Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Kasiyat Ariyat

Kasiyat Ariyat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (adlin-life.blogspot.com)

dakwatuna.com – Ini tentang aku, kamu dan cinta kita.

Jujur, aku mencintaimu pada pandangan pertama. Kata orang, “Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.” Hahaha. Kalimat itu tidak berlaku untukku. Faktanya, aku hanya diam. Ya, aku mencintaimu dalam diam. Kata orang itu bodoh. Tapi biarlah, karena aku punya cara sendiri untuk mencintaimu, yaitu dengan diam.

Mungkin, atau barangkali pasti, kau melupakan awal perjumpaan kita. Jika itu yang terjadi, tidak denganku. Aku sangat ingat awal pertemuan itu. Kau ingin aku mengungkapnya? Agar kau ingat? Baiklah.

Kala itu pagi masih buta. Aku baru saja menyelesaikan tugasku: Mengayuh sepeda senja sejauh 10 kilometer dari rumahku di ujung kampung menuju SMA baruku di pusat kota. Ketika aku baru saja ngaso, kau datang dengan pesona keshalihanmu. Ketika itu, kau bersama seorang lelaki. Belakangan kutahu, bahwa lelaki itu adalah calon mertuaku. Hahaha. Maaf, aku bercanda. Sudahkah kau ingat? Atau ingin kuceritakan lebih lanjut?

Kala itu senin. Awal masa orientasi di sekolah tempat kita akan bersaing dan memadu cinta. Ah, maaf lagi. Kali ini aku benar- benar aneh. Dan, biarkan keanehan itu. Sabtu sebelumnya, kau tidak masuk. Kau sedang berada di luar kota, itu berdasarkan keterangan yang kau sampaikan. Karena kau tidak tahu apa-apa, aku yang baru kau temui pagi itu, langsung diberondong dengan aneka warna pertanyaan. Jujur, aku sangat menyukai renyahnya suaramu. Jika krupuk, mungkin bisa langsung kumakan. Sayangnya, senin itu, aku sedang berpuasa.

Lalu, bak mitraliur, atau wartawan yang menemukan nara sumber, kau membrondongku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar masa orientasi siswa yang akan berlangsung selama tiga hari. Sungguh! Ketika itu, pertanyaan yang kau sampaikan langsung kusimpan dalam hatiku. Pertanyaan yang kau sampaikan benar-benar menyentuh hatiku. Jika tidak berlebihan, aku ingin menyampaikan, ‘Kaulah gadis pertama yang ada dalam hidupku.”

Kau sudah ingat? Kalau sudah, biarkan aku melanjutkan kisah.

Oh ya, maaf! Aku belum menceritakan pertanyaan yang kau lontarkan itu. Pertanyaanmu sangat sederhana. Kira-kira seperti ini, “Mas, disuruh bawa apalagi? Perlengkapan apa saja yang harus kusiapkan?” dan seterusnya. Padahal, aku berharap kau bertanya seperti ini, “Mas, namamu siapa? Rumahmu mana? Maukah kau menjadi pacarku?” Dan, pertanyaan cinta lainnya. Tapi biarlah. Aku kemudian menjawab semua soal yang kau berikan, “Disuruh bawa air mineral 60ml tapi tidak boleh ada merk-nya. Papan nama dengan karton yang ditaruh di meja ukuran 20×30 cm, yang digantung di leher ukuran 10 x 30 cm. Oh ya, harus bawa roti. Kemudian topi dari ceting (tempat nasi bagi orang jawa), tas kresek ukuran 5kg. Sudah.” Kala itu, kau mengangguk manis, dengan melempar senyum kau berucap syahdu, “Terima kasih ya Mas.” Sayangnya, yang kudengar lain, “Terima kasih ya Mas. I Love You.”

Kau kemudian pergi dengan lelaki kekar yang menemanimu itu. Aku benar-benar berharap agar ia kelak menjadi mertuaku. Atau, aku menjadi menantunya.

Waktu kemudian memperjalankan kita. Tiga hari kemudian, aku terperanjak ketika melihat namamu bersanding dengan namaku dalam kelas yang sama. Ketika melihat fakta itu, aku tersenyum tipis, sangat manis, sambil berucap lirih,” Nampaknya, Allah memang menakdirkanmu untuk kumiliki.” Kesempatan ini, tidak mungkin kusia-siakan. Bersama denganmu adalah kesempatan emas bagiku untuk menebarkan umpan-umpan cintaku.

Sebelum dilanjutkan, aku ini berkata jujur. Lagi-lagi kukatakan, aku ingin jujur. Agar hatiku lega karena telah mengungkapkan ini.

Aku adalah lelaki berhati karang. Di SMP, banyak sekali gadis yang menaruh hatinya di hatiku. Tapi tak satu pun yang kutanggapi. Meski tidak berharta, jabatan ketua OSIS dan seabreg prestasi di tingkat sekolah, kecamatan dan kabupaten rasa-rasanya merupakan alasan yang logis mengapa banyak kaum hawa yang naksir kepadaku. Aku benar- benar tidak menanggapi rasa yang mereka lempar. Aku ingat sekali dengan pesan ustadzku di madrasah (Sekolah keagamaan), “Jika ingin berprestasi, jauhi wanita. Kau akan sukses.” Pesan itu benar- benar mantra ajaib yang senantiasa terkenang dalam pikir dan hatiku.

Namun, ketika bertemu denganmu, aku mendapati aura lain. Aura keshalihan yang mencerdaskan. Ini fakta yang kutangkap darimu. Fakta yang kemudian menjadi alasan logis mengapa aku berani mencintaimu.

Tinggimu sekitar 170 cm. Tinggi ideal sosok wanita yang ada dalam pikiranku. Tubuhmu semampai. Langsing dan enerjik. Wajahmu oval, bersih dan alami. Aku tahu persis bahwa dirimu tidak suka memakai make up layaknya teman-teman sebayamu. Kau begitu percaya diri dengan bedak tipis untuk menghalau debu.

Dari perkenalanmu kemarin, kutahu bahwa kau adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakmu adalah sarjana teknik di Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia. Kau menyelesaikan pendidikan menengah pertama di pesantren boarding school di bilangan Yogyakarta. Pantas saja, kau begitu lihai dalam hal agama. Ini adalah poin penting. Karena aku sangat menginginkan istri jebolan pesantren yang melek agama.

Otakmu juga encer. Kau pandai fisika, doyan matematika, dan sangat lahap ketika disuguhi kimia. Satu kelemahanmu: Bahasa Inggris. Bagiku, kelemahanmu adalah keuntungan bagiku. Karena aku adalah pakar bahasa inggris. Aku pernah menjuarai lomba bahasa inggris tingkat kabupaten ketika SMP. Aku pun akan dengan senang hati melayani konsultasimu di bidang bahasa. Dan sebaliknya, ketika aku tidak nafsu dengan kimia, aku bisa mendatangimu agar mengolah kimia menjadi menarik, setidaknya sesuai sajian yang kau berikan.

Satu lagi, aku sangat naksir dengan jilbab putih yang selalu kau kenakan. Jilbab itu, bagiku adalah kesejukan. Di tengah ketelanjangan teman-teman yang mengumbar aurat, kau begitu mempesona. Jilbabmu itu lebar, menutup pundak juga dadamu. Ah, aku benar- benar menangis kala mengingat ini. Jilbabmu benar-benar menawan hatiku.

Kukira, alasan-alasan yang kukemukakan sangatlah logis. Aku pun berani mengatakan, “Akan kutaklukkan hatimu, untuk hatiku.”

Waktu berlalu, hingga memasuki akhir semester pertama. Aku masih sama, mencintaimu dalam diam. Aku tidak berani menyatakan isi hatiku. Aku hanya memperhatikanmu dari kejauhan. Aku selalu menunduk saat kau memandangku. Aku selalu diam saat kau bicara. Dan ketika kau diam, aku ingin sekali berkata. Hanya tiga kata, “Aku Cinta Padamu.” Sayangnya, aku tak cukup jantan. Ketika berniat, ketika itu pula aku terdiam. Lidahku seakan tertahan. Kerongkonganku seakan terhenti. Pita suaraku pun menjadi layu. Iya, semua terjadi karena pesona keshalihanmu yang menawan hatiku satu-satunya.

Tibalah pada suatu masa, ketika liburan akhir semester satu. Siang itu, aku sibuk bersama ibu di kebun melati milik tetangga. Aku menjual tenagaku sebagai pekerja pencabut rumput. Ketika aku baru menyelesaikan satu baris, adik keempatku mendatangiku dengan tergopoh. Ia seperti di kejar maling. Tapi aneh, ia datang sambil tersenyum.

Dari jarak tiga meter, ia berteriak, “Mas, pulang! Ada tamu. Dua orang wanita cantik berjilbab. Naik motor. Katanya temannya Mamas.” Ibu hanya member isyarat, tanpa kata, agar aku segera pulang. Di tengah perjalanan, adikku itu berbisik menggoda, “Pacarnya Mamas ya?” Serta merta pipiku merah dan menyembunyikannya dengan menggertak adikku, “Hush! Ngawur aja.” Dia segera berlari sebelum kujewer.

Setibanya di rumah, aku masuk lewat pintu belakang. Sambil ganti baju aku mengintip. Dari hasil intipanku, kulihat wajahmu. Ya. Aku tidak menyangka bahwa kau datang ke rumahku. Aku juga baru ingat kalau hari itu adalah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Eh maaf. Maksudku gubukku, bukan rumahku. Dari intipanku itu pula kulihat tiga sosok temanmu. Dua dari kelas kita, sedangkan satunya seorang lelaki tampan dari kelas sebelah. Kukira, itu adalah pacarmu.

Setelah mengenakan pakaian yang layak, aku menemui kalian. Sedikit basa basi aku lontarkan, demikian juga dengan ceritaku bahwa aku baru saja dari kebun. Sekitar lima menit kalian bercerita, aku hanya mendengarkan sembari mengeluarkan sajian ‘cinta’ ala kadarnya, teh manis dan makanan ringan. Dari perbincangan itu, kuketahui bahwa lelaki itu adalah pacarmu.

Sebenarnya aku bersedih, aku ingin menangis, karena aku tidak berani menyatakan isi hatiku. Kukira, ketika aku bicara padamu, kau akan menerimaku apa adanya. Karena pacarmu itu tidak jauh beda denganku. Bahkan, aku yakin bahwa aku lebih darinya. Lebih pandai dan lebih tampan. Sayangnya, aku tak lebih kaya. Ia bisa memboncengkanmu dengan motor keluaran terbaru sedangkan aku hanya mengayuh sepeda ontel menuju kampus kita yang jaraknya sepuluh kilometer.

Sebelum pulang, kau memberikanku sebuah kado: jam cantik berbentuk Ka’bah. Ah, melihat kado darimu itu, aku langsung berimajinasi, “Andai kau terima cintaku, kita pasti akan berhaji bersama sebagai suami-istri.”

Nampaknya itu hanya mimpi. Kedatangan diri dan pacarmu hari itu, sungguh membuatku patah arang. Aku masih mencintaimu. Tapi aku tetap tak berani untuk sekedar menyatakannya. Anehnya, rasa itu masih saja bertengger di hatiku. Aku, sesungguhnya, masih berharap akan datangnya cintamu.

Memasuki semester kedua, prestasiku semakin menggila. Ditambah bintangku yang semakin cemerlang ketika terpilih menjadi wakil ketua OSIS. Padahal aku baru saja kelas satu. Aku berhasil mengalahkan kandidat lain yang lebih senior. Belum lagi ketika aku mulai menapakkan kaki di tingkat kabupaten. Mengikuti ajang siswa teladan, kemudian menempati posisi keempat. Prestasi yang cukup membuat teman-teman iri. Apalagi dengan terpilihnya aku sebagai penerima beasiswa bakat dan prestasi. Meski sibuk dengan segudang aktivitas, sedetik pun aku tak pernah melupakanmu di hatiku.

Kulihat, kau makin mesra dengan pacarmu. Hampir setiap hari aku mendapati kalian berdua. Di kelas, di kantin, ke masjid, di perpus dan seterusnya. Bahkan, pernah kudapati kalian berboncengan ketika pulang dan pergi sekolah. Aku cemburu. Aku marah. Tapi, Aku Siapa? Ah, lupakan saja kawan.

Akhir semester dua, perpisahanku denganmu semakin jelas. Meski sejak awal, kita juga tidak pernah mengikat hati untuk bersatu. Apalagi dengan dipisahnya kita di kelas yang berbeda. Aku di IPA 2 sedangkan kau masuk ke IPA 5. Anehnya, di tahun itu aku melihat kau mulai tak rukun dengan pacarmu yang pertama itu. Kalian sudah mulai mengatur jarak. Pikirku, ini adalah kesempatan bagiku untuk mendekatimu dan merebutmu untuk benar-benar kutaruh di hatiku. Sayangnya, lagi-lagi aku tak cukup berani untuk sekedar memberikan surat yang telah kutulis sejak enam bulan yang lalu.

Tahun kedua, aku malah naik jabatan. Menjadi ketua OSIS. Semakin sibuk di Rohis, Kepanduan, PMR juga organisasi siswa lainnya. Nyaris saja, waktuku habis untuk kegiatan. Dalam taraf ini, aku benar-benar mengacuhkanmu. Meski ketika kulihat hatiku, namamu masih setia di sana. Ya, keshalihanmu benar-benar membuatku tertawan. Semester keempat, aku berhasil meraih juara satu lomba siswa teladan tingkat kabupaten. Prestasi itu sesungguhnya kupersembahkan untukmu. Sayangnya, kau tidak pernah tahu. Bahkan untuk sekedar mengucapkan selamat pun, kau tak lakukan itu. Herannya, ketika aku ulang tahun yang ke dua puluh, kau tetap mengirimku kado. Kali ini lebih misterius, tanpa identitas apapun. Kau memang pandai mengejutkan.

Pada tahun itu pula, aku melihatmu mulai menggandeng lelaki lain. Kali ini orang yang kau pilih dari jurusan IPS. Tampangnya tajir, motornya keren, orangnya juga atletis. Salah satu atlet di sekolah kita. Ia pandai main bola, bulu tangkis dan olahraga lainnya. Makin hari, kulihat kalian makin mesra saja. Ternyata, kau suka gonta ganti pasangan.

Bagiku, itu tak masalah. Karena yakinku penuh, wanita tergantung siapa lelakinya. Jika kau menjadi pacarku, kuyakin kau akan menjadi lebih shalihah, dibanding sekarang. Sayangnya, lagi-lagi kukatakan, aku tak berani untuk sekedar mengatakan, “Aku mencintaimu.”

Singkat cerita, kita berhasil lulus dengan gemilang. Angkatan kami mengukir prestasi sempurna. Lulus seratus persen dan tercatat sebagai peringkat kedua tingkat kabupaten. Dengan senyum kemenangan, kepala sekolah melepas kami, dengan bangganya.

Lulus merupakan kesuksesan. Tapi, ketika melihat kau bergandengan tangan dengan pacarmu, aku malah merasa gagal. Gagal mengakui apa yang kurasa. Tiga tahun mencintaimu, selam itu pula aku tak berani untuk sekedar mengungkapkan isi hati. Bahkan surat yang sudah kusiapkan tak berani kuserahkan kepadamu. Ya, aku lulus. Tapi aku gagal.

Dari temanmu, kutahu bahwa kau memilih untuk kuliah di kota Apel, Malang. Aku yang dituntut oleh keluarga untuk membantu adik, harus memilih peran sebagai kuli. Ibu kota adalah yang kupilih untuk melabuhkan cita-cita. Di sana, aku diterima menjadi karyawan pabrik di kawasan Jakarta Pusat. Tepatnya di daerah Sunter.

Dua tahun berlalu. Aku masih sering melihat dirimu dalam imajiku. Bahkan, senyummu seringkali bertabrakan dengan senyumku ketika aku sendirian. Renyah tawamu masih terdengar ketika malam mulai merayap dalam hening. Jilbab putihmu itu, seakan berkibar terus dalam pandanganku. Fisikmu memang jauh, tapi hatiku serasa dekat sekali dengan sosokmu. Oh ya, ketika sesekali kulihat hatiku, namamu masih saja berada di sana. Ia dengan enjoy bermain-main di dalamnya. Bahkan, kulihat sesekali kau menyatukan hatimu, dengan hatiku.

Tak ada sedikit pun informasi yang kuterima tentang dirimu dalam kurun tiga tahun itu. Meski demikian, aku berani mengatakan, kau masih ada di hatiku. Mungkin, inilah cinta pertama. Ah, tapi apapula perlunya membahas cinta pertama? Haha

Sampai akhirnya, pada sebuah ruang maya, aku menemukan sosok yang mirip denganmu. Nama dan wajahmu persis. Karena penasaran, aku pun meng-klik akun atas namamu. Awalnya, aku ragu. Takut kalau itu bukan dirimu. Kemudian dengan keberanian yang kupaksakan, aku benar-benar mengajakmu berteman. Tak berapa lama, kau menyetujui permintaan pertemananku. Dari sinilah, cinta yang telah lama kupupuk itu, menguap begitu saja. Hilang tak berbekas.

Sore itu, sepulang kerja. Aku sangat penasaran dengan sosokmu yang baru itu. Aku pun memberanikan diri untuk membongkar akun atas nama dirimu itu. Yang kutuju pertama kali adalah kumpulan fotomu. Ada foto profil dan foto dinding. Ketika semua gambar ku-klik, aku terperanjat bukan kepalang. Istighfar sejadi-jadinya. Perutku mual, ada rasa jijik. Aku sungguh tidak menyangka bahwa akun itu benar milikmu.

Tampilanmu kini, sudah sangat berbeda. Jilbab putih itu sudah kau lepas. Rambut panjang itu, sudah kau potong seperti lelaki. Rok rapi itu, kau permak. Tingginya sekitar lima sentimeter dari lutut. Artinya, (maaf) pahamu terbuka. Siapa pun bisa menikmati untuk memandangnya. Gamis panjang dan kemeja yang dulu melekat di tubuh rampingmu, kini kau ganti dengan kaos kekecilan sehingga nampaklah lekuk tubuhmu. Yang paling mengherankan, ada foto-fotomu dengan pose sangat terbuka di sebuah pantai. Di sana kau senyum-senyum di depan kamera. Mempertontonkan indahnya tubuhmu. Meski masih berbusana, Hadits menyebutmu dengan, Kasiyat Ariyat, Berpakaian tapi Telanjang. Na’udzubillah. Aku, sungguh tidak mengira. Bahwa kau adalah yang kucinta.

Dalam lirih, aku hanya berdoa, semoga Allah kembali memberimu hidayah. Selamat tinggal cinta…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (14 votes, average: 9.71 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis, Pedagang dan Pembelajar

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization