Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menjadi Buku yang Terbuka

Menjadi Buku yang Terbuka

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (flickr.com/array064)

dakwatuna.com – Jika kita bertanya bagaimana membawa dakwah menuju kemenangan, tentu kita akan mendapati jawabannya pada buku-buku dakwah yang sering kita baca. Jawabannya begitu teoritis, sistematis, dan retoris. Tapi semua buku-buku itu, meski menyajikan jawaban berbeda, tetap saja memiliki ruh yang sama, yakni kembali kepada kualitas keimanan dan keteladanan para rijalud dakwah-nya.

Mustahil rasanya visi besar dakwah akan terealisasi, jika semua itu hanya berakhir pada teori tanpa aplikasi. Laiknya ikut pelatihan berenang bertahun-tahun, tapi tidak bisa-bisa lantaran pelatihnya hanya berkata-kata dan tak pernah menunjukkan action-nya. Lantas, bagaimana jika ada da’i yang perilakunya tidak dapat dijadikan panutan? Bagaimana umat akan melihat Islam ini begitu indah, jika keindahan itu tidak nampak pada sosok kader dakwahnya? Bagaimana Islam ini akan tegak, jika para pelaku dakwahnya belum bersungguh-sungguh menegakkan keislaman pada dirinya?

Saudaraku, mari kita putar kembali potret kemenangan dakwah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil Nabi sangat digandrungi karena kebaikannya. Gelar ’al-amiin’ pun dikantonginya sebagai pengakuan masyarakat terhadap sifat amanahnya. Hingga menikah pun, masyarakat begitu menyeganinya. Orang-orang senang dan menyayanginya. Bahkan Zaid bin Harritsah, anak angkat Nabi, lebih memilih Nabi ketimbang ikut ayah kandungnya yang saat itu tengah menjemputnya pulang.

Keteladanan inilah yang menjadi bekal dasar dakwah Nabi. Sehingga ketika tugas kerasulan itu datang, banyak di antara para sahabat masuk Islam dengan mudah lantaran merasakan kebenaran yang terpancar dari sosok yang telah lama mereka hormati.

Istrinya, Siti Khadijah RA, dengan serta merta menjadi orang pertama di Bumi yang menyambut Islam lantaran meyakini apa yang terjadi pada suaminya tidak mungkin salah alamat. Apa yang membuat istrinya yakin adalah karakter Nabi, yang mana sangat tepat untuk menjalankan amanah besar ini.

Abu Bakar ash-Siddiq tanpa pikir panjang langsung menerima ajakan Nabi karena beliau melihat kebenaran yang terpancar pada diri Nabi. Ali bin Abi Thalib, melihat Nabi dan istrinya sedang shalat, merasa terpesona dan akhirnya masuk Islam. Bahkan pernah ada seorang Yahudi menyatakan masuk Islam karena dirinya begitu kagum terhadap mulianya Islam, yang mana semua itu ia rasakan ada pada sosok Nabi.

Saudaraku, ketika diri kita kering dari keteladanan, sesungguhnya ada apa dengan diri kita? Sudahkah kita ter-tarbiyah dengan sebenarnya? Atau jangan-jangan selama ini tarbiyah cuma menjadi ’sampah’ yang dibuang di catatan dan ingatan, tanpa kita sadar bahwa esensi tarbiyah adalah membuat perubahan positif bagi para pelakunya. Dan itu semua tidak akan terjadi, tanpa adanya upaya menginternalisasikan nilai-nilai Islam pada dirinya kita. Sehingga wajar, mengapa dakwah Nabi begitu sukses adalah karena Nabi telah berhasil menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya dalam menjalankan Islam. Bahkan Siti ’Aisyah RA, istrinya, mengakui pribadi Nabi seperti al-Qur’an yang berjalan.

Perhatikanlah Saudaraku, bagaimana hasil dakwah Nabi yang menghasilkan para sahabat yang militan, tangguh, dan mampu menjadi teladan atau pelopor dalam kebaikan-kebaikan. Dan inilah yang juga membekas pada para salafus shalih dan kemudian berlanjut kepada generasi-generasi selanjutnya. Mereka senantiasa menjadi teladan yang mana ajarannya tak lekang di makan zaman.

Saudaraku, sungguh menarik apa yang disampaikan Dr. Salim Segaf al-Jufri dalam sebuah pengantar buku ”Menuju Jama’atul Muslimin” karya Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir. Beliau menyatakan bahwa Imam Syahid Hasan al-Banna, salah seorang tokoh pergerakan dakwah Islam, lebih banyak ’mencetak’ orang daripada menulis buku.

Suatu ketika Imam Syahid Hasan al-Banna pernah ditanya oleh seseorang, ”Mengapa Anda jarang menulis buku?” Ya, kita tahu beliau memang menulis beberapa buku. Namun untuk seorang pemikir dan pejuang sekaliber beliau, jumlah buku yang ia tulis cukup terbilang sedikit. Bahkan tak jarang buku-buku atas namanya, seperti Majmu’atur Rosail, adalah bukan tulisannya secara langsung. Tetapi hasil ceramahnya di mukhtamar-mukhtamar yang ditulis kembali oleh salah seorang kadernya, yang kemudian dibukukan.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Imam Syahid Hasan al-Banna menjawab, ”Saya ’menulis’ manusia.” Beliau lebih memilih untuk ’mencetak’ kader-kader dakwah ketimbang mencetak buku. Mungkin saja beliau beranggapan bahwa buku-buku itu hanyalah buku tertutup yang hanya dibaca oleh orang-orang rajin semata. Tapi bagaimana untuk masyarakat umum yang luput membaca buku? Untuk itu beliau lebih memilih ’menulis kader’, yang dapat menjadi ’buku-buku terbuka’ yang dengan mudah ’dibaca’ oleh umat melalui kepribadian mereka.

Saudaraku, keteladanan adalah harga mati dalam berdakwah. Keteladanan bukanlah topeng kealiman yang menutupi sosok buruk seorang da’i. Ia adalah wujud kejujuran yang berasal dari keimanan yang jernih dan ketulusan dalam berjuang. Sehingga ia tidak hanya menempel pada lisan belaka, tetapi juga merembes pada pemikiran, perbuatan, hingga seluruh benda yang ada di sekitarnya.

Inilah letak persoalannya. Sudahkah kita, selaku kader dakwah, memberikan keteladanan kepada mad’u kita? Atau bahkan diri kita menjadi penyebab mereka lari gara-gara ’ilfil’ melihat perangai kita yang jauh dari image Islam yang semestinya. Ya, semoga saja tidak.

Mudah-mudahan kita, selaku rijalud dakwah, dapat istiqamah menebarkan keteladanan di jalan dakwah ini, menjadi ’buku yang terbuka’ yang mudah ’dibaca’.

Allahu a’lam…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.31 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization