Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyikapi Cinta di Kalangan Aktivis Dakwah

Menyikapi Cinta di Kalangan Aktivis Dakwah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Innalillahi
Sosok mengagumkan itu kembali terngiang dalam memori…
Si cerdas, tangguh, bijak dan entah apa…sepertinya aku butuh kata baru untuk menggambarkan ke-luarbiasa-annya…
Aku kembali lagi kagum dan kagum, hanya dapat mengaguminya… astagfirullah…. tipu daya syetan itu ya Allah… astagfirullah.

Ilustrasi (kawanimut)

dakwatuna.com – “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”(QS. Ali-Imran: 14)

Sebagai aktivis dakwah sudah pasti, ujian dalam mengarungi samudra kehidupan dakwah ini tidaklah akan mudah. Beragam tantangan gulungan ombak penghalang akan terus datang. Menerpa perjalanan hingga kelak kita sampai di finishnya. Dengan porak-poranda mungkin, basah kuyup, ya itu sudah pasti. Namun bagaimana pun, itu semua akan dan harus dilalui.

Cinta. Rasanya ini merupakan salah satu ujian berat yang harus dilalui kita para aktivis dakwah. Cinta dalam konteks sebuah rasa ‘manusiawi’ yang timbul antar dua insan yang berlainan jenis. Layaknya cinta Adam dan hawa, cinta Yusuf dan Zulaikha, cinta baginda Rasulullah dan ibunda Siti Khadijah. Rasa ini tentunya sangat rentan sekali untuk kita para aktivis dakwah thulabi yang kesehariannya senantiasa dihadapkan pada kenyataan dan keharusan kita berinteraksi intensif antar lawan jenis sesama aktivis dakwah.

Tentunya tidak dapat dipungkiri, bahwa cinta akan timbul karena terbiasa. Terbiasa beramal jama’i bersama, terbiasa menyelesaikan berbagai persoalan dakwah bersama, terbiasa saling mengingatkan dalam kebaikan bersama, bahkan mungkin terbiasa menangis bersama dalam berbagai muhasabah tiap agenda. Merasai bersama pahit manis, asam-garam kehidupan dakwah kampus atau sekolah dalam kurun waktu yang tidak bisa dibilang sebentar. Tentu benih-benih itu tanpa ditanam dan disiram pun akan tetap bertumbuh.

Tidak ada yang salah atas itu semua. Bukan hal yang salah jika kita jatuh cinta. Bahwasannya aktivis dakwah pun juga hanya manusia biasa bukan? Maka jangan salahkan cinta, pun jangan pula terbebani dengannya, apalagi sampai berusaha untuk membunuhnya. Karena sejatinya dia adalah fitrah. Dan fitrah cinta ini adalah persoalan bagaimana kita dalam menyikapinya.

Beberapa baris kalimat pembuka di atas sangat mungkin pernah terbesit dalam hati-hati kita. Ketika melihat sosok aktivis militan yang pesona keimanannya begitu memancar. Keshalihan pribadinya begitu nampak. Pemikiran briliannya selalu menyempurnakan kerja-kerja dakwah. Ditambah aura kepemimpinannya yang bijaksana lagi tegas. Salahkah jika muncul rasa itu? Sekali lagi tidak. Bukan perasaan itu yang salah, melainkan pilihan langkah kita yang sering kali salah dalam menyikapinya.

Lantas apa dan bagaimana cara kita untuk menyikapinya?

Seorang ustadz pada siarannya di salah satu radio dakwah pernah menyampaikan, bahwasannya benar, cinta datang dari mata turun ke hati, dari pendengaran turun ke hati. Maka jagalah keduanya ini. Jagalah dengan sungguh-sungguh seluruh indera yang dikaruniakan olehNya. Menjaganya dengan sebenar-benar penjagaan dan memohon pada pemiliknya dengan segala kerendahan dan penghambaan untuk senantiasa menjaga hati kita tetap pada koridor yang diridhai-Nya. Menjaga pandangan untuk menjaga hati (ghodul bashar ilaa ghodul qulub). Maka hal penting pertama adalah ini, jangan pernah sepelekan hal ini.

Kemudian sadarilah. Bersegeralah ‘menyadarkan diri’, bahwasannya semua rasa yang timbul itu adalah fana, maya, semu. Rasa itu timbul oleh karena adanya sebab. Maka seiring dengan hilangnya sebab-sebab yang mengharuskan kebersamaan dan ke-terbiasa-an tersebut, maka akan menyertai pula hilangnya perasaan yang pernah bertumbuh itu. Cepat atau lambat pun rasa itu akan berkurang lalu hilang.

Lalu yakinlah. Bahwasanya jelas janji-Nya dalam Al-Quran. Telah Ia siapkan laki-laki baik untuk perempuan-perempuan baik, pun sebaliknya. Jika dalam al-huda itu pun telah jelas tertulis, maka masih adakah alasan kita untuk meragu?

Mari sibukkan diri dalam perbaikan. Meningkatkan kualitas diri dan berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan satu yang terbaik yang telah disiapkan oleh-Nya untuk masing-masing dari kita. Jangan biarkan tipu daya syetan itu memonopoli hati dan pikiran kita. Menjerembabkan diri kita ke jurang nista.

Wallahu’alam bishshowab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (41 votes, average: 9.68 out of 5)
Loading...

Tentang

saya suka menulis, dan ingin bermanfaat karenanya. Yakin yakin Smangat!

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization