Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Yakini Kehalalan yang Dihalalkan Syariat! [1]

Yakini Kehalalan yang Dihalalkan Syariat! [1]

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (kalimantanpost.com)

dakwatuna.com – Yang diketahui bersama, jenis makanan halal lebih banyak dari yang haram.  Mereka dengan mudahnya menangkap, memetik, memanen, dan menikmati makanan halal yang terhampar di jagat raya ini. Nikmat seperti ini terhitung nikmat universal yang terhidang untuk seluruh makhluk. Dia super nikmat yang melebihi kenikmatan tertentu yang mungkin saja hanya dirasakan oleh seseorang. Andai kata yang dihalalkan itu hanya puluhan atau ratusan saja, pasti manusia sulit memperolehnya. Jangankan ratusan, tidak terkira pun, di antara mereka terkadang masih terjadi cekcok, main mulut, otot, bahkan pembunuhan, hanya karena mempertaruhkan nikmat, yang seandainya disadari tidak akan mungkin terjadi. Artinya, jika sahabat Anda telah mendapatkan satu bentuk kenikmatan, maka carilah nikmat lain dan jangan sesekali mencoba merenggut nikmat tersebut darinya. Di sana masih banyak nikmat lain. Kemudian, jika setiap kali kita mendapatkan nikmat  kita mensyukurinya, maka lebih wajib lagi kita mensyukuri nikmat aneka ragam jenis makanan yang dihamparkan Sang Maha Pemberi Nikmat dengan syukur universal yang melibatkan seluruh komponen raga dengan mengucapkan: “dengan penuh kerendahan diri dari seluruh komponen tubuh yang aku miliki, indera, perasaan, asabat, hati, dan komponen lain yang tersembunyi dan tidak diketahui, aku memanjatkan puji syukur terhadap-Mu, ya Allah, Tuhan yang menganugerahkan nikmat universal ini kepadaku, saudaraku, dan makhluk lain.”

Selanjutnya, demi menjaga fitrah manusia yang cinta kebersihan maka yang diharamkan dari makanan itu telah dibatasi oleh teks dan kaidah syariat. Berpaling ke yang haram meninggalkan yang halal sebuah pembangkangan yang menyalahi fitrah penciptaan dari pelbagai sisi, di antaranya: yang halal mudah dicapai, sementara yang haram sulit dicapai, bahkan untuk mengerjakan yang haram kata hati harus ditepis, memupuk keberanian semu yang terbangun dari tipu muslihat yang mengelabui diri sendiri, dan menganggap bahwa itu enteng, meski penyesalan datang setelahnya menusuk melebihi tusukan duri di telapak kaki. Semua itu susah, sementara yang halal itu mudah, dan tentunya, mereka yang mengabaikan ini berhak dan sangat berhak sekali mendapatkan label orang-orang lalim yang dimurkai Allah. Di lain sisi, yang halal itu enak, bersih, dan memberikan kenyamanan tersendiri terhadap perasaan, sementara yang haram itu kotor dan menjijikkan. Mengedepankan yang terakhir ini bentuk penyakit kejiwaan yang butuh perawatan intensif oleh medis syariat. Karena jika akar cinta haram tidak diangkat oleh operasi syariat maka ia menyebabkan tumor ganas yang menghalalkan segala cara tanpa memedulikan hak-hak orang lain.

Hematnya,  hamparan jenis makanan halal itu yang Anda dapat jumpai di pelbagai tempat, beda halnya dengan jenis makanan haram tertentu yang mungkin saja hanya didapatkan di tempat-tempat tertentu juga, indikasi kuat terhadap keurgensian penciptaan manusia sebagai pengemban amanah yang tercipta memakmurkan bumi dengan aneka ragam ibadah dan mengejawantahkan manifestasi sifat-sifat Allah yang terangkum dalam Asmaul Husna.

Jika Anda bertanya: “telah dikatakan bahwa yang halal itu baik dan bersih, tetapi di antara jenis ikan yang dihalalkan ada yang suka hidup di tempat kotor dan memakan kotoran. Bukankah ini menyalahi fitrah dan firman Allah SWT yang telah mencap makanan halal itu sebagai (الطَّيِّبَات), sumber makanan yang baik?”

Kepada Anda artikel ini sengaja ditulis dan berusaha menjawab pertanyaan di atas.

