Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kontributor Dakwatuna “8 Tahun di Tanah Arab”

Kontributor Dakwatuna “8 Tahun di Tanah Arab”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

Saya dan masa kecil

dakwatuna.com – Hampir separuh umur dan raga ini dihabiskan jauh dari orang-orang terdekat dan tanah kelahiran saya di kota kecil Depok-Jawa Barat, walau pikiran ada di mana-mana tetapi hati selalu berada di tanah air dan hadir bersama mereka, segalanya berawal saat kanak-kanak pertama kali saya merasakan nuansa pesantren dengan sistem salaf ala Indonesia yang kental dengan suasana tradisional via salah satu kyainya yang kharismatik di daerah Bogor barat, saya menyebutnya Aa Sirot.

Di sana pertama kalinya diajarkan mengaji, shalawatan, wiridan dan doa-doa, mulai menghafal dan shalawatan sebelum subuh, paginya waktu bermain dan setelah Maghrib membaca wirid dan shalawatan khas pondok salaf hingga larut malam, setelah itu shalat Isya jam 10 malam dan ziarah kubur setiap hari Jum’at, sedikit banyak nuansa sufi dan tarekat mempengaruhi hidup saya di saat kanak-kanak walau belajar dalam hitungan bulan.

Teman-teman saya di pondok,  mereka menangis bahkan menjerit di saat orangtua menitipkan anaknya kepada pesantren, bahkan  bisa menangis berhari-hari, namun berbeda dengan saya, di hari pertama  tidak menangis bahkan senang dengan nuansa baru yang begitu kental dengan suasana religi di sebuah kampung yang mengalir di sampingnya sungai cidurian (kebanggaan masyarakat Bogor)

Saya & waktu remaja

Setelah lulus SD di daerah Depok, dalam bayangan saya hanya ada 2 opsi: masuk pesantren atau masuk SMP dan kala itu saya lebih memilih opsi ke-2 yaitu masuk SLTPN 4 yang sekarang menjadi “SMPN 4” di daerah Sukmajaya-Depok 2 tengah, tak kurang dari 2 tahun ternyata saya merasakan kebosanan dan ruh saya pun seperti tidak terarah, saya lebih memilih untuk memperbaiki spiritual.

Teringat akan kenangan di masa kanak-kanak, saya memutuskan berhenti dari SMP dan memilih masuk pesantren, spontan orangtua pun sedikit kaget dan heran. Hingga akhirnya Bibi saya menyarankan untuk mesantren bersama anak-anaknya di daerah Bogor.

Tapi kenyataannya setelah  terdaftar, saya tidak merasakan nuansa dan ruh spiritual seperti di masa kanak-kanak, tempat baru yang saya tinggali lebih kepada pesantren modern ala Gontor, dialah Darunnajah atau saya menyebutnya cucu Gontor, lebih moderat dan tidak terikat oleh unsur ormas maupun partai, di sana kita di ajarkan organisasi, musik, pramuka, bela diri, bahasa asing (Arab dan Inggris) dan kegiatan eksak lainnya.

Sangat berbeda dengan masa kanak dulu, sarungan serta peci yang khas menempel di kepala, ziarah kubur, shalawatan wiridan dan lainnya. Saya melihat perbedaan yang begitu jelas antara keduanya, di satu sisi dengan pesantren modern saya lebih melihat dunia dan di sisi lain pesantren salaf lebih kepada akhlaq dan kezuhudan.

Saya dan Mesir

Setelah 5 tahun mondok di Darunnajah akhirnya takdir membawa saya ke Mesir, negri yang penuh warna dan corak keagamaan, pengaruh kelompok sufi, Salafi, Ikhwan, kemoderatan dan toleransi keagamaan sangat kuat di sana.

Saya dan Orang-orang shalih di Mesir

Bagaimanapun juga Mesir (Khususnya nuansa kampus dengan masjid Azhar dan pesona sungai nil) rasanya sulit untuk dilupakan bagi setiap insan yang pernah mengunjunginya, apalagi untuk para pelajar, sewaktu di asrama, sebutlah Qosim salah satu sahabat saya, pria separuh baya yang agak tinggi, tampan, putih dari Tajikistan, dia adalah seorang penghafal Quran.

Setiap orang Indonesia yang tinggal di Asrama Azhar insya Allah mengenalnya, bagaimana tidak, hampir setiap hari dia memegang Qur’an, pagi siang malam selalu bersama Qur’an, masjid adalah rumahnya apalagi jika bulan Ramadhan tiba entah berapa puluh lembar dibacanya setiap hari.

Terakhir sebelum pulang ke tanah air dia sempat menawarkan adik perempuannya kepada saya yang katanya hafal beberapa juz Quran dan berprofesi sebagai pengajar, usianya sekitar 20 tahun kala itu. Saya pun hanya bisa tersenyum sambil merangkulnya.

Lain Qosim lain rekan saya dari Afrika, saya lupa namanya, sebutlah fulan, hampir setiap malam hingga subuh dia membaca Qur’an dengan duduk tenang di Masjid asrama, tak heran dia pun sering menjadi muadzin di waktu subuh, sangat banyak orang-orang shalih di Mesir dari berbagai negara, di asrama saja terkumpul pelajar lebih dari 100 negara yang belajar di Universitas Al Azhar Mesir.

Sungguh saya sangat senang dengan mereka, walaupun saya masih jauh dari Shalih, tidak mungkin saya lupa akan mereka, Semoga Allah mempertemukan saya dengan mereka suatu saat. Ya Rabbana…

Saya, pengalaman spiritual & politik:

Saya dan Jamaah Tabligh

’Karkun’’ itulah sebutan bagi setiap JT “jamaah tabligh” di tanah air, saat masih mesantren sempat beberapa kali saya (mengisi liburan sekolah) ikut keluar untuk berdakwah ala JT “khuruj” di beberapa tempat di antaranya Jakarta Barat, Timur dan beberapa daerah di kawasan Jabodetabek, saya kenal betul dengan gaya mereka apalagi masa-masa pelepasan jamaah di pusatnya yaitu Masjid Kebon Jeruk Jakarta Barat, ada yang di lepas untuk khuruj antar kota, pulau bahkan negara.

Saya salut dengan semangat keagamaan mereka, luar biasa, hampir dari semua unsur bisa kita temukan, mantan preman, pejabat, militer, polisi, pelajar, dosen, pengusaha, artis dan lain-lain terkumpul jadi JT, walaupun sangat disayangkan banyak pemahaman yang sebenarnya harus diluruskan apalagi landasan pijakan mereka kitab fadhoil a’mal (sangat banyak hadits dhaif/lemah di dalamnya).

Saya dan HTI

Tidak banyak saya tau tentangnya, hanya saja mereka kelompok yang paling menggembor-gemborkan khilafah di tanah air “Niat yang sangat mulia”, saya mengenalnya dari rekan-rekan  yang berafiliasi dengan HTI, dan sering kali terjadi perbedaan pendapat, ibarat naik kereta mereka melaju ke Bogor dan saya ke Jakarta.

Permasalahannya bukan saya tidak setuju dengan khilafah dan menolak demokrasi, tapi konteks yang mereka bawa terlalu berat untuk Indonesia saat ini, banyak hal kecil yang perlu kita bina seperti pendidikan generasi muda misalnya, karena ada kaidah meninggalkan kerusakan lebih diutamakan ketimbang mendatangkan maslahat.

Artinya untuk saat ini bangsa Indonesia belum membutuhkan khilafah (maslahat), khawatir di saat banyak orang awam dikenalkan dengan system khilafah dan menolak demokrasi, justru bukan maslahat yang didapat. Alih-alih bicara perubahan system Negara, berapa banyak orang Indonesia yang pandai membaca Qur’an….adakah 10 %? (Bagaimana mau bikin khilafah “Tanda tanya besar”)

Ada kisah dari Utsman bin Affan (baik untuk kita renungkan) yang tidak meringkas shalat saat musafir di suatu tempat, padahal itu sangat di anjurkan dalam Islam, bahkan Umar dan abu bakar pun meringkasnya di saat menjadi musafir???….jawaban Utsman karena takut ada kerusakan dan salah persepsi dalam masalah shalat.

Karena saat itu banyak sekali orang awan dan para muallaf yang dikhawatirkan akan menganggap bahwa shalat zuhur itu dua rakaat, ini menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya daripada mengerjakan hal yang mustahab (lebih disukai dan direkomendasikan untuk dikerjakan).

Juga Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan untuk membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan bangunan Ka’bah) alasannya karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu.

Di tengah banyaknya kebutaan di masyarakat dalam masalah pendidikan, sosial, budaya, para aktivis HTI tentunya bisa lebih melihat kepada fiqih prioritas yaitu mencerdaskan masyarakat.

Adapun jika keadaan negri mulai membaik  (stabil di bidang pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain),  ada harapan HTI untuk menawarkan cita-cita besar mereka kepada masyarakat dengan pendekatan persuasif tanpa menjadi kubu oposisi dalam menentang sang penguasa. Semoga

Saya dan PKS

Sewaktu di Mesir, rekan-rekan saya mengira kalau saya adalah kader PKS, apalagi gaya bicara dan penampilan saya memang lebih mirip, jarang saya memakai levis (celana jeans), hanya kemeja dan celana bahan persis kebanyakan para kader PKS di Mesir, di tambah lagi saya dari Kota Depok, karena selama ini citra dan image Depok sudah terwarnai oleh PKS.

Saya tidak bisa memungkiri karena akhir-akhir ini banyak perubahan pada Depok, teman SD, SMP mereka aktif menjadi kader dan simpatisan PKS, tidak heran kalau ikhwan dan akhwat menghiasi kota kecil ini, tetangga pun mengira kalau saya adalah kader PKS (saya pun hanya tersenyum), karena mereka tahu banyak alumni timur tengah masuk ke dalamnya, bahkan pembesar dan pengusung pola PKS di tanah air salah satunya lulusan Mesir, ditambah warga Depok yang belajar di Mesir rata-rata adalah kader dan simpatisan PKS.

Sebenarnya di saat hendak pulang ke tahan air, setelah sekitar 6 tahun di Mesir (4 tahun masa kuliah dan  merasa “Pakaian Azhar” terlalu besar, saya memutuskan untuk menunda kepulangan ke tanah air dan hendak menambah sedikit wawasan non formal pasca kelulusan sekitar 2 tahun) seorang kerabat saya yang juga dari Depok yang saya kenal baik dan tak lain dia juga sebagai presiden PKS Mesir “ kala itu sebutan untuk ketua” menawarkan saya dengan harapan agar bisa bergabung sebagai kader di Depok dengan memberikan surat pengkaderan.

Sepulangnya di tanah air, membuat  saya disibukkan akan urusan birokrasi untuk ke Maroko dan liburan saya pun tidak terlalu lama hingga akhirnya surat yang ada pada saya belum sempat di berikan ke pengurus di Depok karena saya harus pergi meninggalkan tanah air untuk kedua kalinya.

Terlalu fokus pada ambisi menjadikan saya sempat terjatuh sakit dan terbaring lemah tak berdaya selama lebih dari 2 minggu sebelum beberapa minggu hari H keberangkatan saya ke Maroko, urusan birokrasi di Kantor walikota Depok, kantor wilayah urusan agama Jawa barat di Bandung, kedutaan kerajaan Maroko di Jakarta dan juga Kemenag RI pusat di Jakarta membuat saya sedikit lalai dari menjaga kesehatan.

Saya pun harus di rawat jalan di rumah sakit lokal Bhakti Yuda Depok, tadinya saya mengira ini adalah usus buntu karena terasa sakit di bagian bawah perut sebelah kanan, tapi ternyata dokter mengatakan ini adalah gejala “infeksi ginjal” walau belum terlalu serius, keluarga sangat kaget.

Hikmahnya saya bisa merasakan kehangatan berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara yang menemani serta menjenguk saya selama 2 minggu lebih, (bersama catatan singkat ini teriring salam dan doa untuk mereka). Semoga

Pak Rusdi biasa saya memanggilnya walau tidak lama mengenalnya, beliau adalah salah satu aktivis PKS Depok, biasa saya bersilaturahim kepadanya untuk sekedar mengunjungi toko buku miliknya di kawasan Margonda tidak jauh dari toko buku islami “Madinah Agency”, di sana banyak buku-buku Islami dan atribut partai tentunya, beliau banyak cerita tentang pengalamannya perihal kehidupannya waktu di Jerman selama belasan tahun “katanya”… di akhir saya hendak berpamitan mau ke Maroko untuk program S2 dan mohon doa, sambil berkata kepada saya sebaiknya kamu pertimbangkan untuk mencari kendaraan yang bisa mendukung kamu !

Menurut pemerhati politik dan penulis buku “Negara Paripurna” Yudi Latif: “PKS memiliki modal yaitu moral di PKS kebangkrutan dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada partai politik dan publik pun menjadikannya sebagai alternatif saat ini”.

Namun sangat di sayangkan, begitulah realita, instrumen dan syahwat politik di tanah air hampir semua partai politik termasuk PKS belum bisa objektif secara utuh, masih ada pilah dan pilih kepentingan, karena jika memang PKS partai dakwah dan untuk umat, mereka harus bisa lebih mengedapankan prioritas tanpa mendahulukan golongannya dalam hal apapun dan inilah tantangan yang harus dibuktikan oleh PKS dan partai dakwah umumnya. Semoga

Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia sekaligus pengarang buku “Dilema PKS” Burhanuddin Muhtadi juga menambahkan akan kekurang-eksisan PKS yang mencitrakan bersih dan peduli di mata masyarakat, karena menurutnya keafirmasian dan ruh PKS  sudah berubah terbukti  dengan menurunnya kepercayaan publik akhir-akhir ini. (Saatnya PKS membuktikan kembali).

Saya dan Golkar

Bukan Golkar namanya kalau mesin politiknya tidak menggelitik, partai penguasa di era rezim masa lalu ini tentu mengisahkan banyak cerita, saya tidak menafikan akan catatan-catatan kurang baik terhadap negri ini, banyak orang melihat keburukan akan Golkar dengan alasan moral dan lain-lain, sekali lagi saya tidak menafikan.

Namun saya coba mengkomparatifkan dan lebih melihat dengan kacamata lain, karena jujur saja… keluarga, paman, sepupu, aki, mereka semua di besarkan oleh Golkar, bahasa lainnya mereka orang setia terhadap Golkar secara kultural bukan struktural.

Ayah saya adalah tipe pengabdi negara, puluhan tahun hidupnya di abdikan sebagai birokrat murni yang di tugaskan di berbagai daerah, saya tidak pernah merasa kalau menjadi seorang anak birokrat sebagaimana yang di bicarakan oleh rekan-rekan saya akan ke wah-wahannya. Karena selama belasan tahun yang saya lihat hanya kesederhanaan pada orang tua sekalipun untuk hidup mewah sangat mudah baginya.

Seorang sahabat dari Aceh yang juga belajar di Mesir dan sudah berdomisili di Depok sempat bersilaturahim ke rumah saya bersama keluarganya, ayah dari sahabat saya begitu takjub dan terheran sambil menggelengkan kepalanya karena melihat rumah yang begitu sederhana dari seorang birokrat lulusan APDN (sekarang STPDN-sekolah tinggi pemerintahan dalam negri) eselon III b dengan pangkat pembina muda golongan IV b, menurutnya kejujuran seorang birokrat bisa dilihat dari pola hidup dan pola pikirnya “begitu cerita ayahnya  saat saya bersilaturahim balik ke rumah sahabat saya di kawasan Cimanggis.

Tidak ada istilah perayaan ulang tahun dalam keluarga, hanya sebatas ucapan dan doa, pernah satu kali saat usia 4 atau 5 tahun, itupun dengan makan ala kadarnya, hingga akhirnya pensiun beliau tetap sederhana dan kembali ke tanah kelahirannya sebagai seorang  petani.

Nampaknya beliau lebih menikmati usia senjanya menjadi seorang petani dan membangun desa bersama saudaranya yang lain, menurutnya kekuatan suatu Negara itu tergantung dari kemajuan suatu desa, berikut  link profil desa kami dan juga sepupu saya bernama Irman Meilandi (Penerima Seacology Prize 2011 di California -Amerika Serikat)yang juga petani di kampung halaman desa Mandalamekar kecamatan Jatiwaras kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat :

Begitu juga aki (kakek), seorang birokrat murni, hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada negara, Golkar pun telah membesarkannya, walaupun beliau tidaklah idealis kepada Golkar, selama mengabdi di pemerintahan banyak contoh yang bisa kami teladani di antaranya kejujuran.

Dengan profesional dan kejujuran takdir menjadikannya sebagai seorang Sekretaris Daerah di Provinsi Jabar, jabatan panas dan bergengsi di kalangan birokrat. Di saat ramai kasus korupsi di tanah air, KPK dengan gencarnya menyidik. Sempat heboh berita di Jawa Barat yang menyeret nama mantan orang nomor satu di Jabar Bapak Danny Setiawan yang merupakan kerabat aki hingga akhirnya di tetapkan jadi tersangka dan di vonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara dan sekarang bebas bersyarat setelah mengalami masa tahanan sekitar 2 tahun saja.

Akipun ikut dihadirkan di pengadilan setelah sebelumnya diperiksa oleh KPK sebagai mantan Kepala Badan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat, di tengah sidang kasus Pak Danny, ketika membahas segala aliran dana, pihak pengadilan pun heran, karena bagaimana mungkin di tengah uang panas yang banyak menyeret para elit aki tidak sedikit pun terlibat dalam kasus suap atau korupsi lainnya. Mereka mengatakan kalau orang ini adalah jujur bak malaikat yang seharusnya aki berkesempatan besar ikut terseret kasus korupsi di Jawa Barat kala itu.

Pesan terakhir aki kepada saya sebelum ke Maroko salah satunya adalah perihal kejujuran dan kesungguhan, beliau menambahkan kalau orang itu mengerti akan dunia birokrasi dan kenegaraan, seribu kali mereka akan berpikir untuk ramai-ramai ikut pilkada, gaji seorang kepala daerah tingkat kabupaten ataupun provinsi, sebenarnya tidak lah cukup untuk mengganti dana kampanye mereka selama menjabat jika terpilih.

Saya dan Maroko

Hampir 2 tahun di Maroko, 11 juli 2010 tepat di hari final piala dunia di Afrika selatan antara Spanyol dan Belanda, saya pergi meninggalkan tanah air menuju Maroko di benua Afrika bagian utara, perjalanan yang tak terlupakan dan menjadi bagian catatan sejarah dalam hidup ini. Semoga…..

Tak terasa waktu sidang untuk Program Master ada di depan mata, berharap saya bisa menyelesaikannya segera mungkin, musim panas ini (bulan Juni) adalah bagian terakhir dari perjalanan saya di tanah Maghrib sebutan untuk negri seribu benteng Maroko. Insya Allah….

‘’SEKULER’’ Itulah kesan di hari pertama  setibanya saya di negri pewaris sejarah Andalusia (bersama Aljazair, Tunisia, Libya dan Mauritania),  seorang rekan saya bernama Asrof seorang Da’i dari Mesir dan mengajar di Arab Saudi yang juga mengambil program Master  merasakan kesan yang sama dengan saya, Maroko sangat berbeda dengan negara-negara Arab umumnya.

Tunisia, Aljazair dan Maroko memang 3 serangkai  yang mempunyai kemiripan dalam hal pola pikir dan pola hidup, maklum saja pengaruh Perancis, Spanyol, Portugal, Italia dan negara-negara barat lainya sudah mendominasi di Tanah Arab bagian barat ini, sama halnya dengan Turki masa lalu yang sangat terkenal dengan Sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Pasca Revolusi bangsa Arab yang dimulai dari Tunisia menjadi rangkaian sejarah yang menghiasi kehidupan bangsa-bangsa Arab lainnya. Sama halnya seperti di Turki, kekuatan Islam mulai bangkit dan mendominasi mengalahkan pengaruh dari kekuatan Militer, Liberal dan Sekuler di tanah Arab. Semoga…

Kendati berbau sekuler, di negri ini bertebaran para penghafal Qur’an, tidak sulit untuk menemukannya, hampir di setiap masjid di Maroko ada para penghafal Qur’an, minimalnya seorang imam masjid saja biasanya hafal Qur’an secara utuh dan memang di timur tengah dan negara-negara Arab Al Qur’an menjadi bagian yang tak terpisahkan sebagai rahmat Allah bagi hamba pilihannya dan para penuntut ilmu.

Menjadi tradisi dimana seorang da’i yang tampil di layar Televisi sudah tentu hafal Qur’an, menjadi aib dan dipertanyakan akan keilmuannya jika seorang ulama atau da’i yang menghiasi layar kaca tidak menghafalnya dan menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan syari’ah lainnya.

“Kesan positif” itulah pandangan Masyarakat Maroko kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di asia tenggara, khususnya warga Maroko yang pernah menunaikan ibadah haji mereka sangat terkesan dengan jamaah haji Indonesia karena tertib dan selalu bersama-sama, paling tidak hal itulah yang sering menjadi bahan pembicaraan masyarakat Maroko terhadap warga Indonesia yang berada di negri seribu benteng ini.

Kesan yang sama juga dirasakan oleh ketua Program studi “Kaidah fiqih dan ushul pada jurusan Islamic Studies” pasca sarjana di Universitas cidi Mohammed ben Abdellah Maroko yaitu Prof. Dr. Abdullahh Helaly saat menyampaikan orasi setelah kepulangannya dari Thailand di depan Mahasiswa program master, beliau mengatakan “Bangsa Asia mempunyai postur tubuh yang lebih kecil ketimbang bangsa Arab, akan tetapi akal dan pikiran mereka lebih besar dari bangsa Arab”.

Saya dan Dakwatuna

Berikut beberapa buah pikiran saya yang di curahkan via media Islam online Dakwatuna:

1. Pesan Ilahi ”Pentingnya menjaga keutuhan NKRI”

2. Konsep menanti jodoh (Insya Allah)

3. Teman setia

4. Malu

5. Keagungan sabar & kisah Ulil Albab

6. Rahasia di balik segumpal darah

7. Ketampanan hatinya meluluhkan hati gadis cantik nan kaya raya

Berikut lampiran link untuk membaca catatan-catatan ringan dakwatuna di atas:

https://www.dakwatuna.com/author/guntaranugrahaap/

Saya dan sebuah harapan

Saya yakin banyak putra dan putri ibu pertiwi yang sangat cinta akan negri, mereka berjuang dan berperan di bidangnya masing-masing baik dalam ilmu humaniora dan sains, keduanya saling berhubungan dalam berperan aktif membangun karakter bangsa.

Banyak fenomena baik itu politik, sosial, budaya dan agama membuat kita mengerutkan dahi 5 cm, banyaknya gesekan yang menjadikan  hampir lupa akan akar rumput, apalah arti perbedaan kalau toleransi dan persaudaraan harus dikorbankan, apalah arti idealisme kalau hal kecil saja sering terabaikan, apalah arti prinsip kalau kita lupa jati diri.

Jujur saja….selama kurang lebih 8 tahun di timur tengah dan negara-negara Arab, saya melihat akan indahnya corak dan ragam spiritual tanpa ada pemaksaan kehendak, bicara ormas dan kelompok keagamaan di timur tengah di sana juga bertaburan, hanya saja toleransi dan nilai keilmuan lebih diutamakan. Adapun di tanah air baru sebatas simbol, atribut dan citra, padahal Islam sejatinya adalah ‘’ESENSI’’.

Ditambahkan oleh mufti negara Mesir syeikh Ali jum’ah tentangnya penting ilmu sebelum amal, dimana zaman sekarang ramai-ramai berbicara agama tanpa melalui kesulitan dan proses yang panjang, untuk bicara 2 jam perihal agama saja butuh waktu belajar belasan atau puluhan tahun dan bukan belajar dalam hitungan jam, hari, minggu bahkan bulan sudah berani bicara berjam-jam lamanya perihal filosofi dan dasar hukum-hukum Islam.

Rektor Paramadina Anies Baswedan juga menuturkan pentingnya ilmu pengetahuan dan networking di era global ini, bicara materi tentu semua orang punya kesempatan tapi bicara ilmu itu butuh proses yang tidak sebentar, maju tidaknya suatu negara tergantung bagaimana pendidikan dijadikan prioritas dan tingginya apresiasi terhadap para guru.

Ibarat setetes air di tengah samudera itulah sejatinya gambaran ilmu kita daripada ilmu-ilmu Allah di muka bumi, karena Qur’an itu sendiri sudah sempurna penurunannya akan tetapi pemahaman Qur’an itu sendiri tidak terbatas, tergantung dari seorang hamba yang membacanya, kebanyakan dari kita hanya semata-mata untuk beribadah ketika membacanya (sebatas ritual tanpa mengerti secara utuh makna ayat yang di bacanya) bukan mentadaburi ayat-ayatnya.

Teks Quran tentu tidak berubah, akan tetapi konteksnya bisa menjadi luas tergantung bagaimana kita mentadaburinya, keduanya sangat penting untuk disatukan agar kita bisa berjalan di atas garis pasir pantai yang sama. Semoga

Untuk segala rentetan dan rangkaian perjalanan singkat ini, saya belum siap untuk memiliki warna, karena menuntut ilmu bagi siapa pun jika berangkat dari sebuah unsur (ormas maupun parpol) dan warna tertentu sulit menjadikannya objektif, paling tidak untuk saat ini kalaupun harus berwarna saya lebih memilih satu warna saja yaitu “Mencari kebenaran bukan pembenaran” sebagai akademis murni. Semoga…

Sebagai penutup

Pernahkah kita terpikir untuk bisa terlahir dari rahim ibu pertiwi, terlahir sebagai muslim, atau terlahir dari keluarga yang penuh kasih sayang tanpa kita memintanya? Pernahkah….

Itulah salah satu nikmat dari Allah, akan menjadi lebih nikmat lagi jika Allah mengabulkan doa kita untuk di wafatkan dalam keadaan Islam dan dimasukkan ke dalam surga-Nya.

Karena sejatinya hidup ini adalah menyempurnakan titik demi titik untuk menuju fokus yang bernama “KEMATIAN”. warna dan nuansa pergerakan-pergerakan, keormasan atau politik memang baik (selama orientasinya kebangsaan) tapi lebih baik lagi jika kita bisa lebih mengenal Allah dan bisa menghadirkan kegembiraan dalam hati karena terlahir dari rahim ibu pertiwi dengan bingkai Nasionalisme dan Islamisme yang buahnya adalah “Semangat kebersamaan dan toleransi beragama”

Merasa bahagia karena menjadi bagian yang terlahir dari rahim ibu pertiwi dan senang saat berada di dekatnya, kenangan indah saat berada jauh dan terpisah sementara dari tanah air adalah bukti sederhana akan cinta, keserasian dan kesetiaan kita. Semoga.

Redaktur: Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc. MA.

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 8.67 out of 5)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Rekonsiliasi Tidak Gratis, Israel Jamin Keamanan Arab Terhadap Ancaman Iran

Figure
Organization