Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Apakah Filsafat Dapat Dipadukan dan Disejajarkan Dengan Agama?

Apakah Filsafat Dapat Dipadukan dan Disejajarkan Dengan Agama?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (wikipedia)

dakwatuna.com – Sebelum terlalu jauh memberikan jawaban, penulis mengajak pecinta filsafat menelaah pernyataan berikut ini:

“Seseorang dapat menjalankan agama tanpa filsafat, tapi berfilsafat tanpa disertai agama cukup membahayakan.”

Realita pernyataan ini dapat dicermati di kehidupan para filosof Islam, seperti: Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.

Al-Kindi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq (252 H/866 M) filosof Islam pertama, di pelbagai artikel, ia dikenal sebagai filosof muslim yang tidak terfitnah oleh filsafat Yunani, sehingga dengan sendirinya ia terhitung sebagai filosof muslim sejati. Artinya, sebelum dan setelah mengenal filsafat hingga meninggal dunia, ia tidak pernah menanggalkan ajaran-ajaran agama.

Prof. Dr. Mahmud Muhammad Mazruah (Guru besar Aqidah dan Filsafat di Universitas Al-Azhar) berkata:

“Al-Kindi, filosof muslim sejati, senantiasa memegang teguh keimanannya dalam mengarungi samudera filsafat. Ia berhasil keluar dari wacana-wacana filsafat dalam keadaan muslim pula seperti kondisi semula, meskipun ia menggeluti dunia filsafat sebagai penulis, pensyarah, dan guru. Hematnya, filsafat tidak melemahkan imannya, justru imannya bertambah kuat, ketaatan dan kecintaannya terhadap agama semakin  mengakar. Semua itu terbukti di saat ia menentang keras filsafat Aristoteles (w 322 SM) yang melihat alam sebagai makhluk kekal yang tidak musnah. Di sini Al-Kindi menegaskan bahwa yang kekal itu hanya Allah. Alam dan isinya semuanya musnah.”[[1]]

Di lain sisi, Al-Farabi, Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Thurkhân (w 339 H/950 M), meskipun ia digelar sebagai guru kedua filsafat setelah Aristoteles, tetapi ia terfitnah oleh filsafat Yunani, sehingga dengan sendirinya ia nampak menjauhi ajaran-ajaran agama, khususnya di masalah kenabian, metafisika dan kosmologi. Di tema kenabian ia melihat bahwa kenabian itu bukan pilihan Allah, tetapi ia dapat digapai dengan usaha. Di lain sisi, ia pun melihat bahwa derajat filosof lebih tinggi dari nabi. Filosof menerima pengetahuan dari akal kesepuluh (العقل الفعال) dengan jelas dan terang karena ia memiliki akal yang punya kecerdasan aktif (العقل المنفعل). Sementara itu, pengetahuan yang diterima nabi dari akal kesepuluh samar-samar dan tidak jelas, ia seperti simbol dan rumus yang butuh penafsiran lebih lanjut. Yang demikian itu karena yang aktif di nabi pada saat itu adalah kekuatan khayalan. Olehnya itu, nabi diutus untuk orang awam, dan filosof untuk kelompok tertentu, seperti: pelajar, pemikir, dan ilmuwan.

Di bagian metafisika dan kosmologi, khususnya di filsafat emanasi (نظرية الفيض), ia berusaha menjelaskan bagaimana yang banyak bisa lahir dari Tuhan Yang Esa. Di sini dia melihat bahwa Tuhan sebagai akal, [[2]] berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul wujud kedua yang tidak bersifat materi, ia lebih dikenal dengan akal pertama. Wujud kedua atau akal pertama ini punya dua tugas, yaitu: memikirkan Tuhan dan diri-Nya. Di saat ia memikirkan Tuhan lahir akal kedua atau wujud ketiga, dan di saat memikirkan diri-Nya lahir falak. Demikianlah filsafat emanasi ini dijelaskan oleh Al-Farabi hingga ke akal kesepuluh atau wujud kesebelas (العقل الفعال) , Tuhan yang bertugas mengurus dunia.

Berikut ini struktur penciptaan kosmos dan benda-benda langit menurut filsafat ini:

Akal kedua/Wujud ketiga memikirkan              —- Tuhan = Akal ketiga

—- diri-Nya = Bintang-bintang

Akal ketiga/Wujud keempat memikirkan                     —- Tuhan = Akal keempat

—- diri-Nya = Saturnus

Akal keempat/Wujud kelima memikirkan                    —- Tuhan = Akal kelima

—- diri-Nya = Jupiter

Akal kelima/Wujud keenam memikirkan                      —- Tuhan = Akal keenam

—- diri-Nya = Mars

Akal keenam/Wujud ketujuh memikirkan                    —- Tuhan = Akal ketujuh

—- diri-Nya = Matahari

Akal ketujuh/Wujud kedelapan memikirkan   —- Tuhan = Akal kedelapan

—- diri-Nya = Venus

Akal kedelapan/Wujud kesembilan memikirkan         —- Tuhan = Akal kesembilan

—- diri-Nya = Merkerius

Akal kesembilan/Wujud kesepuluh memikirkan        —- Tuhan = Akal kesepuluh

—- diri-Nya = Bulan

Akal kesepuluh/Wujud kesebelas memikirkan            —- Tuhan dan dirinya, tetapi ia tidak melahirkan akal atau wujud. Di sini berhenti timbulnya akal-akal.

Bagi Al-Farabi, dari akal kesepuluh atau wujud kesebelas (العقل الفعال), muncullah bumi, roh-roh, dan materi dasar dari keempat unsur ini: api, udara, air, dan tanah. Akal ini juga yang mengurus dan mengetahui kejadian-kejadian di dunia. Tuhan tidak tahu-menahu apa yang terjadi di sana. Yang memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan adalah akal kesebelas (العقل الفعال).[[3]]

Tentunya, di filsafat kenabian, Al-Farabi menyalahi hakikat kenabian yang disuarakan oleh syariat-syariat Allah. Kenabian anugerah Allah yang paling tinggi terhadap manusia. Anugerah ini tidak bersifat umum, tetapi ia kehormatan terhadap manusia pilihan dan kaumnya sendiri. Olehnya itu, ia tidak dapat digapai dengan usaha. Karena jika ia dapat digapai dengan usaha, maka pintu kenabian tidak pernah tertutup karena setiap orang punya usaha, sehingga dengan sendirinya ia dapat diraih oleh siapa saja. Selain itu, karena kenabian pemberian langsung dari Allah, maka derajat ini pun lebih mulia dari derajat apa pun yang layak disandang manusia, khususnya derajat filosof dalam hal ini. Di samping itu, karena risalah kenabian untuk umat, maka ia pun datang dari Allah dengan wahyu yang jelas, tidak seperti apa yang telah digambarkan oleh Al-Farabi.

Hematnya, filsafat kenabian seperti ini menyalahi hakikat kenabian dan kerasulan yang disuarakan oleh ayat-ayat Allah di bawah ini:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ ﴿٧٥﴾ (Q.S. Al-Hajj [22]: 75)

قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ ﴿١٤٤﴾  (Q.S. Al-A’râf [7]: 144)

يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ ﴿٤٣﴾  (Q.S. Ăli Imrân [3]: 43)

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿٣٣﴾  (Q.S. Ăli Imrân [3]: 33)

Kemudian, di filsafat emanasi, Al-Farabi pun menyalahi hakikat-hakikat ketuhanan dan penciptaan. Ia memberi kongsi terhadap keesaan Allah dan memperlihatkan Allah Yang Maha Mampu menciptakan terhadap segala sesuatu, Maha kaya yang tidak butuh kepada siapa pun, menjadi butuh kepada sebab dan jasa perantara. Tentunya ini menyalahi hakikat ketuhanan yang digemakan oleh ayat-ayat Qur’an berikut ini:

(Q.S. Al-Anbiyâ’ [21]

لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ﴿١٠٣﴾ (Q.S. Al-An’âm [6]: 103)

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ ﴿١٦٣﴾ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 163)

لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ ﴿٨﴾ (Q.S. Ad-Dukhân [44]: 8)

Sanggahan seperti ini ditemukan sebelumnya di tulisan Ustadz Said Nursi, beliau berkata:

Di antara hasil dan kaidah kenabian yang ideal lagi tinggi dalam bidang ketauhidan Islam adalah (satu tidak lahir melainkan dari satu juga). Artinya: setiap sesuatu punya unit [[4]] yang terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait, baik yang lahiriah ataupun batiniah. Setiap dari mereka punya andil dalam kesempurnaan dan keutuhan unit itu sendiri. Tentunya, keutuhan unit yang sempurna, teratur, lagi indah memesona tidak lahir kecuali dari zat yang satu juga.

Sementara itu, aqidah filsafat kuno mengatakan bahwa (satu tidak melahirkan kecuali satu saja). Artinya, tidak ada yang lahir dari zat yang satu melainkan satu benda saja, kemudian benda-benda lain, lahir dengan beberapa perantara. Kaidah filsafat seperti ini memberikan kongsi (persekutuan) kepada sebab-sebab terhadap keesaan Allah Yang Maha Memelihara dan memperlihatkan Allah Yang Maha Menguasai segala sesuatu, Maha Kaya secara mutlak dan tidak memerlukan kepada yang lain, butuh kepada sebab-sebab perantara yang lemah. Bahkan mereka telah sesat sejauh-jauhnya dengan menamakan Allah Yang Maha Pencipta dengan nama akal (العقل أو المبدأ الأول)! Mereka telah membagi seluruh kekuasaan-Nya di antara sebab-sebab perantara tersebut, sehingga dengan sendirinya mereka membuka jalan yang luas ke arah kemusyrikan yang nyata.

Di manakah derajat tauhid yang diemban oleh para nabi jika ingin dibandingkan dengan aqidah filsafat yang sakit, tercemar dengan syirik, dan terkotori oleh kesesatan?

Jika kelompok filosof illuminis (الاشراقيون) yang terhitung sebagai ahli filsafat yang punya nilai-nilai filsafat dan hikmah yang paling tinggi telah mengucapkan perkataan rendah ini, maka bagaimanakah dengan ahli filsafat dan hikmah lain yang punya derajat lebih rendah lagi dari mereka, seperti: materialis dan naturalis?”[[5]]

Di sini, ustadz Nursi memperlihatkan toleransi tinggi terhadap mereka. Ia hanya mengklaim mereka sebagai kelompok yang tersesat jauh dari ajaran-ajaran agama, tidak seperti ulama lain yang ditemukan mengafirkan mereka. Di sini, saya lebih memilih toleransi Ustadz Said Nursi dalam menjustifikasi mereka. Kesesatan mereka tidak lain kecuali karena terfitnah oleh filsafat Yunani, seperti Aristoteles dan Plotinos (w 270 SM). Olehnya itu, Al-Kindi bagi para filosof muslim pemikir sejati yang lebih layak mendapatkan pujian dan perhatian besar dari Al-Farabi dan Ibn Sina. Tetapi, kenapa dunia filsafat barat terlalu melebihkan dan memuliakan Al-Farabi dan Ibn Sina? [[6]] Bukankah sepatutnya mereka memberikan perhatian lebih atau perhatian serupa terhadap Al-Kindi yang telah menyikapi pendapat Aristoteles yang menyalahi syariat Islam dengan sikap yang tegas? Bukankah filsafat yang mempertahankan nilai-nilai kebenaran agama lebih patut dihargai dari mereka yang terfitnah oleh filsafat yang sesat? Kadang kala nilai dilihat dari hasil kerja, bukan pada objek pekerjaan. Baik Al-Kindi ataupun Al-Farabi telah bersentuhan dengan filsafat Yunani, tetapi sentuhan pemikiran Al-Kindi jauh lebih mulia dan tinggi.

Dari wacana di atas, para pecinta filsafat bertanya: “Jika filsafat mereka seperti ini, apakah filsafat secara umum dapat dipertemukan dengan agama dalam satu titik? Jika bisa, di titik manakah keduanya bertemu dan di titik mana pula yang membedakan mereka?”

Di sini saya mengajak Anda sekalian menemukan jawaban pertanyaan tersebut dengan mencoba menelaah pernyataan Prof. Dr. Mahmud Muhammad Mazruah sebagaimana berikut:

“Memadukan dua benda menghendaki empat hal:

Pertama: kedua benda itu berada pada derajat yang sama, atau keduanya punya derajat yang tidak jauh beda. Tentunya, Anda tidak dapat menyatukan antara langit dan bumi, api dan air, malaikat dan setan.

Kedua: kedua benda itu punya potensi untuk dipadukan, sehingga setiap dari mereka punya tabiat yang dapat menerima tabiat yang lain.

Tentunya, Anda tidak dapat menyederajatkan hak dan batil, iman dan kufur, atau dua benda yang punya tabiat yang berlainan.

Ketiga: setiap dari mereka punya kesiapan untuk ditambah dan dikurangi. Tentunya, Anda tidak dapat memadukan dua benda yang tidak dapat mengalami penambahan dan pengurangan, sehingga keduanya dapat bertemu, serupa, dan serasi.

Keempat: unsur-unsur kedua benda itu dapat mengalami perubahan, penggantian, penambahan, dan pengurangan.

Inilah aturan yang wajib dipenuhi dalam memadukan dua benda yang berbeda. Tanpa kaidah baku ini tidak akan terwujud keterpaduan yang serasi, justru yang terjadi adalah kegagalan dan kerusakan.

Jika Anda telah mengetahui ini, tentunya Anda juga pasti mengetahui bahwa tidak ada satu pun syarat yang dapat dipenuhi oleh usaha sebagian kelompok yang ingin memadukan agama dan filsafat.

Agama dan filsafat tidak berada pada tingkatan yang sama, tidak ada di antara mereka sedikit pun kedekatan. Agama wahyu ilahi yang terjaga, sementara filsafat perasan pikiran manusia yang bisa saja salah dalam melihat dan menjustifikasi sesuatu. Di samping itu, apa yang dianggap benar oleh akal hari ini, boleh jadi salah di kemudian hari karena pergeseran nilai yang mengikuti perubahan zaman.

Selain itu, tabiat agama enggan menerima perubahan dan penggantian apa pun. Ia menolak untuk ditambah dan dikurangi. Yang demikian itu karena agama adalah wahyu Allah yang diturunkan ke Nabi Muhammad Saw, sementara wahyu telah berhenti, agama telah sempurna, dan pintu kenabian pun ditutup.”[[7]}

Hematnya, agama dan filsafat tidak dapat dipadukan dan disejajarkan dalam semua tingkatan masalah, tetapi filsafat dapat memberikan kontribusi terhadap agama dalam menguatkan dalil-dalil ketauhidan dan memperkaya khazanah keilmuan Islam, khususnya di filsafat itu sendiri terdapat filsafat akhlaq. Di samping itu, Islam tidak memerangi satu bidang ilmu pun yang senantiasa mencari kebenaran, seperti filsafat. Bahkan metodologi berpikir filosof yang diawali dengan melihat dan menelaah hal-hal terkecil untuk dijadikan selanjutnya sebagai dasar berpikir dalam mencapai hukum menyeluruh, semuanya itu telah digarisbawahi oleh Al-Qur’an. Sering kali kita menjumpai di pelbagai tulisan bahwa filosof melihat dan memikirkan alam untuk alam itu juga, memikirkan penciptaan diri mereka untuk diri mereka juga. Yang demikian itu untuk mengenal lebih dekat hakikat manifestasi keagungan zat Maha Pencipta yang terlukis indah, apik, dan sempurna di jagad raya dan diri manusia.

Cara berpikir seperti ini disuarakan oleh ayat-ayat berikut ini:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴿٤٦﴾ (Q.S. Al-Hajj [22]: 46)

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَن لَّسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ ﴿٢٠﴾ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ ﴿٢١﴾ (Q.S. Ad-Dzâriyât [51]: 20-21)

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنَاهُ رَجُلًا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِم مَّا يَلْبِسُونَ ﴿٩﴾ (Q.S. Al-An’âm [6]: 99)

Kemudian, yang patut diketahui bahwa mayoritas filosof Islam yang ingin memadukan agama dan filsafat didorong oleh sikap sebagian kelompok, seperti: ahli hadits, fiqih, dan sebagian penguasa yang melihat filsafat sebagai produk asing yang mesti dijauhi, sehingga dengan sendirinya mereka pun menjaga jarak dan memperlihatkan tingkat kewaspadaan yang berlebihan terhadap filsafat. Olehnya itu, di antara filosof Islam ada yang sengaja menuangkan filsafatnya dalam bentuk dongeng supaya terhindar dari fitnah ini, seperti isyarat-isyarat filsafat Ibn Thufail, Abu Bakr Muhammad bin Abdul Mulk (w 581 H/1185 M) di dalam dongeng filsafatnya “Risalah Huyaiy bin Yaqazhan.”[[8]}

Di penghujung tulisan singkat ini, saya mengajak pecinta filsafat Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:

“Islam tidak memusuhi filsafat. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang dicapai oleh setiap disiplin ilmu. Filsafat yang benar filsafat yang tidak menyalahi ajaran-ajaran agama, filsafat yang kritis terhadap masalah-masalah yang jauh dari hakikat-hakikat syariat. Meskipun demikian, agama dan filsafat tidak dapat dipadukan atau disejajarkan sesuai dengan kaidah baku di atas. Akan tetapi, filsafat dapat menguatkan dalil-dalil ketauhidan, kenabian, dan memperkaya disiplin ilmu-ilmu Islam, khususnya filsafat akhlaq. Olehnya itu, jangan pernah jauh dan lepas dari rel syariat jika Anda ingin berfilsafat yang benar dan tepat! Filsafat yang mengabaikan agama menuntun manusia ke arah sesat yang menyengsarakan.”

 


Catatan Kaki:

[1] Lihat: Mahmud Muhammad Mazruah, al-Falsafah al-Islamiyyah (Ard wa Naqd), (tahun dan tempat cetakan buku ini tidak disebutkan), hlm. 101-102

[2] Tuhan bagi mereka sering disebut sebagai akal (العقل) karena ia lebih mulia dari materi-materi lain. Olehnya itu, karena Tuhan sebagai akal, ia pun hanya memahami zat-Nya. Jadi, pada waktu yang sama ia menjadi subjek yang memahami diri-Nya sendiri (العاقل), dan menjadi objek pemahaman terhadap diri-Nya (المعقول). Hematnya, Tuhan sebagai akal menjadi subjek dan objek terhadap diri-Nya sendiri di waktu yang sama.

[3] Lihat: Abu Nashr Al-Farabi, Arâ’ Ahli al-Madinah al-Fâdhilah, Matbaah as-Saâdah, Cairo, cet. 1, 1334 H/1906 M), hlm. 24-25, dan lihat juga: In’âm al-Jundi, Dirâsât fil al-Falsafah al-Yunaniyah al-Arabiyah, Muassasah as-Syarq al-Awsath, Beirut, hlm. 83, dan Mahmud, Muhammad Mazruah, Op. Cit, hlm. 167, 219

[4] Seperti manusia, ia unit yang punya kesatuan unsur-unsur yang saling terkait. Di sana ada panca indera, saraf, sel-sel, dan alat pencernaan yang punya keterikatan tersendiri dalam sebuah mekanisme tubuh. Hematnya, baik lahiriah ataupun batiniah unit ini, semuanya punya keterkaitan dan andil terhadap kesempurnaan manusia itu sendiri. Subhanallah Yang Maha Sempurna ciptaan-Nya.

[5] Said Nursi, Badiuzzaman, Ana Dzâtul Insân wa Harakât ad-Dzarrât baena al-Falsafah wa ad-Din, Diarabkan oleh Ihsan Qasim as-Shalihi, Sözler, Cairo, cet. 2, 2009 M, hlm. 30-31.

[6] Di sini filsafat kenabian dan filsafat emanasi (نظرية الفيض) Ibn Sina (w 427 H/1037 M) tidak jauh beda dengan pemikiran Al-Farabi. Bedanya, di filsafat emanasi Ibn Sina melihat bahwa setiap akal atau wujud memikirkan 3 hal, yaitu: memikirkan Allah (المبدأ الأول), memikirkan zatnya sebagai zat yang wujudnya wajib (واجب الوجود لغيره) dan dikehendaki oleh Allah (المبدأ الأول), dan memikirkan zatnya sebagai zat yang mungkin ada pada hakikatnya (ممكن الوجود في ذاته). Adapun Allah (المبدأ الأول) Ia hanya memikirkan zat-Nya saja yang melahirkan akal pertama atau wujud kedua. [Lihat: Ibn Sina, Abu Ali al-Husain bin Abdillah, an-Najah fil Mantiq wa al-Ilâhiyât, hlm. 158]

[7] Mahmud Muhammad Mazruah, Op. Cit, hlm. 235-236

[8] Lihat: Abdul Mu’ti al-Bayoumi, al-Falsafah al-Islamiyah min al-Masyriq Ila al-Magrib, Dar at-Tibâah al-Muhammadiyyah, Cairo, cet. 1403 H/1982 M, vol. 2, hlm. 211

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.71 out of 5)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Din Syamsuddin: Agama Harus di Praktekkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Figure
Organization