Hewan yang sering memakan kotoran istilah fiqihnya adalah (جَلاَّلّة), (Jallalah). Di Kamus al-Muhîth (جَلاَّلّة) adalah sapi yang suka makan kotoran. [[2]] Sementara di al-Hâwi al-Kabîr (جَلاَّلّة) adalah semua jenis hewan yang suka makan kotoran. [[3]]

Dan untuk hukum hewan seperti ini, saya mengajak para pemerhati tema-tema syariat melihat paparan detail al-Muhazzab, karya Imam Abu Bakr as-Syaerâzi (w. 476 H) yang disyarah oleh Imam An-Nawâwi (w. 676 H/1300M) di al-Majmu’, keduanya berkata:

“Imam Abu Bakr as-Syaerâzi berkata: “dan makruh memakan (جَلاَّلّة), yaitu hewan yang makanannya kebanyakan dari kotoran. Di antara hewan yang sering ditemukan makan kotoran, seperti: unta, sapi, kambing, dan ayam, sebagaimana sabda Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas RA: (sesungguhnya Nabi Saw melarang meminum susu hewan (جَلاَّلّة). [[4]] Akan tetapi, dagingnya tidak haram dimakan, karena yang terjadi hanyalah perubahan rasa terhadap daging hewan tersebut. Olehnya itu, untuk mengembalikan kenormalan cita rasa daging tersebut dianjurkan memberi mereka makan yang bersih. (Jika hewan itu adalah unta maka ia diberi makanan bersih selama 40 hari, untuk kambing 7 hari, dan untuk ayam 3 hari),[[5]] sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA.)

Saya (pensyarah) berkata: “Hadits Ibn Abbas shahih, diriwayatkan oleh imam Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i dengan sanad-sanad yang sah. Imam at-Tirmidzi berkata: “hadits ini hasanun shahih”. Para sahabat kami (ahli fiqih syafi’i di Iraq): “(جَلاَّلّة) adalah hewan yang makan kotoran, dan di antara hewan yang sering ditemukan makan kotoran, seperti: unta, sapi, kambing, dan ayam.” Di pendapat lain dikatakan: “jika makanan hewan itu kebanyakan dari kotoran maka ia tergolong (جَلاَّلّة), tetapi jika makanannya lebih banyak yang bersih dari yang kotor maka ia tidak termasuk jenis hewan tersebut.” Yang paling sah menurut mayoritas ahli fiqih (jumhur) bahwa yang menjadi penentu dalam hal ini bukanlah banyak atau sedikitnya kotoran yang dimakan, tetapi lebih ditentukan oleh bau hewan itu sendiri. Jika tercium di bagian urf hewan-hewan tersebut (bagi unta urfnya adalah rambut yang tumbuh di bagian leher, dan untuk ayam adalah daging yang terdapat di bagian atas kepala ayam) bau najis maka ia terhitung (جَلاَّلّة), dan jika dagingnya berubah maka ia makruh untuk dikonsumsi. Yang menjadi pertanyaan, apakah hukum makruh ini termasuk makruh tahrim atau makruh tanzih. [[6]] Di sana ada dua pendapat masyhur bagi ahli fiqih Khurrâsân. Yang paling sah bagi jumhur ulama dan yang dipegangi oleh Imam Abu Bakr as-Syaerâzi, Ahli fiqih Irâqi, [[7]] dan disahkan oleh ar-Ruwyâni dan ar-Rafi’i adalah makruh tanzih.

Pendapat kedua: makruh tahrim, dinyatakan oleh Imam Abu Ishâk al-Muruwzi, Qaffâl, dan disahkan oleh Imam al-Gazâli dan Bagawi. Ada yang mengatakan bahwa perbedaan ini terjadi jika bau najis ditemukan dengan begitu kuat dan menyengat, atau serupa dengan bau salah satu kotoran. Jika baunya nyaris tidak ada dan tidak menyengat, serta tidak memberikan efek apa-apa maka ia boleh dimakan. Para ahli fiqih kelompok kami (Iraqi) berkata: “jika ia dimasukkan di kandang setelah tercium darinya bau busuk dan diberi makanan bersih sampai bau tersebut hilang maka ia pun tidak makruh disembelih dan dimakan.” Di samping itu, mereka juga mengatakan: “tidak ada batas waktu terhadap berapa lama hewan tersebut harus di kurung dan diberikan makanan bersih, tetapi yang menjadi ukuran adalah sejauh mana bau kotoran itu hilang darinya.” Kemudian mereka juga mengatakan: “bukan hanya dagingnya yang dilarang dimakan, tetapi juga susu, dan telurnya, sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan sebelumnya. Demikian pula, ia makruh ditunggangi jika tidak ada kain pelapis di punggungnya. Kesimpulannya, bau kotoran yang ditemukan di hewan seperti ini tidak menjadikannya sebagai hewan bernajis seumur hidup, karena jika kita menajiskannya, maka ia pun seperti anjing yang bulu-bulunya pun tidak bersih meski disamak (dibersihkan).””[[8]]

