Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Jenazah (Ingatan dalam Ingatan)

Jenazah (Ingatan dalam Ingatan)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Taman Pemakaman Umum (pianisbelel.blogspot.com)

Mencoba mengingatkanku lagi, suatu saat manusia pasti akan terkulai lemah; menjadi jenazah.

dakwatuna.com – “Buku Pintar Calon Penghuni Surga; Mempersiapkan Kematian Menuju Kehidupan Akhir yang Bahagia”, karya Khozin Abu Faqih, sangat menyentak jiwa. Buah pena setebal lima ratusan halaman ini memacu ghirah kita untuk berusaha menggapai khusnul khatimah.

Kematian? Aku jadi teringat ketika ibuku wafat. Kepergiannya begitu tiba-tiba. Mengejutkan. Menghilangkan seluruh bahagia. Saat itu, aku masih kuliah di Malang, Jawa Timur. Masih terekam apik dalam memori; sehari sebelum kematiannya aku sempat berkomunikasi dengan beliau via telepon. Ada tawa dan canda dalam komunikasi kami. Dan, tentu saja, ada wejangan yang selalu disampaikannya padaku: Jangan lupa shalat tepat waktu!

Tak dinyana, dini hari Kamis 7 Desember 2006, pesawat selulerku berdering. Barangkali itu dering telepon paling menyentak jiwa dalam hidupku. “Ibu meninggal saat mau tahajjud. Kamu harus segera pesan penerbangan pertama dan cepat pulang ke Jakarta.” Tentu saja, mendapat kabar itu, aku bagai orang gagap. Lagi tidur nyenyak dikabarkan berita duka. Dikabarkan berita kehilangan salah satu ‘tiket surgaku’, ibu.

Sekembalinya ke rumah dan menatap jenazah beliau yang terakhir ada duka mendalam, ada pula terselip bahagia. Duka dimana kehilangan seorang yang sangat aku cintai dan terselip bahagia manakala menatap senyum mengembang dari bibir ibu. Senyum itu sejuk. Sejuk sekali. Lalu, kakakku menghampiri dan membisikkan, “Kita harus ikhlas. Insya Allah ibu wafat khusnul khatimah. Ibu wafat setelah mengambil wudhu dan berniat shalat tahajjud seperti kebiasaannya.” Senyum terakhir ibu dan bisikan kakak, seolah mampu menjadi pembalut duka dalam hati.

Mengingat peristiwa itu, ingatanku seperti ditarik pada kejadian beberapa waktu lampau. Memori kecilku berputar, mencari, dan berhenti pada satu peristiwa kecelakaan motor. Saat itu, salah satu pengendara motor, mungkin, kurang beruntung. Ia tergeletak di ruas jalan raya. Dikerumuni puluhan orang. Aku penasaran. Khawatir, korban tersebut kerabat atau keluargaku. Nafasku lega, ternyata korban yang berjenis kelamin pria itu tak kukenali.

Namun, kelegaanku tak berlangsung lama. Jantungku berdetak. Keras sekali. Yah, meski bukan orang yang kukenal, tapi rasa penasaran untuk melihat korban begitu besar. Barangkali ini bawaan naluri jurnalis. Entahlah… Di tengah penasaran, ku hampiri pria yang telah ditutupi koran itu.

Deg! Masya Allah. Begitu korannya ku buka, kondisi korban begitu mengenaskan. Rahang kirinya menganga sekitar lima sentimeter. Kulitnya terkelupas. Darahnya masih mengalir. Deras. Bagian rahang itu jatuh ke aspal. Tak lagi menyatu. Warga yang melihat ada yang berteriak. Sebagiannya lagi mengucap Takbir. Ku berusaha mengembalikan potongan kulit itu, tapi jatuh lagi. Aku sempat bingung, darahnya masih saja mengalir tapi bukan dari depan. Kucuran darah itu berasal dari bawah kepalanya.

“Mas, darahnya masih ngucur, tuh. Coba angkat kepalanya! Mungkin bisa diberhentikan,” kata seorang di belakangku. Aku tak mau melakukannya. Karena tak tega menyakiti. Tak lama aparat meluncur. Dua petugas kepolisian memeriksa jenazah itu.

Dan, kepala korban diangkat. Astaghfirullah. Ada lubang di bagian belakang kepalanya dengan diameter sekitar tiga sampai empat sentimeter. Ternyata sumber darah yang mengucur berasal dari lubang itu. Kata para saksi; si pengendara sempat terjungkal ke atas dan kepalanya menancap ke pagar yang berada di trotoar. Kemudian korban terhantam motor di belakangnya. Selang beberapa menit, petugas berhasil mengamankan lokasi. Tapi aku masih berada di samping korban. Jenazah itu dikembalikan dalam keadaan serupa. Terlentang.

Tapi… Jantungku kembali berdetak. Lebih kencang. Melihat raut wajah korban yang memancarkan ketakutan. Bisa juga menandakan kesakitan. Matanya melotot. Belum bisa dipejamkan. Ku usap berulang-ulang. Masih belum terpejam. Ku coba panjatkan doa. Kedua bola matanya kembali ku usap. Masih tak terpejam. Mendelik. “Ya Allah, semoga jenazah ini Kau ampuni. Semoga sakaratul mautnya menjadi penebus dosanya. Mohon, tutuplah mata itu,” lirihku dalam hati. Alhamdulillah, doaku dikabulkan. Matanya mampu menutup sempurna.

Aku sama sekali tak bermaksud membuka aib jenazah pengendara motor. Sebaliknya, aku masih memiliki keyakinan meski fisik luarnya mengenaskan, bisa jadi ia menutup kalimat terakhirnya dengan Syahadat, amin. Bisa juga cara kematiannya menjadi penghapus dosanya di dunia, amin.

Di saat petugas mulai memeriksa, aku mundur. Sedikit menjauhi jenazah itu. Tapi bola mataku masih menatap wajahnya. Ingatanku terbawa lagi. Seperti berlari. Lebih cepat. Aku masih menatap wajahnya. Kali ini sambil berdiri; tapi ingatanku menerawang pada kejadian lain di tahun-tahun sebelumnya. Kejadian di saat-saat menyaksikan seseorang di kala sakaratul maut, di saat baru wafat dan atau di saat telah wafat hingga menjadi bangkai.

Dan, tiiiiiinggg… Tiba-tiba layar memoriku buram. Tak lagi mengingat kejadian-kejadian itu. Aku terhenyak. Suara Ambulance memecah lamunan. Ingatanku kembali fokus pada jenazah korban kecelakaan motor di depanku. Aku tak tau secara pasti. Berapa lama ingatanku berkelana.

Jenazah itu dibawa petugas. Kemudian, puluhan warga yang berkumpul, satu per satu bubar tanpa dikomando. Kala itu, jantungku masih berdetak. Namun, lebih pelan. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.

“Buku Pintar Calon Penghuni Surga” itu, telah mengingatkanku kembali tentang sebuah kematian. Kita tentu akan menjadi jenazah. Entah di darat, udara, atau laut. Dan, entah kapan ajal itu tiba. Bisa dalam kecelakaan, dalam perang, dalam damai, saat perjalanan, dalam tidur, atau di atas meja kerja. Ah, semoga saja bisa wafat di depan Ka’bah, atau bertemu Izrail dalam derajat Syahid, amin amin.

Suatu saat aku pasti dijemput ajal. Kita semua. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahui bagaimana cara kematian kita. Tak ada yang mampu menjamin akhir hayat kita bisa ditutup dengan tersenyum, tenang, dan menunjukkan kebahagiaan. Sekalipun Presiden atau ulama. Sebaliknya, bisa saja meski menutup hidupnya dengan senyum tapi dirinya dalam keadaan tak beriman. Na’udzubillah.  Ku selalu berdoa dan berharap kita semua bisa dijauhi dari kematian dalam keadaan mata melotot, lidah menjulur, tanpa iman, tanpa bekal apapun.

Mari siapkan kematian. Semoga akhir hayat ini mampu ditutup dengan khusnul khatimah, bukan su’ul khatimah. Mampu ditutup dengan bekal yang laik, iman yang tebal, serta menghadap Sang Khaliq dengan wajah yang sumringah. Penuh kebahagiaan. Kerinduan membuncah. Seperti jenazah ibuku. Lemah. Tak berdaya. Tapi masih menyunggingkan senyum sejuknya.

Syukur bila kita bisa diwafatkan seperti tokoh-tokoh yang diabadikan dalam dalil Quran, Sunnah, atau cerita yang dikisahkan dalam tausiyah-tausiyah para Ustadz tentang cara kematian calon penghuni surga. Pada akhirnya tak ada masalah yang patut dikhawatirkan, kecuali hanya mengkhawatirkan bagaimana kita menyiapkan kematian.

Pada saat yang sama, semoga kita bisa bersyukur dalam kondisi apapun jua. Bukankah Maha Aziz telah bertanya, “Fabiayyi alaa irabbikumma tukadziban?” Demikian Firman yang diulang-ulang dalam Ar Rahman.

Rabbighfirlanaa wali walidinaa warhamhumnaa kamaa rabbayanaa shigarah. Allahumma hawwin alainaa fii sakaratul maut. Wamaghfiratan ba’dal maut… Allahumma innaa naudzu bika min adzabi jahannam wamin  adzabil kubur wamin fitnatil mahya walmamaat waminsyarri  fitnatil massahid da’jjal. Amin.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (22 votes, average: 8.82 out of 5)
Loading...

Tentang

Jurnalis.

Lihat Juga

Bersama PT. SMI, IZI Selenggarakan Pelatihan Pengurusan Jenazah

Figure
Organization