Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Orientasi Kebaikan

Orientasi Kebaikan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (flickr.com/aremac)

dakwatuna.com – Kehidupan kita, dengan segenap cita dan rasa yang terus menerus kita tunjukkan dalam sikap dan perilaku; adalah buah dari keyakinan diri. Sejak pagi hingga malam, kiranya apa yang telah kita lakukan? Adakah orientasi perilaku dan hati ini tertuju pada kebahagiaan yang bernilai akhirat? Saya teringat dengan nasihat salah satu dosen di satu pertemuan, dua atau tiga bulan yang lalu,

“…Kalau kamu pergi ke suatu tempat, jangan sampai tidak ada orientasi akhirat. Coba bayangkan kalau meninggal di sana, apakah akan bangga dengan catatan amal yang hanya berorientasi kesenangan dunia?”.

Jujur, pas awal mendengar; nasihat tersebut terasa berlebihan.

“Masa, kita tidak boleh refreshing, misalnya sekedar jalan-jalan melepas rutinitas sibuknya pekerjaan?”, tanyaku dalam hati. Namun, setelah dipikir mendalam saya jadi mengerti. Apa iya, Allah hanya ‘iseng’ menciptakan kita di dunia ini? Buktinya tidak. Apa yang ada dalam diri kita; seperti jantung, hati, ginjal, bahkan sampai alis yang terkesan perangkat ‘sepele’ pun dirancang dan dibuat Allah dengan ‘tujuan kebaikan’.

Lalu, apakah kita pantas melangkahkan kaki, berbicara, hingga memikirkan sesuatu dengan tanpa orientasi akhirat? Ya, sejatinya apapun amal yang kita lakukan; entah kuliah, bekerja mencari nafkah, bahkan ‘sekedar’ duduk di bawah rindang pohon untuk melepas lelah; semuanya tidak akan luput dari pengawasan Allah.

Adalah sia-sia, jika waktu yang terluangkan untuk sebuah aktivitas ternyata tidak berbuah pahala. Adalah penghamburan harta, tenaga, dan pikiran, bila diam dan geraknya otot kita ternyata hanya berorientasi dunia.

Cukuplah kiranya, kita merenungi kisah perjumpaan Rasulullah dan Muadz bin Jabal di suatu pagi.

“Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu’adz?”, tanya Rasulullah.

“Pagi hari ini, aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah,” jawabnya.

Mendengar jawaban tersebut, Nabi pun bertanya lagi “setiap kebenaran ada hakikatnya, maka apakah hakikat keimananmu?”

“Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka”, jawab Muadz dengan penuh kemengertian.

“Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!”, seru Rasul yang mengobarkan semangat sahabatnya.

Layaknya Muadz bin Jabal, semoga apa yang kita lakukan saat ini tetap berorientasi kebaikan. Karena, tak sedikit pun kita tahu; satu atau dua menit mendatang Allah akan memberikan keputusan apa bagi kehidupan kita.

“Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan.” (Do’a Muadz bin Jabal)

Credit nasihat to: Dr. Hasim, DEA (Biokimia IPB)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.57 out of 5)
Loading...

Tentang

Terlahir di Brebes, Jawa Tengah. Sembari memberi kuliah, ia juga tengah menyelesaikan program S2 Jurusan Biokimia-IPB. Menyukai sastra berkarakter, penelitian, dan yang berhubungan dengan medis :).

FB: Syaefudin Oz

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization