Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Dai dan Mujahid, Muhammad Kamal as-Sananiri (Bagian ke-2, Selesai)

Dai dan Mujahid, Muhammad Kamal as-Sananiri (Bagian ke-2, Selesai)

Muhammad Kamal as-Sananiri (abuhamzah.wordpress.com)

Perkenalanku Dengannya

dakwatuna.com – Perkenalanku dengan Ustadz Muhammad Kamaluddin as-Sananiri terjadi pada saat saya tiba pertama kali di Mesir tahun 1949, dan tinggal di komplek Abidin. Ketika itu beliau adalah supervisor dan penanggung jawab seluruh aktivitas mahasiswa utusan. Saya kagum dengan kesederhanaan, kerendahan hati, dan bantuannya untuk Ikhwan. Walau sebagian besar dari mereka berusia jauh lebih muda dan kurang pengalaman darinya.

Pandanganku terhadap pribadi, akhlak dan prilakunya mengingatkanku pada perjalanan hidup Salaf ash-Shalih yang kerap kita baca dalam buku sejarah. Kamal as-Sananiri—rahimahullah—adalah profil sangat tepat yang dapat mewakili kepribadian mereka.

Saat masih berada di dalam penjara, ia pernah menulis beberapa kisah dan mengirimkannya padaku ketika saya berada di Kuwait. Dalam surat tersebut ia berpesan tentang seorang akh yang akan datang dari Mesir menuju Kuwait. Saya juga menemukan dalam surat tersebut kebesaran jiwa seorang mukmin yang senantiasa tenang dan ridha terhadap keputusan dan ketetapan Allah Ta’ala, menyerahkan kepada-Nya segala yang ia hadapi seraya berharap dengan apa yang ada pada-Nya. Sedikitpun ia tidak menceritakan kondisi dirinya dan saudara-saudaranya yang berada di penjara. Tapi surat itu hanya berisi nasehat bagi seorang musafir. Itu saja.

Keluar dari Penjara dan Jihadnya

Saya mulai sering bertemu dengan Ustadz Kamal as-Sananiri di Mesir atau di luar Mesir setelah ia keluar dari penjara, dan mengenalnya lebih dekat dari apa yang saya ketahui tentang dirinya saat saya tiba pertama kali di Kairo. Penjara yang ia diami selama lebih dari 20 tahun menempanya menjadi sosok yang lebih teguh, lebih bersih dan lebih tegar.

Saya bekerja di bawah kepemimpinannya di beberapa medan jihad, khususnya di Afghanistan, tempat ia mempersembahkan segala kemampuan dan potensinya. Melakukan apa yang dapat dilakukannya untuk membantu dan mendukung perjuangan mujahidin serta memberbaiki perselisihan yang terjadi di antara para pemimpin mereka yang seluruhnya mencintainya. Mereka dekat kepadanya dan menggapnya sebagai guru. Sehingga mereka nyaris tidak pernah menentang instruksi arahan yang sampaikan kepada mereka.

Adapun perjalanannya ke negara-negara Arab, negara Islam dan sebagainya, maka kisah tentang ini sangat panjang, dan jejak yang ia tinggalkan dalam hati takkan mungkin dilupakan. Karena kalimat-kalimat sederhana yang disampaikannya mampu menembus hati pendengarnya. Arahan dan nasehatnya yang jujur membuat mereka yang mendengarnya akan bersegera melaksanakannya.

Saya juga mengetahui beberapa perkara darinya, membuatku berharap sepersepuluh dari kelebihan-kelebihan yang dimilikinya agar termasuk orang sukses. Namun betapa jauh jarak antara bintang dan tanah yang dipijak. Saya tidak pernah lupa penampilannya saat bersamaku ditemani akh Nashir (Abu Aiman) ketika kami pergi ke Mesir untuk berobat pada tahun 1975.

Sesungguhnya saudara tercinta ini, lelaki shalih Muhammad Kamaluddin as-Sananiri adalah buah yang matang karya madrasah Hasan al-Banna. Seorang akh yang jujur dan sangat sulit ditemukan lelaki sepertinya pada masa kini. Adapun saudara dan murid-muridnya, maka mereka adalah harapan masa depan yang dinantikan umat ini, untuk menyelamatkan mereka dari ketergelincirannya, membangunkannya dari tidur panjang untuk kembali kepada manhaj Tuhannya.

Adapun harapan kita selanjutnya—setelah Allah Ta’ala—akan lahirnya kebangkitan Islam yang mampu menata dan mengorganisir seluruh dunia Islam, mengembalikan singgasana keagungan Islam, kemuliaan dan kepemimpinan kaum Muslimin agar mampu menghabisi para tirani kezaliman yang telah menghinakan para hamba serta merusak negeri mereka adalah para lelaki yang dengannya dakwah ini menikmati kebanggaannya. Mereka adalah orang-orang yang semakin membanyak saat situasi genting mencekam, dan berkurang dalam situasi penuh ketamakan, teguh di masa sulit dan senantiasa jujur dengan Tuhan mereka.

Beberapa Sikapnya:

Saya masih ingat, suatu kali akh as-Sananiri berkunjung ke Kuwait untuk kepentingan dakwah. Namun adalah kehendak Allah bila Ia mengujiku dengan mengambil kembali titipan-Nya. Salah satu putraku yang berusia 20 tahun karena kecelakaan mobil. Saat itu Akh as-Sananiri tidak segera meninggalkanku dan terus menghiburku. Seakan dialah yang tertimpa musibah itu.

Ketika ia ditahan saat kembali dari Afghanistan, siksaan itu ditimpakan kepadanya oleh aparat pemerintah, agar mereka mengetahui perannya dalam jihad di Afghan, dan keterlibatan orang-orang yang bersamanya. Namun ia tetap menolak, sementara para introgator tersebut tidak pernah keluar dari sel tahanan beberapa hari lamanya sambil terus menyiksanya tanpa henti. Dan ia pun akhirnya menemui kematiannya, kembali ke haribaan Tuhannya sebagai syuhada pada tanggal 8 November 1981M.

Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin menyampaikan kabar duka cita dengan kalimatnya, “Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin menyampaikan berita duka cita meninggalnya intelektual Islam, akh al-Mujahid, asy-Syahid Muhammad Kamaluddin as-Sananiri, salah satu pemimpin pergerakan Islam internasional dan berasal dari jamaah Ikhwanul Muslimin yang ditangkap oleh Anwar Sadat di penghujung bulan September 1981 setelah ia kembali dari Washington dalam kunjungannya ke Gedung Putih untuk menerima berbagai instruksi dari ‘majikannya’.

Sifat zuhud pada diri akh Kamal as-Sananiri sangat menonjol pada hari kematiannya, ketika proses investigasi dilakukan pada dirinya di bawah pimpinan sang algojo, Hasan Abu Pasha. Seakan hendak menyambut angin syurga yang senantiasa dirindukannya. Asy-Syahid Kamal as-Sananiri akhirnya berada di tangan para algojo yang berusaha merenggut secara paksa apa yang mereka inginkan darinya dengan melonatarkan berbagai tuduhan keji terhadap Jamaah Islamiyah. Namun ia tetap berkata, “Sesungguhnya Sadat telah menggali kuburan untuk dirinya sendiri dengan menandatangani perjanjian Kamp David yang memutuskan untuk menyerahkan batang leher rakyat Mesir yang Muslim kepada Israel dan Amerika. (al-Mujtama’: 11/11/1981M)

Ustadz Shalah Syadi menulis tentang dirinya, “Kamal as-Sananiri menjalani kehidupannya di dalam penjara Abdul Nasser selama lebih dari 19 tahun lamanya. Tidak mengenakan kain apapun di dalam penjara selain baju penjara yang kasar. Bahkan pakaian dalam yang boleh dibeli setiap tahanan di kantin terpaksa tidak beli, bukan karena ia tidak memiliki uang. Tapi ia menolaknya karena ingin menjalani hidupnya terbebas dari segala sesuatu yang dapat dijadikan oleh sipir penjara sebagai fasilitas untuk merayu atau mengancam. Beliau—rahimahullah—lebih memilih hidup dengan berlepas diri dari segala sesuatu yang mungkin terlarang baginya, agar mereka tidak dapat menguasai apa yang ada pada dirinya.

Ini adalah kunci kepribadiannya yang zuhud. Perilaku dan tabiat yang sudah menjadi kebiasaan baginya itu adalah sesuatu yang menakjubkan dan mencengangkan bagi kami. Kami sendiri terkadang mengasihani diri kami agar lebih mampu memikul sulitnya jalan panjang yang kami lalui sebagaimana yang ditetapkan Allah atas kami. Adapun dia, maka jiwanya jauh lebih patuh padanya dari pada ujung jarinya. Kesulitan yang ia rasakan tidak dapat membuatnya harus mengasihani dirinya.

Majalah al-Mujtama’ pernah memintaku untuk bercerita tentang dirinya setelah kematiannya. Majalah ini pun menulis kalimat berikut ini:

“Majalah al-Mujtama’ memintaku bercerita tentang akh asy-Syahid Muhammad Kamaluddin as-Sananiri yang beberapa hari lalu meninggal dunia di penjara di tangan para algojo dan polisi pemerintah yang menggunakan fasilitas dan kemampuan mereka untuk memerangi Islam dan mengancam para penyerunya di setiap tempat, khususnya di bumi Mesir yang menjadi bagian dari terjadinya tragedi ini empat kali secara beruntun.

Ujian pertama pada tahun 1948/1949 yang ditandai dengan pembunuhan terhadap Imam Syahid Hasan al-Banna, dan penangkapan kaum Mujahidin Palestina kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara at-Thur. Cobaan kedua pada tahun 1954 yang merenggut jiwa para syuhadaa: Muhammad Farghali, Abdul Qadir Audah, Yusuf Thal’at, Ibrahim ath-Thib, Handawi Duwaier, dan Muhammad Abdul Lathif, disertai  penangkapan terhadap puluhan bahkan ratusan Ikhwan lainnya untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam penjara Liman Thurrah, al-Harbiy, al-Qal’ah, Abu Za’bal dan sebagainya.

Tragedi berikutnya terjadi tahun 1965 yang ditandai dengan syahidnya Sayyid Quthb, Abdul Fattah Ismail, Muhammad Yusuf Hawasy dan sebagainya dari tokoh terbaik Ikhwan. Ujian tahun 1981 terjadi ketika negeri ini dan masyarakatnya dijual ke tangan Yahudi dan Amerika, mulut-mulut mereka disumpal, masjid-masjid ditutup, lembaga-lembaga, media massa, mimbar-mimbar mereka dibredel, sementara pintu-pintu penjara terbuka untuk menyambut kedatangan kafilah du’at yang terdiri dari orang tua, para pemuda, bahkan untuk kaum wanita dan anak-anak.

Mereka bahkan menggunakan akal orang-orang yang tega menjual diri mereka kepada syetan-syetan Barat untuk menyakiti kaum Muslimin dan wali-wali Allah yang shaleh, yang menolak tunduk kepada selain Allah. Mereka tetap tinggi dan agung dengan keimanannya terhadap tirani kezaliman dengan mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada berbagai jenis kenikmatan yang ada di muka bumi.

Orang-orang kecil dan rendahan yang duduk di atas singgasana penguasa itu menduga bahwa dengan kekejaman yang dilakukannya mereka sanggup membungkam mulut-mulut para du’at dan menghentikan gerbong kafilahnya yang terus bergerak maju. Mereka lupa bahwa apa yang dilakukannya adalah memerangi Allah yang Maha Kuat dari segala sesuatu, dan Maha Besar dari segala yang besar di dunia ini. Tidak bermanfaat lagi fatwa-fatwa yang dibeli, pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh para ulama resmi dan orang-orang yang serupa dengannya dengan memperindah seluruh perilaku mereka. (Majalah al-Mujtama’, November 1981)

Istrinya, Aminah Quthb menuliskan ungkapan sedih dan duka citanya lebih dari satu kumpulan syair yang sangat menyentuh jiwa, dibacakan setiap tahun saat memperingati kematian suaminya: ustadz Kamal as-Sananiri. Adapun kumpulan bait syair itu sebagai berikut:

Tak pernah lagi aku menanti kedatangannya saat petang menjelang

Tak pernah lagi aku berhias menanti ia kembali dengan limpahan harapan

Tak pernah lagi aku menanti kedatangan, pertemuan atau percakapan

Tak pernah lagi aku menanti derap kakimu yang datang setelah selesaikan tugasmu

Lalu aku nyalakan cahaya di tangga yang selalui rindu bahagia saat kau pijakkan kakimu

Aku tak lagi bergegas saat engkau tiba dengan senyum di bibir walau beratnya penderitaan

Dan rumahku dipenuhi cahaya ucapan selamat yang benderang dengan keanggunan

Dan jam dinding yang berdetak, bilakah senja kan tetap setia pada kita?

Dan kelopak mataku terpejam tenang, tiada  kecemasan pada berbagai cobaan

Tak ada lagi lantunan doamu mengetuk jiwaku kala subuh menjelang

Tak ada lagi lantunan adzan di alam bebas yang menyentuh telingaku

Lalu ku bertanya pada Yang Kuasa; tidakkah ada seorang pun yang mendengar seruan dariku?

Tidakkah engkau lihat kerinduan pada syurga atau cinta pada langit?

Tidakkah engkau lihat janji dari Allah? Telah tibakah saatnya bukti kesetiaan itu?

Lalu ku berjalan bagai sosok diamuk rindu karena cinta pada seruan?

Sudahkah engkau bertemu dengan kekasih tercinta di sana? Seperti apakah gerangan pertemuan itu?

Di sisi Allah di syurga Firdaus dalam limpahan karunia-Nya?

Sudahkah kalian berkumpul bersama dalan ketentraman dan perlindungan dari-Nya

Bila demikian, selamat datang kematian, selamat datang ceceran darah!

Niscaya aku kan bertemu kalian, janji setia nan tulus

Hari-hari yang kita lalui dengan derai air mata dan cobaan, kan diganjar Allah dengan syurga-Nya

Hidup dalam keabadian, tiada rasa takut pada perpisahan dan kefanaan

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya yang luas, mengumpulkan kita bersama para nabi, ash-Shiddiqin, syuhada, shalihin, dan merekalah sebaik-baik teman.

— Selesai

(hdn)

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.38 out of 5)
Loading...
Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah (LKMT) adalah wadah para aktivis dan pemerhati pendidikan Islam yang memiliki perhatian besar terhadap proses tarbiyah islamiyah di Indonesia. Para penggagas lembaga ini meyakini bahwa ajaran Islam yang lengkap dan sempurna ini adalah satu-satunya solusi bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw adalah sumber ajaran Islam yang dijamin orisinalitasnya oleh Allah Taala. Yang harus dilakukan oleh para murabbi (pendidik) adalah bagaimana memahamkan Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mutarabbi (peserta didik) dan dengan menggunakan sarana-sarana modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Lihat Juga

Mursyid Ikhwanul Muslimin Divonis Hukuman Seumur Hidup

Figure
Organization