Topic
Home / Berita / Analisa / Revolusi Suriah; Rintangan dan Masa Depan

Revolusi Suriah; Rintangan dan Masa Depan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (LIFE)

dakwatuna.com – Fenomena Arab Spring yang melanda hampir seluruh wilayah dunia Arab di sepanjang tahun 2011, barangkali mencapai puncaknya di Suriah. Sebelas bulan perjalanan revolusi rakyat menuntut kebebasan dan demokratisasi belum juga menuai hasil. Demonstrasi massa yang terjadi di berbagai kota besar Suriah belum juga mampu memaksa Basyar Asad untuk meninggalkan kursi presiden. Sebaliknya, Ia bersikeras untuk tidak turun dan menggunakan segala cara guna menggagalkan revolusi tersebut, meskipun dengan jalur kekerasan.

Sementara itu, negara-negara tetangga semisal Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman telah berhasil menggulingkan rezim berkuasa di wilayah masing-masing. Negara-negara tersebut kini mulai merealisasikan berbagai tujuan dan impian besar revolusi. Lantas, bagaimana dengan revolusi Suriah?

Mengenal Suriah

Suriah yang kita kenal sekarang merupakan sebutan untuk sebuah negara di wilayah Syam yang saat ini dipimpin oleh Basyar Asad. Nama resminya, Republik Arab Suriah (al-Jumhûriyyah al-Arabiyyah as-Sûriah). Secara geografis, Suriah berbatasan dengan Turki di sebelah utara, Palestina dan Yordania di sebelah selatan, Lebanon dan Laut Tengah di barat dan Irak di sebelah timur. Bisa dibilang bahwa Suriah merupakan wilayah yang menjadi penghubung antara dua benua, Asia dan Afrika.

Sebelumnya, Suriah merupakan bagian dari Daulah Utsmaniyah. Suriah memisahkan diri pada 1 September 1918 pasca Revolusi Besar Arab-yang mendapat dukungan dari Inggris dan Syarief Husein-pada tahun 1916 yang menuntut pemisahan dari Daulah Utsmaniyah.

Pada tahun 1920, Suriah dipaksa untuk menerima hasil konferensi San Remo yang memberikan mandat kepada Perancis atas wilayah Suriah hingga 17 April 1946. Selama masa mandat Perancis, wilayah Suriah semakin menyempit. Sebagian wilayah utara diserahkan kepada Turki, sedangkan di selatan berdiri Yordania, Lebanon dan Palestina. Pada masa itu pula, Republik Arab Suriah berdiri.

Semangat pan-Arabisme yang digagas oleh Gamal Abdul Naseer mendorong Suriah pada 1958 untuk melebur dalam Republik Arab Bersatu dengan Kairo sebagai Ibukota. Namun, hal itu hanya bertahan hingga tahun 1961, akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Abdul Karim Nahlawy.

Pasca kudeta militer, peta perpolitikan Suriah dikuasai oleh Partai Sosialis Ba’ats (Hizb al-Ba’ats al-Isytirâki) yang mayoritas anggotanya dari golongan Syiah Alawiyah. Hingga saat ini, atau selama hampir 49 tahun, partai ini terus memegang pemerintahan di Suriah. Dengan berkoalisi dengan pihak militer, Partai Sosialis Ba’ats melakukan segala usaha untuk melanggengkan kekuasaan mereka di Suriah. Mereka memperbesar kekuatan militer dan pihak keamanan, membuat perundang-undangan yang membatasi bahkan mencegah kemunculan gerakan-gerakan oposisi, termasuk kekuatan kelompok Sunni, dengan Ikhwanul Muslimin sebagai pemeran utamanya. Dengan cara kediktatoran inilah, rezim partai di bawah kepemimpinan Hafez Asad, lalu kemudian putranya, Basyar Asad bisa bertahan.

Revolusi Suriah

Gelombang revolusi Suriah bermula pada 15 Maret 2011, setelah para aktivis Suriah melalui situs jejaring sosial menyeru rakyat untuk ikut dalam aksi protes yang mereka sebut dengan “Hari Kemarahan Suriah” pada hari tersebut. Lalu, aksi protes berkembang, setelah pihak oposisi menyeru rakyat untuk menjatuhkan rezim Asad.

Tiga hari kemudian, demonstrasi massa meluas ke beberapa tempat di luar ibukota. Satu minggu setelahnya, pada hari yang mereka sebut sebagai “Hari Kejayaan”, rakyat Suriah menggelar demonstrasi massa di tujuh propinsi dari 14 propinsi yang ada di Suriah.

Perkembangan demonstrasi rakyat yang begitu cepat dan mulai mengancam posisi Presiden Asad memaksanya untuk berpidato di depan parlemen pada 31 Maret. Ia berusaha menenangkan kemarahan rakyat dengan berjanji akan mengagendakan reformasi politik Suriah. Asad juga membentuk pemerintahan baru, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan komposisi pemerintahan sebelumnya. Selain itu, Asad berjanji akan segera mengusut segala pihak yang terbukti melakukan kekerasan terhadap para demonstran.

Segala siasat damai yang dilakukan Asad untuk meraih hati rakyat sebagaimana yang dilakukan para pemimpin Mesir, Libya dan Tunisia, untuk menghentikan gelombang revolusi ternyata tidak membuahkan hasil. Keberhasilan revolusi Tunisia dan Mesir juga membuat para demonstran semakin percaya diri dan yakin akan keberhasilan revolusi Suriah.

Asad pun menerapkan strategi baru. Di akhir bulan April, Militer Suriah mulai memberikan tekanan kepada para demonstran, sehingga korban yang berjatuhan meningkat secara signifikan. Awal Juni, pihak militer Suriah menembaki para demonstran di kota Hamah hingga menewaskan puluhan orang. Tindak kekerasan semacam itu masih terus berlangsung hingga hari ini, termasuk serangan bom yang dilancarkan di wilayah Khalidiya, propinsi Homs awal Februari lalu.

Kekejaman yang dilakukan rezim Asad dan pelanggaran atas hak asasi manusia, membuat dunia internasional menyatakan sikap. Pada pertengahan Agustus, Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Uni Eropa dan Kanada menyatakan bahwa rezim Suriah tidak lagi sah. Mereka juga menyeru Asad untuk segera meletakkan jabatan.

Sikap negara-negara Barat akan rezim Asad, akhirnya mendorong para pejuang revolusi untuk membentuk Dewan Nasional Suriah, sebagai pemersatu pihak oposisi Suriah. Organisasi ini mencakup semua golongan oposisi, termasuk Ikhwanul Muslimin sebagai oposisi terkuat saat ini. Pada bulan yang sama, Riyadh al-Asad yang sebelumnya menjabat sebagai Kolonel angkatan udara Suriah mengumumkan berdirinya Tentara Kebebasan (al-Jaisy al-Hurr) guna melindungi para demonstran.

Reaksi internasional berlanjut, dengan agenda resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun, seperti telah diprediksikan, Rusia dan China menggagalkan rencana tersebut dengan menggunakan hak veto mereka.

Liga Arab pun tidak tinggal diam. Organisasi regional Arab ini mengutus para pengamatnya ke Suriah. Mereka kemudian menawarkan protokol pengamat Arab yang menjadi bagian dari resolusi Liga Arab. Pada mulanya Suriah bersedia menandatangani protokol tersebut. Akan tetapi, ketika protokol berikutnya menyeru agar Asad menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, guna mengamankan agenda transisi damai, Asad menolak tawaran tersebut. Para pengamat Liga Arab pun akhirnya keluar, dan diganti dengan pengutusan pasukan penjaga keamanan.

Segala usaha terus dilakukan Asad untuk menggagalkan revolusi. Terakhir, pada awal Februari, rezim Asad melancarkan serangan bom di wilayah Khalidiya, propinsi Homs. Serangan tersebut disusul dengan berbagai operasi militer di berbagai daerah dan merupakan operasi paling kejam selama masa revolusi. Hampir seribu orang meninggal dalam jangka hanya dua minggu.

Rintangan dan Hambatannya

Perjalanan panjang revolusi Suriah yang sudah berlangsung selama 11 bulan, mengindikasikan bahwa rezim Asad tidak mampu membendung dan menghentikan gelombang revolusi, meskipun berbagai macam cara telah mereka tempuh. Di sisi lain, para pejuang revolusi sampai saat ini belum juga mampu menjatuhkan rezim Asad yang semakin gencar melemahkan kekuatan mereka.

Hingga hari ini, Majelis Nasional Suriah sebagai organisasi pejuang revolusi masih dihadang banyak hambatan dan tantangan, baik dalam tataran nasional, regional hingga internasional.

Di dalam negeri, rezim Asad terus melancarkan serangan dan kekerasan kepada para demonstran. Dengan sekuat tenaga, ditambah dukungan Iran, China dan Rusia, rezim Asad berusaha menggagalkan segala bentuk demonstrasi aksi protes rakyat.

Selain itu, Asad berusaha mendekati kelompok-kelompok minoritas Suriah, seperti umat Kristen, Alawy dan Ismailiyyah yang berjumlah hampir 30 % dari jumlah penduduk. Jumlah yang cukup besar ini tentunya sangat berpengaruh terhadap revolusi. Dengan mencegah keterlibatan mereka dalam revolusi, Asad ingin menciptakan opini publik bahwa apa yang terjadi sekarang di Suriah bukanlah revolusi rakyat, melainkan sebuah gerakan separatis golongan tertentu. Yaitu gerakan separatis Sunni melawan Syiah yang kini menguasai pemerintahan. Oleh karenanya, Asad menakut-nakuti mereka dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka bila kelompok Sunni memegang kekuasaan di Suriah.

Para pengamat politik memandang bahwa Suriah merupakan salah satu basis Syiah bersama Iran dan Irak di bawah pemerintahan Alwi al-Maliki. Dengan letak geostrategis yang dimiliki Suriah, ditambah kesamaan ideologi dengan negara-negara tetangga menjadikan kejatuhan rezim Suriah akan berakibat fatal negara-negara basis Syiah tersebut, dan ditambah dengan Hizbullah di Lebanon.

Maka, Iran mendukung penuh langkah rezim Asad untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan salah satu anggota Majelis Ahli Iran, Ahmad Jannati dalam khutbah Jum’at kemarin (24/02) di Teheran menyeru umat Syiah Arab untuk memasuki Suriah dan Berjihad bersama pihak Asad.

Sementara itu, Israel yang merupakan sekutu AS, dan berbatasan langsung dengan Suriah sangat menginginkan konflik internal Suriah terus berlangsung. Dengan demikian, Suriah akan disibukkan dengan permasalahannya daripada konflik berkepanjangan mereka dengan Israel. Pada waktu yang sama, konflik internal Suriah akan melumpuhkan perekonomian dan militer Suriah, bahkan perekonomian Iran yang banyak memberikan bantuan kepada Suriah.

Senada dengan Israel, AS sejatinya tidak menginginkan Suriah menjadi sebuah negara demokrasi. Meski pada awalnya, AS tampak mendukung revolusi rakyat Suriah, namun sejatinya AS hanya ingin memanfaatkan momentum tersebut sebagai jalan untuk mempertahankan kepentingannya di kawasan, dan mengepung Iran setelah tentara mereka angkat kaki dari Irak. AS melihat, bahwa berdirinya Suriah sebagai sebuah negara demokrasi akan mengancam kepentingan AS di kawasan. Politik Suriah yang demokratis akan menjadi cerminan keinginan rakyat, yang sewaktu-waktu bisa mengancam eksistensi sekutunya, Israel.

Sementara itu, Rusia dan China yang tidak ingin kepentingan mereka di Suriah terganggu. Suriah sangat berarti bagi Rusia. Di kota Latakia dan Tartus, Rusia menempatkan basis angkatan laut mereka. Letak geografis Suriah cukup dekat dengan Rusia, sekaligus bersandingan dengan Turki sebagai salah satu anggota NATO. Rusia tentu tidak menginginkan hegemoni Eropa-AS di kawasan Timur Tengah semakin besar. Rusia juga tidak ingin skenario Libya terulang untuk kedua kalinya.

Demikian juga dengan China yang merupakan menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah AS. China tidak ingin pasokan minyak Suriah ke negaranya terganggu, serta hubungan dagang antara kedua negara.

Masa Depan Revolusi

Berbagai hambatan dan rintangan di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan revolusi Suriah ke depan. Kemampuan Majelis Nasional untuk menggandeng pihak minoritas ke dalam basis revolusi, keberhasilan dalam menghapus ketakutan-ketakutan mereka, dan upaya diplomasi untuk meyakinkan dunia bahwa kepentingan mereka akan terjamin, menjadi titik tolak utama keberhasilan revolusi. Bila rakyat Suriah bersatu untuk mensukseskan revolusi mereka, niscaya rezim Asad tidak akan mampu bertahan lama dalam kekuasaan.

Kemampuan Majelis Nasional untuk menguasai media, juga sangat penting untuk menciptakan opini masyarakat, dan memberikan berita yang berimbang tentang apa yang dilakukan oleh rezim Asad terhadap revolusi rakyat Suriah.

Di sisi lain, intervensi asing dalam permasalahan internal Suriah bagaimanapun juga tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana hal itu tidak diinginkan oleh rakyat Suriah. Sejak Majelis Nasional Suriah berdiri, mereka menolak segala intervensi asing, termasuk bantuan militer dan serangan kepada rezim Asad. Bagi rakyat Suriah, intervensi asing justru mendatangkan lebih banyak kerugian bagi mereka. Wallahu A’lam. (hafid/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 8.89 out of 5)
Loading...

Tentang

Anggota Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. Saat ini terdaftar sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar Kairo.

Lihat Juga

Erdogan Bantah Turki Berniat Kuasai Wilayah Negara Lain

Figure
Organization