Setelah mencermati teks fiqih syafi’i di atas, penulis punya kecenderungan kuat mengikuti tarjih (pilihan) sebagian ahli fiqih Khurrasan yang diperkuat oleh ahli fiqih Iraqi yang menyatakan bahwa hukum (جَلاَّلّة) adalah makruh tanzih, mengingat zat hewan ini pada dasarnya halal, ia dimakruhkan hanya karena tercium darinya bau kotoran akibat najis yang dia makan sehingga dengan sendirinya cita rasa dagingnya pun berubah. Olehnya itu, untuk mengembalikan kondisi normal tersebut, ia dikurung dan diberikan makanan bersih hingga bau kotorannya hilang dan dagingnya pun bersih seperti biasa.

Lain halnya dengan Imam Malik (w. 179 H/796 M) yang membolehkannya sebagaimana yang dinukil darinya di (al-Mudawwanah). [[9]] Pernyataan ini menarik perhatian Imam Syihabuddin al-Qarâfi (w. 684 H/1285 M) untuk memberikan sebuah analisa kritis, beliau berkata:

“Ini menunjukkan bahwa Allah menajiskan zat tertentu jika dalam dirinya terdapat sifat-sifat kotoran yang menjijikkan, karena semua zat pada dasarnya sama, yang membedakan mereka adalah sifatnya. Jika sifat kotoran tersebut pergi maka dengan sendirinya hukum najis itu pun terangkat darinya secara ijma, seperti: darah yang menjadi air mani, kemudian manusia, dan jika sifat darah ini beralih ke yang lebih kotor, seperti: nanah, darah haid, atau bangkai, maka ia pun dilegitimasi bernajis. Akan tetapi, jika sifat zat itu beralih ke sifat kotor yang lebih ringan, apakah ia dilegitimasi bernajis atau tidak. Di sini ulama berbeda pendapat.”[[10]]

Mencermati teks fiqih Maliki ini, penulis melihat bahwa Imam Malik membolehkannya karena kotoran tersebut setelah ditelan oleh (جَلاَّلّة) sifatnya berubah menjadi bersih, karena telah menjadi bagian dari daging hewan tersebut dalam sebuah mekanisme Rabbâni.

Meskipun demikian, saya lebih cenderung mengukuhkan tarjih (pilihan) ahli fiqih Syafi’i yang punya tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dalam masalah ini. Tarjih seperti ini pun didapatkan sama di ahli fiqih Hanafi. Mereka melihat bahwa daging (جَلاَّلّة) manapun yang tidak mengalami perubahan sifat setelah bersentuhan dengan kotoran halal untuk disembelih dan dimakan, tetapi jika terjadi perubahan sifat terhadap dagingnya maka ia pun dikurung hingga baunya hilang dan dagingnya pun kembali seperti semula. (Allahu A’lam bi as-Shawab)

Jika Anda ingin penguatan dari fiqih Hanafi, simak secara saksama pernyataan Imam Ibn an-Najîm (1005 H/1596 M) di (al-Bahru ar-Râiq), beliau berkata:

(جَلاَّلّة) tidak dimakan dan diminum susunya, sesuai hadits Nabi Saw di atas. (جَلاَّلّة) adalah hewan yang sering makan bangkai dan kotoran sehingga dagingnya rusak dan mengeluarkan bau busuk. Jika ia dijauhkan dari kotoran hingga bau busuknya hilang maka ia pun halal, dan tidak ada batasan waktu pengurungan terhadap hewan tersebut pada dasarnya, tetapi di kitab (an-Nawâdir)[[11]] dikatakan bahwa untuk unta masa pengurungannya sebulan, dan di pendapat lain 40 hari, untuk sapi 20 hari, kambing 10 hari, dan untuk ayam 3 hari. Akan tetapi, hewan yang makan kotoran dan tidak memberikan pengaruh terhadap dagingnya ia halal untuk dikonsumsi. Olehnya itu, halal memakan jenis hewan apa pun yang meminum susu babi, karena dagingnya tidak mengalami perubahan oleh susu tersebut. Ini juga yang mendasari perkataan mereka bahwa (جَلاَّلّة) dari ayam halal dimakan, karena dagingnya tidak mengalami perubahan setelah makan kotoran. Adapun riwayat yang menganjurkan ayam dikurung selama tiga hari kemudian dipotong, yang demikian itu hanya karena lebih mendekatkan diri kepada kebersihan dan keridhaan Allah, tetapi bukan berarti bahwa itu adalah syarat yang mesti dipenuhi.[[12]]

Demikianlah hukum (جَلاَّلّة) di kitab-kitab fiqih. Olehnya itu, kiaskanlah hewan-hewan halal yang sering dijumpai makan kotoran, seperti: ikan lele, dengan (جَلاَّلّة) yang hukumnya telah dikupas oleh para ulama fiqih.

Jika Anda bertanya: “bagaimana dengan babi sendiri, apakah ia boleh dimakan jika diberi makanan bersih? Bukankah hukumnya tidak jauh beda dengan (جَلاَّلّة) ini?”[[13]]

Di sini Anda diberi jawaban bahwa babi itu najisnya datang dari tabiat penciptaannya yang cinta kotoran sehingga zatnya pun kotor. Meskipun ia dijauhkan dari kotoran dan lumpur, ia tetap makan tahinya sendiri. Olehnya itu, ia tetap kotor menjijikkan. Ini yang pertama.

Kemudian yang kedua, apa yang diharamkan Allah itu tetap haram, diketahui atau tidak diketahui hikmah pelarangannya. Karena tingkat tertinggi keikhlasan dalam ibadah adalah menjalankan perintah itu karena dia perintah dan menjauhi larangan itu karena dilarang. Adapun pengetahuan tentang hikmah-hikmah syariat tidak lain kecuali penguat terhadap hukum tertentu dan penambah keyakinan semata saja.

Badiuzzaman Said Nursi telah memberikan pernyataan monumental di sini, beliau berkata:

“Keikhlasan beribadah adalah Anda mengerjakannya karena ia diperintahkan, meskipun setiap perintah punya hikmah yang bisa menjadi sebab untuk ditaati. Jadi, keikhlasan menghendaki sebab itu hanya menjadi pendorong semata yang mengantarkan kepada ketaatan, dan hikmah itu sendiri hanya penguat terhadap hukum tertentu. Tidak lebih dari itu.”[[14]]

Maha Suci Allah yang menjadikan syariat ini kaya yang mencakup seluruh sisi-sisi kehidupan, meskipun itu terhitung sangat pribadi dan sensitif, seperti hukum-hukum kebersihan.

Di penghujung artikel singkat ini, saya mengajak pemerhati hukum-hukum Islam melantunkan doa Rasulullah Saw berikut ini:

(اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِواكَ).

 


[1] tulisan ini jawaban terhadap pertanyaan salah satu pemerhati tema-tema dakwah yang mengatakan: “Bagaimana dgn lele? Bukankah lele juga pemakan segala kotoran termasuk kotoran manusia?”
Sumber: https://www.dakwatuna.com/2012/01/18007/mengapa-ini-diharamkan-kenapa-pula-ia-diciptakan-1/#ixzz1lEeUQeBL

[2] Muhammad bin Ya’qub al-Faeruzâbâdi (w. 817 H/1415 M), al-Qâmûs al-Muhîth, al-Haeah al-Misriyyah al-Ammah lil Kitab, Cairo, cet. 1980 M, bab huruf Lam, Pasal huruf Jim, vol. 3, hlm. 339

[3] Ali bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardi (w. 450 H/1058 M), al-Hâwî al-Kabâr fi Fiqih al-Imam as-Syafi’, ditahkik dan dikomentari Syekh Ali Muhammad Muawwadh, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1414 H/1994 M, vol. 5, hlm. 385

[4] lihat: Ibn Abi Syaebah, al-Musannaf, kitab al-At’imah, bab fi Luhûm al-Jallâlah, hadits. no 24974, vol. 8, hlm. 244, Sunan Abi Daud, kitab al-At’imah, bab an-Nahyi an Akli al-Jallâlah wa Albâniha, hadits. no 3785, hlm. 681, dan Sunan at-Tirmidzi, kitab al-At’imah, bab ma Ja’a fi Akli Luhûm al-Jallâlah wa Albâniha, hadits. no 1824, hlm. 421

[5] di periwayatan Ibn Umar yang dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaebah di al-Musannaf hanya menyebutkan tempo pengurungan ayam saja selama tiga hari, yang lainnya disebutkan di Ma’rifah as-Sunan wal Atsâr oleh Imam Baihaqi. [lihat: Imam Ibn Abi Syaebah, Op. Cit, hadits. no 24979, vol. 8, hlm. 245, dan lihat: Imam abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi (w. 458 H), hadits. no 19302, vol. 14, hlm. 106-107]

[6] Makruh bagi mayoritas ulama adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat dengan tegas, tetapi pelarangannya tidak setingkat dengan derajat haram, atau sesuatu yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala dan jika ditinggalkan ia tidak mendapatkan ganjaran apa-apa.

Ahli fiqih Hanafi membaginya ke dalam dua kelompok:

Pertama: makruh karahah tahrim, yaitu: apa yang dilarang oleh syariat dengan tegas, tetapi dalilnya (dzanni), seperti: larangan makan hewan yang bertaring dan berkuku panjang.

Kedua: makruh karahah tanzih, yaitu: pelarangan yang tidak mengindikasikan adanya pengharaman, definisi ini semakna dengan definisi makruh oleh mayoritas ulama. [lihat: Prof. Dr. Ayyadh bin Nami as-Salami, Ushul Fiqh Allasi la Yasau al-Faqih Jahlahu, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, cet. 1, 1426 H/2005 M, hlm. 51]

Bagi penulis, dilihat dari bagian kedua makruh ini, yaitu makruh tanzih, nampak bahwa ia dimakruhkan karena tidak sesuai dengan fitrah manusia yang cinta kebersihan dan kebaikan. Makan (جَلاَّلّة), hewan yang berbau kotor akibat najis yang dia makan, menyalahi fitrah tersebut. Olehnya itu, supaya fitrah tetap suci dan bersih, hewan seperti ini di makruhkan karahah tanzih.

[7] Dalam membedakan antara Ahli fiqih Irâqi dan Khurrâsâni di mazhab Syafi’i, dengarkan perkataan Imam Nawâwi di al-Majmu’:

     “Ketahuilah! Sesungguhnya nukilan sahabat-sahabat kami (Ahli fiqih Irâqi) terhadap teks-teks fiqih Imam Syafi’i, kaedah mazhabnya, dan pendapat-pendapat para pendahulu kami di fiqih syafi’i sangat teliti dan cermat dari nukilan ahli fiqih Khurrâsâni. Akan tetapi, Ahli fiqih Khurrâsân punya metodologi kajian, pemetaan, dan penyusunan sub-sub pembahasan fiqih Syafi’ yang lebih mapan.” [al-Majmu’, vol. 1, hlm. 112]

[8] Imam Abu Bakr as-Syaerâsi, al-Muhazzab dan syarahnya al-Majmu’ oleh Imam Abu Zakariyyah Muhyiddin bin Syaraf an-Nawâwi, ditahkik dan dikomentari oleh Syekh Bakhît al-Mutî’i (w. 1354 H/1935 M), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, vol. 9, hlm. 30

[9] lihat: Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, al-Mudawwanah al-Kubra, diriwayatkan oleh imam Sahnun bin Said at-Tunûkhi dari Imam Abdurrahman bin Qasim, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1415 H/1994 M, vol. 1, hlm. 542

[10] Imam Ahmad bin Idris al-Qarâfi, adz-Dzahirah, ditahkik oleh Dr. Muhammad Hajji, Dar al-Garb al-Islami, Beirut, cet. 1, 1994 M, vol. 1, hlm. 188

[11] lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman Abu Zaid al-Qaerawâni (w. 386 H), an-Nawâdir wa az-Ziyâdât ala Mâ fil Mudawwanah min Gairihâ min al-Ulmmahât, ditahkik oleh Dr. Muhammad Hajji, Dar al-Garb al-Islami, Beirut, cet. 1, 1999, vol. 4, hlm. 372

[12] Syekh Zainuddin Ibn an-Najîm, al-Bahru ar-Râiq, syarah dari Kanzu ad-Daqâiq, karya Imam an-Nasafi Abu al-Barakât Abdullah bin ahmad bin Mahmud (w. 710 H/1310 M), al-Matbaah al-Ilmiyah, cet. 1, vol. 8, hlm. 207-208.

[13] pertanyaan ini dilontarkan oleh salah satu pemerhati tema-tema keislaman yang mengatakan:

“bagaiman jika babinya dipelihara di kandang yg bersih, dimandiin, makanannya juga ga sembarangan, kan berarti boleh jg dong bang? gimana tu jadinya?”

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2012/01/18007/mengapa-ini-diharamkan-kenapa-pula-ia-diciptakan-1/#ixzz1lIwJedOh

[14] Isyârât al-I’jâz, hlm. 146

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Arie Untung: Emak-Emak Pelopor Utama Pemasaran Produk Halal

Figure
Organization