Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hanya Malam Ini

Hanya Malam Ini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Hanya malam ini terasa panjang bagiku, begitu panjangnya hingga tak mampu kututup mataku. Rasanya aku di sini sudah beribu tahun, padahal tak ada sepuluh menit. Desir angin berhembus di luar kamarku terdengar begitu keras, tak terdengar oleh segerombolan orang yang tengah asik mempersiapkan segala sesuatunya untuk esok pagi. Hatiku menentang hari esok. Ingin rasanya aku pergi sejauh mungkin dari sini. Dari kamar yang telah terpasang rapi hiasan bunga-bunga nan indah, meja rias yang serba lengkap dengan kosmetik, ruangan yang semerbak wangi, ada juga ranjang yang telah ditata rapi, di atasnya ada seserahan yang tak muat hingga perlu disimpan di atasnya. Indah dan menarik bagi mereka di luar kamarku sana. Bagiku adalah sampah. Aku merasa tertidur di atas gundukan sampah busuk.

Sendiri. Kuratapi tanganku yang telah terukir hiasan inay, membentuk ukiran, lambang keindahan bagi seorang calon pengantin putri yang esok akan melangsungkan akad nikah. Aku memandangnya. Bagiku sama sekali tak indah.

Jam dinding masih sama angkanya masih berjumlah dua belas, detik dan menitnya pun masih sama. Namun mengapa aku merasa ia begitu jahat padaku untuk bisa membawaku ke seminggu yang lalu pun tak mampu. Kini ia tersenyum menertawakanku.

“Dasar benda bodoh” umpatku padanya.

***

Seminggu yang lalu

“Jadi gimana Tiara keputusanmu? Apa mau nikah sama Budi?” tanya Ibu yang memberikan keputusan pinangan itu kepadaku.

Aku masih terdiam.

“Sepenuhnya Bapak tidak ingin memaksamu. Bapak hanya ingin kau pikirkan masak-masak. Budi anaknya baik. Sudah punya pekerjaan. Agamanya juga baik. Tidak baik juga menolak lamarannya. Bapak percaya Budi bisa jadi imam yang baik bagimu.” Kata bapak.

“Ya sudah Tiara ikut saja keputusan Bapak dan Ibu. Tentang persiapannya, sepenuhnya pun Tiara ikut saja.” Jawabku setengah hati.

Tak menyangka akan secepat ini. Orang tuaku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Aku hanya tinggal duduk manis dan melaksanakan apa yang diinstruksikan. Mulai dari perawatan tubuh, dekorasi hingga catering semua sudah dipersiapkan.

Sementara siapa Budi, lelaki berkulit putih itu, Aku sama sekali tak mengenalnya. Apa yang mereka bilang padaku tentang Budi selama ini selalu hal yang baik-baiknya saja. Aku tak tahu banyak tentangnya. Yang aku kenal adalah Firman, temanku. Teman yang selalu ada untukku. Untuk semua hal yang bisa kubagi dengannya. Aku merasa nyaman jika bersamanya. Walau tak berdua. Dalam ingatanku tak pernah kami jalan berdua. Aku tahu itu tak boleh dilakukan. Firman bagiku lebih dari sekedar teman. Pembimbingku kala aku butuh bantuan menyusun skripsi saat tugas akhirku, cheerleaders yang selalu menyemangatiku saat mentalku down oleh dosen pembimbing. Kakak yang bisa memberiku udara segar di padang mengembaraan ilmu di negeri orang, sahabat setia pengingatku untuk melakukan kebaikan. Ia inspirasiku.

Dalam khayalku, suatu hari aku bisa menjadi istri yang shalihah bagi Firman. Memasak untuknya, menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi pelipur laranya. Ia tak pernah tahu itu. Namun aku berharap ia tahu.

***

“Apabila ada seorang lelaki baik yang datang menolak maka wanitanya menolak akan timbul fitnah besar, bisa berupa fitnah bagi keluarga maupun sang wanita tersebut” kata Firman mengambil inti sari dari sebuah hadits.

Kuresapi kata-katanya. Aku berdiri dan mengacungkan tangan tanda bertanya.

“Kak… kalo sang suami yang akan kita nikahi itu belum kita kenal bagaimana? atau mungkin belum ada kata cinta. Bukankah itu juga mempengaruhi. Walau orang tersebut baik agamanya.” Kataku setelah dipersilakan moderator.

“Ada proses pengenalan atau ta’aruf, kemudian mantapkan dengan melakukan shalat istikharah meminta petunjuk-Nya. Jika sudah saling kenal maka lebih baik diterima pinangannya, cinta hadir setelah adanya interaksi yang sering terjadi setelah nikah. Islam sudah teruji ajarannya jadi Insya Allah apa yang disyariatkan tidak akan menjerumuskan ataupun melukai hati siapa pun.”

Ilmunya memang mumpuni, kefasihannya dalam membaca Al Qur’an tidak diragukan lagi. Siapa pun yang punya masalah atau bimbang menentukan hukum bertanya dan merujuk padanya.

“Oh… Aku tak akan menolakmu, jika kau datang padaku suatu hari. Akan kutunggu kedatanganmu Kak” gumamku dalam hati.

***

Firman tak mampu berkata-kata saat kukatakan aku sudah menerima lamaran Budi. Matanya berkaca-kaca, mukanya memerah. Aku masih duduk di samping tangga bersama Tari. Tari menoleh ke arahku, tangannya sengaja ia sibakkan ke tanganku. Aku menangkap isyarat tangannya, maksudnya menanyakan keadaan firman. Aku tak mengerti. Ia pergi meninggalkanku tak seperti biasanya. Tanpa salam dan tanpa kata.

Hari ini aku tahu bahwa aku salah. Entah apa yang terjadi padaku saat kujawab pinangan budi. Aku tak mengerti kenapa aku semudah itu memberikan jawaban iya atas pinangannya. Sementara hatiku kini masih tersimpan namanya. Sebuah nama yang terpatri dalam lubuk hatiku berharap nama itu menjadi imam hidupku. Firman Afriansyah.

Mungkin syaraf dalam otakku mulai terganggu, kala itu kujawab

“Ya sudah Tiara ikut saja keputusan Bapak dan Ibu. Tentang persiapannya, sepenuhnya pun Tiara ikut saja.”

Mestinya aku bilang

“Aku gak mau nikah sama Budi.” Itu sebuah kalimat penolakan yang tegas.

Setidaknya aku masih bisa menunggu Firman. Kini aku tak punya alasan lagi untuk bisa bersamanya. Bila aku pergi dan menolak Budi akan terjadi fitnah besar bagi keluargaku, keluargaku akan dicap keluarga yang mempermainkan keluarga orang lain, plin plan, terutama aku. Rasanya terlalu perih untuk orang yang telah membesarkanku dengan cinta membuat masalah sebesar itu.

Kata-kata Firman terngiang-ngiar dalam otakku

“Ada proses pengenalan atau ta’aruf, kemudian mantapkan dengan melakukan shalat istikharah meminta petunjuk-Nya. Jika sudah saling kenal maka lebih baik diterima pinangannya, cinta hadir setelah adanya interaksi yang sering terjadi setelah nikah. Islam sudah teruji ajarannya jadi Insya Allah apa yang disyariatkan tidak akan menjerumuskan ataupun melukai hati siapa pun.”

Aku menerima lamaran Budi karena kutahu apabila lelaki shalih datang melamar maka ditolak akan terjadi fitnah besar. Hanya itu alasan yang kupunya untuk menerima pinangan Budi.

***

Benda bodoh itu sejak tadi memperhatikanku, ikut serta mengingat hari-hariku seminggu yang lalu kini ia menunjukkan pukul 02.30 WIB. Sebuah pesan masuk dari nomor yang kukenal. Firman.

“Aku sangat bodoh, membiarkanmu pergi. Andai saja aku sedikit berani. Tentu aku yang akan menjadi mempelai pria pada hari bahagiamu. Esok takdir itu akan terjadi. Jadilah wanita shalihah sesuai ajaran agama kita! Demi Rabbmu, Barakallahu laka ba baroka alaika wa jamaa’a bainakuma fil khoir, doaku untukmu”

Tangisku menganak sungai. Semoga doa yang diberikan Firman membuatku sadar bahwa takdirku bersama Budi bukan Firman. Semoga malam esok tak akan lagi terasa malam sepanjang malam ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (27 votes, average: 8.93 out of 5)
Loading...

Tentang

Fatimah Azzizah adalah nama pena dari Iyo Yanuar yang dilahirkan di Tangerang, Januari 1986. Sejak bergabung di Writing Revolution penulis mencoba aktif menulis, alumni dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 ini sekarang mengajar IPA Terpadu pada SMPN 1 Panggarangan, Lebak Banten tempat di mana ia tinggal setelah kelulusannya yang tidak lain adalah kampung halamannya. Hobinya berorganisasi, korespondensi, menulis dan baca buku karya Asma Nadia, berharap dan berusaha bisa menjadi seperti sosok idolanya.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization