Topic
Home / Berita / Opini / Dua PR Umat Islam

Dua PR Umat Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (RoL)

dakwatuna.com – Perputaran bulan pada porosnya telah membawa kita pada penghujung akhir tahun Hijriyah. Diikuti dengan mulai berakhirnya ritual ibadah penyempurna dalam rukun Islam, haji. Tanpa terasa umat Islam akan mengurangi satu tahun kontrak hidup mereka di alam dunia ini. Lalu pertanyaan besarnya adalah seberapa banyak perkembangan dan kemajuan yang telah diraih umat ini dan kekurangan apa saja yang harus diperbaiki dalam menyongsong sisa waktu mereka.

Ada baiknya kita sisihkan sebagian waktu untuk berintrospeksi diri bersama dan mengukur kadar umat yang kita agungi ini. Bukankah agama kita juga selalu mengajarkan untuk selalu mengintrospeksi diri sebelum kita diperiksa pada hari yang tidak berguna lagi harta dan anak, hari kiamat.

Secara garis besar ada dua ”PR” (pekerjaan rumah) pokok yang harus diselesaikan untuk membangkitkan umat yang masih “tertidur” ini. Pertama adalah ketidaktahuan (‘adam al-ma’rifah) dan kedua adalah kemiskinan (al-faqr). Bila kita membahas tentang ketidaktahuan maka kita akan menemukan  perbedaan yang sangat jelas dan mencolok antara negara Muslim dan non-Muslim. Ketidaktahuan dan kemiskinan kian menyebar di negara-negara muslim termasuk di negara kita yang bernotabene sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak. Berbeda dengan negara non-muslim yang kian maju dan berkembang. Bahkan dalam sebuah survei, Israel pernah dinobatkan sebagai negara terbanyak yang memiliki penduduk dengan lulusan strata tiga (doktor), lalu bagaimana dengan umat Islam?

Dalam pemilihan dua kata di atas penulis lebih memilih kata ketidaktahuan (‘adam al-ma’rifah) dibanding buta huruf (al-ummi) atau kebodohan (al-jahl). Alasannya karena kata al-ummi (buta huruf) sendiri termasuk sifat yang dinisbahkan pada baginda Nabi Muhammad SAW. Namun satu hal yang perlu diperhatikan bahwa seluruh sifat dan gambaran yang ada pada Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah kesempurnaan dan bukan  menjadi sebuah kekurangan, berbeda jika sifat-sifat ini terdapat pada manusia selainnya. Sebagai contoh adalah sifat al-ummi (buta huruf) yang ada pada Nabi menunjukkan kemuliaan beliau dan sebagai bantahan bahwa Al-Qur’an karangan beliau, ia memang murni firman Allah dan kitab suci yang tidak diragukan lagi otentisitasnya. Bisa dibayangkan bagaimana jika Nabi terlahir dengan memiliki kepandaian dalam membaca dan menulis maka hal itu bisa menjadi senjata orang-orang yang tidak senang dengan Islam untuk meruntuhkan keontetikan Islam dan Al Qur’an sebagai kalam Ilahi.

Jika kita lebih meneliti makna al-ummi (tidak dapat membaca dan menulis) maka ia merupakan antonim dari orang yang bisa membaca dan menulis bukan antonim dari orang yang mengetahui segala ilmu dan pengetahuan karena barangkali orang yang dapat membaca dan menulis tidak mengetahui banyak hal, berbeda dengan Rasul yang tahu segala sesuatu khususnya masalah syariah dan ghaib. Maka tidak tepat jika sifat al-ummi (buta huruf) yang ada pada Nabi menjadi kaca perbandingan sebagai kekurangannya namun sebaliknya ternyata sifat ini menjadi kesempurnaan dan kemuliaannya. Karena sebuah kelebihan belum tentu menunjukkan adanya keutamaan (al-maziyyah la taqhtadhi al-afdholiyah).

Penulispun lebih memilih kata ketidaktahuan (‘adam al-ma’rifah) dibanding kata aljahl (kebodohan) karena kata terakhir ini lebih berkonotasi “merendahkan dan cacian” maka ia kurang tepat jika disandarkan pada saudara-saudara kita sesama Muslim. Dalam hal ini bukankah Nabi pernah berpesan bahwa mencaci seorang muslim adalah sebuah kefasikan dan membunuhnya adalah sebuah kekufuran. Karena itu seorang muslim tidak layak memiliki sifat bodoh (jahl) namun ia hanya tidak tahu (adam al-ma’rifah). Kita juga sering mendengar bahwa masa sebelum Nabi Muhammad diutus dikenal dengan masa jahiliyah (kebodohan) padahal mereka tidak bodoh dalam segala aspek bahkan mereka terkenal dengan ketangguhan dalam bersya’ir dan sastranya, namun kebodohan hati dan akidahlah yang membuat mereka terkenal dengan kejahiliyahannya.

Adapun kata al-faqr (kefakiran), ia memiliki dua pengertian, ada yang baik dan ada yang buruk. Adapun kefakiran yang baik seperti kefakiran seorang hamba pada Tuhannya, “Wahai manusia kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji” (QS Fathir [35]: 15). Adapun kefakiran yang berarti buruk adalah kefakiran pada para makhluk (selain Allah), karena standar kefakiran dan kekayaan adalah kekayaan diri, maka seorang dapat dikatakan kaya jika dia memiliki diri yang kaya walau pada kenyataannya dia tidak memiliki uang atau harta yang melimpah, begitupun sebaliknya, seorang yang terlihat hartawan dan miliuner akan disebut seorang yang fakir jika ia tidak kaya diri.

Pembicaraan selanjutnya adalah siapa dan bagaimana mengatasi dua problem umat ini? Akhir-akhir ini kita temukan beberapa gerakan revolusi terjadi di beberapa tempat khususnya di negara-negara Arab dan timur tengah. Kondisi ini salah satunya berangkat dari keinginan mereka untuk merubah kondisi umat dan menyelesaikan dua persoalan besar umat ini. Walau kita amini bahwa kediktatoran akan selalu menghalangi pertumbuhan dan kebangkitan suatu bangsa baik dari sisi keilmuan, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Ia hanya menyebarkan kegelapan, kezhaliman dan kesengsaraan. Lalu pertanyaannya adalah apakah hanya dengan meruntuhkan para pemimpin “diktator” akan dapat menyelesaikan ini semua, atau hanya menimbulkan permasalahan baru yang tak kunjung berakhir.

Ada sebuah paparan menarik yang disampaikan oleh DR. Yusri Jabr (seorang pengajar kitab Shohih Bukhori di masjid Al-Azhar Kairo) dalam hal ini. Beliau berkesimpulan bahwa solusinya bukan hanya terdapat pada perubahan para pemimpin dan pemegang kekuasaan tapi yang terpenting adalah perubahan para rakyat dan umat Islam semua. Dengan perubahan yang dimulai dari diri sendiri maka akan timbul perubahan yang diharapkan. Aslih nafsak yasluh ma kanan al-nas (perbaiki diri anda maka keadaan manusia akan membaik).

Setiap orang berusaha memperbaiki hubungan mereka, baik dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan orang lain. Perubahan ini kian terasa penting dengan melihat bahwa seorang muslim adalah gambaran, standar dan barometer muslim yang lain. Rasul pernah berpesan bahwa seorang muslim adalah kaca perbandingan saudaranya. Jika seorang pemimpin dzalim dan berlaku tak adil maka hal itu bukanlah murni kesalahan mereka namun para rakyat pun perlu berintrospeksi diri, karena kedzaliman sang penguasa tidak semata-mata karena dirinya namun juga dipengaruhi oleh sikap dan prilaku para rakyatnya yang zhalim juga. Kondisi ini telah Allah gambarkan dalam kitabNya:

وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسبون

 “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang dzalim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.”

Dari sini kita semakin paham bahwa perubahan umat dan seluruh tugas-tugasnya tidak dapat diselesaikan hanya dengan mencari-cari kesalahan orang lain dan menyalahkan undang-undang namun kita lupa faktor terbesar dan kunci semua perubahan yaitu diri kita sendiri. Gambaran ini dapat kita temukan dalam kitab “Lubab al-bab” yang patut untuk kita resapi dan cermati bersama, “Sikap mencari kesalahan orang lain, sama dengan seekor lalat yang  hanya mencari bagian tubuh yang terluka dan bau saja. Sementara ia meninggalkan bagian lain yang sehat”. Dari sana kita juga akan menemukan pesan agung baginda Rasul bahwa siapa saja yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.

Setelah terbentuk kesadaran untuk merubah semuanya dengan diawali dari diri sendiri maka perhatian selanjutnya tertuju pada bagaimana peningkatan mutu dan etos kerja umat ini sendiri. Hal ini yang selalu dikampanyekan oleh Presiden ketiga kita (Prof. DR. BJ Habibie) dalam berbagai forum baik nasional dan internasional. Hal ini senada dengan pesan Ilahi yang ada pada Surat Al-Mulk ayat kedua yang berbunyi:

ليبلوكم أيكم أحسن عملا

 “Untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya”.

Dari sini kita paham bahwa sebenarnya Islam telah meletakkan dasar-dasar kesuksesan yang bisa ditempuh oleh para Muslim untuk mencapai cita-cita mereka. Konsep berupa pemusatan perhatian pada mutu dan etos kerja atau mendahulukan kualitas dari kuantitas telah dikenal umat Islam jauh sebelum orang barat dan negara Eropa melakukan revolusi Prancis dan revolusi industri.

Di kesempatan lain DR. Yusri Jabr juga memberi lampu terang dalam memecahkan kondisi umat ini.  Jawaban semuanya hanya terdapat dalam tiga huruf, qhof, nun dan ‘ain (قنع). Kemiskinan akan dapat diatasi dengan qho, na, ‘a (قنَع) -dengan membaca fathah huruf nunnya- yang berarti ridha dan rela. Maka tak heran jika seorang penyair Arab menggambarkan bahwa seorang yang memiliki hati yang ridha, rela dan nerimo (qana’ah) sama seperti raja di dunia ini, karena dia selalu bersyukur dan tak pernah merasa kekurangan. Namun yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah bahwa keridhaan dan kerelaan yang dimaksud di atas terjadi setelah melalui proses usaha dan kerja keras bukan hanya pasrah menunggu nasib.

Adapun ketidaktahuan dapat diatasi dengan kata qho, ni, ‘a (قنِع) dengan membaca kasroh huruf nunnya yang berarti mencari dan bertanya. Maka tak jarang para ulama selalu berpesan bahwa kunci ilmu adalah selalu bertanya (miftahul ilmi lisanun saul). Ditambah dengan masa menuntut ilmu yang tak pernah ada kadaluwarsa, dari buaian hingga liang lahat (minal mahdi ila lahdi).  Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat bermanfaat dan memberi sedikit kontribusi untuk umat ini. Amin.

Wallahu wa Rosuluhu ‘ala wa ‘alam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.63 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar dan Mahasiswa Akademi Al-�Asyiroh Al-Muhammadiyah �Kairo.

Lihat Juga

Bagaimana Nasib Orang Miskin?

Figure
Organization