Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ketika Pendakwah ‘Kota’ Pulang Kampung

Ketika Pendakwah ‘Kota’ Pulang Kampung

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Februari datang! Walaupun tidak secara eksplisit sepertinya lagu yang bertajuk Libur T’lah Tiba milik Tasya – penyanyi cilik yang booming sekitar tahun 2002 – cocok menjadi backsounduntuk sebagian besar mahasiswa di Indonesia.

Libur selalu menjadi gold moment untuk setiap orang. Pasalnya pasti akan ada banyak agenda yang telah direncanakan jauh hari sebelum hari eksekusi datang. Mulai dari bagpacker, aktivis dakwah, aktivis sosial, aktivis lingkungan, orang kantoran, orang pinggiran, mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat), mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) sampai para pengacara (pengangguran banyak acara) yang tersohor dengan kesibukannya. Semua pasti telah mengagendakan aktivitas baik yang berkaitan dengan rutinitas sebelum libur ataupun yang berbeda, sama sekali.

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya pagi ini, “Assalamu’alaykum, ukh kaifahaluki? Kapan balik lagi nih? Ana baru lima hari di rumah udah gak betah nih ukh, signal lemot… ndak bisa ngapa2in euy… gak produktif.”

Kletak-kletuk lalu pesan singkat itu pun saya dibalas, “wah ana masih banyak agenda nih ukh di kampong, ndak ada internet ndak masalah.”

Lalu dibalas lagi “Bsk insyaAllah ana mau pulg sj ukh, lebih produktif di jkrta. Slm utk kelrga ukh. Wassalamualaikum.”

Ritual balas membalas pesan itu menyiratkan sebuah pelajaran yang cukup menggelitik. Mari kita telusuri lebih dalam.

Dilahirkan sebagai Digital Native merupakan takdir yang patut disyukuri. Secara pribadi, penulis sendiri merasakan banyak sekali kemudahan dan tantangan hidup di era ini. Modernitas yang diselimuti hedonisme menjadi tantangan terbesar dalam mempertahankan amanah sebagai khalifah. Terlebih budaya sekuler yang semakin menjamur dengan subur. Liberalisme menjadi trend yang tiada hentinya menyedot segala aspek kehidupan, bahkan kenegaraan.

Seperti yang diungkapkan oleh Ust. Ahmad Sarwat Lc dalam kata pengantarnya pada buku Islam Liberal 101 karya Ust. Akmal Sjafril bahwa kita membutuhkan media yang luas dan variatif, misalnya radio dan televisi serta internet. Lebih jauh beliau mengkritisi, umat Islam sebenarnya mempunyai cukup banyak media dakwah namun masalahnya media-media tersebut kurang digarap dengan fokus dan serius. Sehingga dapat kita telisik bahwa kelemahan umat Islam bukanlah ketidakmampuan dalam membangun counter, namun memberdayakan counter tersebut. Siapa yang paling berpotensi untuk memberdayakannya kalau bukan pemuda? Termasuk mahasiswa tentunya sebagai kaum elite dalam strata masyarakat.

Dalam setiap pergolakan sejarah, mahasiswa selalu menjadi pemeran utama di dalamnya. Di luar kepentingan akademik, mahasiswa kualitas tarbiyah dituntut untuk mampu menjadi sosok yang ‘sempurna’. Siapa yang tidak mengenal sosok yang abadi terukir dalam tembok sejarah seperti Gie, Rahmat Abdullah, Soekarni, dan nama-nama lainnya. Terutama di kalangan mahasiswa yang doyan bersuara baik di jalanan atau di udara. Mahasiswa diposisikan berada pada strata ellite karena tidak hanya standar akademik yang melangit, organisasi yang menjamur tapi lebih dari itu. Mahasiswa kualitas tarbiyah juga senantiasa dituntut keaktifannya dalam dakwah. Maka sejatinya mereka adalah pendakwah.

Tidak hanya di Indonesia, tilik saja di belahan bumi lain. Siapa yang menjadi otak pendobrak kalau bukan pemuda. Salah satunya Mesir.

Jika para pendakwah kampus itu diibaratkan sebagai petani, maka kampus dengan sekelumit di dalamnya adalah komponen ladang yang harus segera digarap. Sebagaimana petani dalam makna literal, bertani membutuhkan banyak peralatan. Begitu pula dalam makna metaphor ‘petani’. Di era digital ini, gadget dan koneksi internet adalah bajak dan pupuk untuk para petani ini. Seperti halnya ladang pertanian, dunia kampus juga memiliki fertilita yang berbeda-beda. Sehingga metode dan media yang digunakan pun berbeda.

Banyak fenomena unik yang kemudian tumbuh dalam dunia pertanian kampus. Kesibukan sebagai makhluk multi-peran menuntut petani ladang pertanian kampus ini pun dapat menjadi sosok yang siap dengan multi-resiko.

Seperti yang telah dibahas pada paragraph di awal artikel ini, salah satu moment terpenting bagi mahasiswa – termasuk para petani ini – adalah libur. Di momen liburan inilah petani perantau akan meninggalkan ladangnya di kota untuk kemudian bertani di desa. Birul walidain adalah agenda terpenting di dalamnya. Yang menjadi titik tumpu bahasannya bukanlah liburnya, namun keadaan ladang baru yang tidak jarang jauh berbeda dari ladang sebelumnya.

Tidak sedikit petani-petani ini berasal dari daerah yang notabene memang masih sulit dijangkau signal. Romantisme kota dengan segala kemudahan yang ada membuat para petani ini betah dan ogah untuk bertani di ladang desa. Entah terlena dengan aktivitas dakwah atau sengaja menutup mata dan malas keluar dari zona aman-nyaman. Keterlenaan ini lalu menjadi alibi untuk enggan pulang kampung, bertani di ladang desa. Meski tidak semua alasan petani enggan pulang adalah itu.

Miris, penulis mendapati banyak pengalaman yang menyedihkan. Sejurus dengan perannya sebagai petani sekaligus anak rantau.

Maka pendakwah sejati, mampu beradaptasi dengan segala rupa kondisi. Karena esensi dakwah adalah seberapa gigih engkau menyeru kebaikan. Alat dan metodenya berada di sini (hati) dan di sini (otak). Maka mari senantiasa asah metode dan peralatan kita dengan saling berdiskusi, mentadabburi setiap kata dari surat cinta Rabbi kita. Wallahua’lam bissowab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...
Seorang mahasiswi tingkat dua jurusan ilmu pendidikan Bahasa Inggris di STKIP Kebangkitan Nasional atau Sampoerna School of Education (SSE). Ia adalah perantau dari Lampung. Mencintai dunia pendidikan, sastra, olahraga dan dunia seni khususnya music. Aktif dalam beberapa organisasi kampus yaitu SMILY (SSE Muslim Family bertindak sebagai sekretaris) dan Debate Club (Sebagai material Manager), juga terlibat dalam organisasi dan volunteer ekstra kampus. Beberapa kali menjuarai kompetisi sastra (puisi). "Expresikan Semangat Dakwah dengan Caramu!"

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization