Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Benalu

Benalu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (nyepsycho.wordpress.com)

dakwatuna.com – Tahmidku bergemuruh. Alhamdulillah berkali-kali, tak terhitung berapa banyaknya. Haruku mencapai puncak yang kemudian bersambut tangis. Tangis bahagia. Bagaimana tidak? Berdasarkan informasi dari ‘Suara Merdeka’ pagi itu, aku diterima di kampus favorit di kotaku, Universitas Diponegoro Fakultas Hukum. Ini merupakan kejutan yang Allah berikan setelah Aku berdarah-darah dalam belajar agar bisa mengerjakan soal ujian masuk.

Sesaat setelahnya, bahagia itu berubah menjadi cemas. Simalakama. Diterima maknanya sukses, diterima maknanya juga bencana. Karena untuk masuk ke dalam fakultas itu, ayah harus menjual sawah yang selama ini menjadi sumber penghidupan kami. Tak ayal, Empat kakakku secara kompak menolak usulan konyol itu. Mereka semua sependapat: Jika sawah itu dijual, keluarga kami akan hidup dari mana? Apatah lagi dengan warung ibu yang semakin sepi pengunjung. Maklum saja, zaman kapitalisme seperti ini benar-benar membuat pedagang kecil seperti ibu serasa tercekik setiap detiknya. Apalagi dengan adanya ritel-ritel berbentuk mewah dengan harga murah. Kios kami yang kumuh dan apa adanya pastilah ditinggal begitu saja oleh pembeli.

Tapi ayah tetap nekat, ia tidak menghiraukan sedikit pun kicauan keempat kakakku. Sawah yang semata wayang itu dijual demi keberlangsungan pendidikanku. Sebuah opsi yang kemudian menjadikan aku dicap sebagai ‘benalu’ oleh keempat kakakku. Malam itu, aku menangis. Kenapa Allah menakdirkan ini untukku?

Dengan modal sepetak sawah itu, esoknya aku diantar oleh kedua orang tuaku berangkat menuju kota lumpia, tempatku untuk merenda masa depan yang cerah. Ayah dan ibuku berpakaian serba batik. Wajahnya sumringah, seperti baru saja mendapat undian. Aku tahu, dibalik sumringahnya itu tersimpan sebuah kekalutan akan kelanjutan hidup. Karena menjual sawah berarti menjual sumber penghidupan. Siang itu, beliau berdua berniat mengantarkanku sampai di kampus dan mencarikan kontrakan untukku.

Jujur, aku sangat bergembira dengan apa yang kualami. Diterima di universitas yang cukup bergengsi di provinsi kami merupakan sebuah isyarat bahwa kelak aku akan menjadi orang sukses. Dengan pakaian gamis pemberian ibu lebaran tahun lalu, aku memasang wajah yang tak kalah sumringahnya. Meski keempat kakakku memicingkan mata sinisnya. Aku pura-pura tidak menghiraukan apa yang mereka lakukan.

Empat jam berlalu, kami tiba di kota itu dengan selamat. Lancar tanpa kendala sedikit pun. Karena hari sudah hampir senja, kami bersegera mencari masjid untuk menunaikan shalat Ashar. Ashar kala itu, Ayah mengimami kami dengan khusyu’. Lama sekali beliau melakukan munajat. Beliau seperti tengah memohon sesuatu untuk kami, keluarganya. Setelah shalat usai, air mataku tak kuasa dibendung, ketika kusalami tangan ayah dan ibu, air mata itu tumpah tanpa pamit. Ibu yang memahami semuanya, langsung menaruhku dalam dekap hangatnya.

Karena tidak mau kemalaman, kami langsung beranjak menuju kampus dan mencari kontrakan di dekat kampus. Tepat ketika adzan Maghrib, kami sudah berhasil mendapatkan kontrakan. Alhamdulillah, lokasinya tidak lumayan jauh. Untuk menuju ke sana, aku harus melewati dua tanjakan yang cukup terjal. Setelah menaruh barang- barang di kontrakan, ayah dan ibuku bergegas shalat Maghrib untuk kemudian langsung pulang ke kampung. Lagi-lagi, air mataku tumpah ketika mencium wangi dan mulianya tangan kedua orang tuaku itu.

Dalam peluk yang beriring sesenggukan, ayah berujar kepadaku, “Baik-baik di rantau. Raih mimpi setinggi mampumu. Jangan lupa shalat dan baca Al Qur’an. Sempatkan untuk tahajud semampumu. Ingatlah! Allah akan memberkahi siapa saja yang dekat denganNya. Jangan hiraukan sikap ke-empat kakakmu. Jadikan kebenciannya sebagai motivasi agar kau melakukan yang terbaik. Buktikan bahwa kau tidak mengecewakan kami. Buktikan bahwa kau bukan benalu. Ayah melakukan ini karena yakin, bahwa kau akan menjadi ‘penyelamat’ keluarga kita. Bukan hanya penyelamat dunia melainkan juga akhirat. Tuntutlah ilmu setinggi mungkin untuk mengangkat derajatmu juga derajat keluarga kita. Ayah hanya punya doa, tidak lebih.”

Nasihat itu benar-benar mengalir, tidak hanya di telinga, melainkan juga di seluruh aliran darah dan jiwaku. Aku benar-benar terbakar dan ingin segera membuktikan bahwa aku bukanlah benalu seperti yang dijulukkan oleh keempat kakakku. Ibu yang terharu hanya diam, beliau memeluk diriku bergantian dengan ayah. Ujarnya lirih, “Aku yakin nak, sukses akan bersamamu kelak.”

Keduanya pun berpamit, meninggalkanku sendiri di belantara rantau. Konon, perantauan itu sangat keras. Ah, senyum dan lambaian kedua orang tuaku itu rasanya cukup untuk menemaniku di negeri rantau ini. Dengan Bismillah yang kuhayati, kumantapkan hati untuk memberi bukti atas harapan ayah dan ibuku. Dan, ingin membuktikan bahwa aku bukanlah benalu.

***

Senyum dan lambaian tangan kedua orang tuaku itu benar-benar menguatkan. Aku benar-benar gila belajar, pagi, siang, sore bahkan malam sekalipun aku selalu berduaan dengan buku.

Di sepertiga malam terakhir, aku beranjak dari hangatnya kasur tipis untuk menuju tempat wudhu. Aku bergegas membersihkan diri untuk kemudian menghadap Rabbi. Ini adalah waktu yang sangat kutunggu setiap harinya, waktu ketika aku merasa berdua saja denganNya. Ketika itu, aku menumpahkan semuanya. Aku bercerita dan menangis habis-habisan dalam sujud-sujud panjangku. Setelah selesai, aku membaca beberapa lembar Al Qur’an untuk melengkapi bekal ruhaniku. Agar aku kuat dalam mengarungi belantara rantau yang memang sangat tidak bersahabat bagi mahasiswi pas-pasan sepertiku. Barulah kemudian aku belajar hingga adzan subuh berkumandang.

Hampir setiap malam, ritual itu kujalankan dengan sungguh-sungguh. Pesan ayah ketika itu masih terngiang dengan jelas. Dan aku percaya, hanya kedekatan dengan Allahlah yang bisa membuatku kuat.

Aku adalah tipe wanita yang tidak mau diam. Di sela kesibukan kuliah, aku menyempatkan diri untuk bergabung dengan aktivitas dakwah kampus. Aku masuk dalam barisan kerohanian Islam. Karena kevokalanku dalam berargumen, akupun kemudian direkrut menjadi salah satu pengurus bidang Sosial Politik. Setelah pengangkatan itu, cerita kehidupanku mulai berubah.

Semester pertama, Indeks prestasiku nyaris sempurna 3,9. Dengan bangga kukirim pesan singkat kepada ayah dan ibu di rumah, “Pak, Bu, berkat doa kalian berdua, nanda bisa mendapat nilai yang sangat baik. doakan semoga anakmu ini selalu berprestasi.” Dan nilai itu bertahan hingga aku memasuki semester kedua.

Memasuki semester ketiga, kesibukanku di Rohis sungguh melelahkan. Agenda kami sangat padat. Mulai dari perekrutan anggota baru, jadwal bakti sosial, mengisi kajian hingga mencari tambahan untuk hidup benar-benar menguras seluruh potensiku. Mulai dari waktu, pikiran sampai tenaga. Semuanya kukerahkan. Hingga akhirnya, nilaiku berangsur turun, secara teratur tapi pasti. Bahkan kesibukan sebagai aktivis, sempat membuatku lengah dan beberapa kali tidak mengikuti kuliah karena ada agenda dakwah yang mesti kujalankan, tidak bisa tidak.

Sekali lagi, aku mendapati ini sebagai simalakama. Aktif di organisasi membuatku dewasa, belajar menyikapi perbedaan, peka terhadap sekitar dan aneka pelajaran kehidupan lainnya. Namun di sisi lain, menurunnya nilaiku itu membuat aku malu terhadap ayah dan ibuku. Dalam beberapa bulan, aku nyaris tidak berani menghubungi mereka. Tepat di akhir semester 4, nilaiku berubah menjadi 2.8. Malam setelah pengumuman nilai itu, aku kembali menangis di hadapan Allah, aku malu karena telah mengecewakan ayah dan ibuku yang telah membelaku habis-habisan. Kala itu, aku merasa menjadi benalu, tepat seperti apa yang dijulukkan oleh kakak-kakakku.

***

Pagi itu, aku telah bersiap meluncur ke bilangan tembalang, dekat LPMP, aku ada janji dengan rekan bisnisku, bisnis laundry. Ini adalah sebuah keputusan konyol, aku melamar menjadi salah satu pencuci baju di sana. Meski aku sempat berpikir keras, akhirnya keputusan ini tidak bisa kuelakkan.

Uang jatah dari ayah yang hanya 50.000 ribu per pekan, sungguh tidak cukup. Untuk sekali makan saja minimal butuh 5.000 ribu rupiah. Belum lagi untuk keperluan foto copy, transportasi dan beberapa kali iuran untuk kelangsungan organisasi. Bisnis pulsaku berhenti. Aku malah menanggung utang sama provider lantaran tagihan yang belum kubayarkan. Pasalnya, teman-teman banyak yang berutang pulsa. Padahal untungnya tidak seberapa. Bisnis nasi kucing yang kubuka di pinggiran simpang lima juga sepi pengunjung, maklum saja banyak sekali saingan dengan modal besar. Aku yang mahasiswa dengan modal cekak pastilah tersingkir. Sementara bisnis jualan buku yang baru saja kulakukan dengan teman asal Depok – Jawa Barat, nyaris mati. Sudah sebulan tidak ada pesanan. Alasannya beragam, mulai mahasiswa yang memang malas membaca, yang rajin membaca tapi tidak punya uang hingga mahasiswa yang memang beruang tapi tidak punya minat sama sekali untuk melahap buku.

Maka, mengambil peran sebagai pencuci baju di salah satu usaha laundry adalah keniscayaan demi kelangsungan hidupku di kota ini.

Oh iya, aku tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun. Termasuk kepada ayah dan ibuku, guru ngajiku atau juga teman tidurku di kontrakan. Ini benar-benar rahasia. Bukan lantaran gengsi, aku hanya tidak mau mereka terlalu ‘mengasihaniku’ karena aku yang bekerja apa saja demi bertahan hidup rantau.

***

22.30 WIB.

Waktu yang terlihat pada jam di dinding kontrakanku. Aku baru saja pulang. Teman tidurku terbangun ketika aku membuka pintu dengan kunci yang kubawa. Sambil mengusir kantuk, ia menanyakan perihal keterlambatanku, “Ke mana saja Mba’? Jam segini baru pulang?” Aku hanya membalas singkat, “Ceritanya besok saja ya! aku lelah sekali. Mau langsung tidur agar besok bisa berangkat pagi. Tolong bangunkan jika jam 3 aku belum terjaga. Aku harus tahajud. Besok pagi juga ada aksi di depan gedung DPRD. Jam 6 aku sudah harus di sana, jadi koordinator lapangan.” Ia yang kupesani hanya mengangguk, “Iya Mba’. Insya Allah.”

***

“ Mba’, Mba’, bangun. Sudah jam 3.30. Waktu Subuh tinggal 45 menit lagi.” Suara adik tingkatku itu terdengar lamat-lamat. “Terima kasih ya Dek, sudah tahajud?” tanyaku, “Sudah Mba’. Baru selesai. Ini mau sahur. Mba’ mau sahur bareng?” ia menjawab dengan tanya. “Insya Allah, saya ambil wudhu dulu ya?” ia mengangguk sembari menyiapkan dua piring nasi untuk sahur kami.

***

6.00 WIB.

Aku sudah bertengger di depan gedung DPRD. Menunggu peserta aksi yang berasal dari gabungan mahasiswa se-Kota Semarang. Mulai dari BEM, KAMMI, HMI, dan Ormas-ormas lainnya. Aku terpilih sebagai koordinator lapangan untuk peserta aksi akhwat.

Tak lama kemudian, peserta aksi berkumpul. Dimulai dengan doa bersama, dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan-tuntutan kami kepada pihak DPRD. Isu yang kami angkat kala itu adalah menentang disahkannya RUU Intelejen. Beberapa pasal dalam RUU tersebut terkesan seperti pesanan pihak-pihak tertentu yang kemudian memasung kehidupan tatanan demokrasi yang telah dibangun di negeri ini. Eksekutif seperti berkehendak menjadikan negeri ini sebagai pemerintahan otoriter. Kembali ke masa orde baru yang semuanya berpusat pada eksekutif.

Tiga perwakilan dari kami memasuki ruangan sekretaris DPRD untuk meminta izin masuk. Negosiasi berjalan cukup lama, sekitar tiga jam. Kami yang di lapangan tetap bersemangat, sembari meneriakkan yel-yel yang telah disiapkan. Aku yang dari kemarin belum istirahat, tiba-tiba merasa limbung. Kepalaku pusing, mata kunang-kunang. Aku hampir saja menyerah. Apalagi ketika itu aku menahan diri untuk tidak makan dan minum karena memang sudah berniat untuk puasa. Di dalam kelemasanku itu, tiga perwakilan dari kami keluar gedung dengan wajah yang menunduk. Ternyata, kami tidak diizinkan masuk. Pintu gerbang tidak terbuka untuk kami yang menuntut keadilan. Sementara mereka yang berdasi tapi korupsi bisa melenggang santai memasuki gedung itu.

Setelah koordinasi sejenak, semuanya sepakat untuk memasuki gerbang secara paksa. Koordinator umum aksi langsung maju ke depan barisan dan menyampaikan maklumatnya, “Kita sudah meminta baik-baik untuk masuk ke dalam gedung DPRD. Tapi mereka tidak mengizinkan kita untuk masuk. Karena langkah telah diayunkan, pantang surut ke belakang hingga sampai ke tujuan. Rapatkan barisan! Setelah mengucap Bismillah dan takbir tiga kali, kita akan bersama menjebol pintu gerbang ini.” Suaranya bergetar. Getar ketegaran. Maka serempak kami mengucap Bismillah dan Takbir tiga kali, Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Seketika itu juga terjadi aksi saling dorong antara demonstran laki – laki dengan polisi laki-laki dan demonstran perempuan dengan Polisi Wanita.

Aku yang sedari tadi sudah lemah, tidak kuasa lagi menahan tubuh. Apatah lagi dengan kombinasi panas yang begitu menyengat. Aku terjatuh, perutku merasakan beberapa pasang sepatu yang mendarat. Entah mereka menginjak-nginjak tubuhku, atau menendangiku. Aku tak tahu pasti. Setelah itu, aku tak sadarkan diri. Yang terlihat dalam pelupuk mataku hanyalah keluargaku: Ayah yang tengah melaut, mengikuti tetangga kami untuk melanjutkan hidup. Ibu yang kepanasan di tengah sawah, ikut memanen sawah tetangga. Keempat kakakku yang tertawa melihat kesengsaraanku, dan adikku yang hendak menikah dengan lelaki pilihan keluargaku.

Setelah semuanya gelap, mataku mengalirkan bulirnya. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku berucap lirih kepada ayah dan ibuku, “Maafkan aku Yah! Maafkan aku Bu! Aku tidak bisa memberikan apa-apa kepadamu. Hanya doa yang kulantunkan di setiap sujud malamku. Semoga Allah menyayangi kalian semua, selamanya.”

Setelah semuanya gelap, aku melihat seorang pangeran berkuda putih menyambangiku. Parasnya gagah, wajahnya bercahaya. Ia berkata sembari mengulurkan tangannya, “Bangkitlah! Ayo naik di belakangku. Allah telah menghalalkanmu untukku.”

* Depok, 22 Dzulqo’dah 1432 H

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (14 votes, average: 8.07 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis, Pedagang dan Pembelajar

Lihat Juga

PKS Bukan Benalu, Tanggapan untuk Budi Pasopati

Figure
Organization