di Kel. Purwoharjo yang masuk wilayah Kec. Comal. Artinya, beliau harus melewati jalan raya pantura yang menjadi akses utama jalur Jakarta-Semarang. Tahukah kau, bagaimana beliau berangkat mengajar kami? Sepeda mini warna biru lah yang menjadi pilihannya. Subhanallah. Betapa sabarnya beliau mengayuh sepedanya hampir tiap hari untuk berbagi ilmu dengan kami. Aku pun yakin beliau tak terlalu mempedulikan gaji. Apa pasal? Sebab kami pun mengaji di sana secara cuma-cuma. Anggaran PR ‘Aisyiyah selaku penyelenggara kukira juga tak banyak.

Do’aku Untukmu, Ustadzahku!

Sekarang beliau tinggal di Pekalongan bersama suaminya. Aku yakin suaminya bukan orang biasa, sebagaimana Bu Nining yang luar biasa menurutku. Kuingat selalu pesanmu untuk tak berhenti belajar Al-Qur’an sampai ajal menjemput. Tak kulupa pula wejanganmu bahwa mengaji itu bukan urusan anak-anak. Bertambahnya usia justru harus diimbangi dengan semakin dekatnya dengan kitabullah. Sungguh kupercaya bahwa nasihatmu adalah wujud kasih sayangmu kepada kami. Jika diri ini ditanya, “Siapa guru terbaikmu?” Tanpa ragu akan kusebut namamu sebagai salah satunya. Hingga kini, belum ada yang bisa kuberikan kepadamu sebagai bukti terima kasihku. Namun, Allah SWT Mahaadil. Dia akan membalas setiap apa yang hamba-Nya lakukan di dunia ini. Mungkin baru sedikit do’a ini yang bisa kuhadiahkan untukmu, ustdzahku: “Ya Allah, muliakanlah Bu Nining di dunia dan akhirat lantaran beliau lah salah satu perantara bagiku dalam mengenal-Mu. Bahagiakan diri dan keluarganya dan berkahi setiap langkah kebaikan yang beliau tempuh. Karuniai beliau dengan anak-anak yang shalih dan shalihah. Sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan Do’a. Aamiin”.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (19 votes, average: 9.16 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Lihat Juga

Sabar

Figure
Organization