Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Maukah Engkau ke Baitullah Bersamaku?

Maukah Engkau ke Baitullah Bersamaku?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (muxlim.com/sari_wu)

dakwatuna.com – Sedih yang tersisa di hati ini, melepas kepergian Mama dan Papa, bersama tiga puluh orang lainnya menuju tanah suci menunaikan kewajiban mereka sebagai seorang muslim. Ku balas lambaian tangan Mama dan Papa, sebelum mereka masuk ke ruang tunggu. Harusnya aku bersama mereka… berkunjung ke Baitullah dengan formasi lengkap. Aku, Mama dan Papa. Sejak kuliah, aku sudah menyisihkan uang jajan untuk misi mulia ini, karena aku ingin memenuhi panggilan-Nya dan juga menapaki Safa dan Marwa, tempat teromantis di dunia, dengan uang ku sendiri dan dalam usia muda.

Namun pekerjaanku justru memposisikan ku menjadi Program Manager bagi rombongan haji yang akan berangkat dari bumi Formosa ini, yang membuat ku sibuk seminggu 7 hari, bekerja dari jam 6 pagi dan baru selesai menjelang pukul 10 malam. Lelah… namun tetap saja komplain datang dari sana sini. Dan yang paling menyedihkan… rencana keberangkatan ku harus di tunda…. Di tunda hingga waktu yang tidak di tentukan.

Xiao Jie­1… “ Petugas imigrasi menghampiri ku.

“Jangan lupa untuk mengirimkan ARC2 bapak yang tadi. Kalau tidak beliau tidak akan bisa masuk Taiwan sekembalinya dari Arab Saudi”, lanjutnya mengingatkan.

Ada-ada saja, Yusuf yang dari Mesir, tidak membawa ARC. Yusuf berdalih, anggapannya dengan paspor saja sudah cukup. Sehingga mau tidak mau aku harus menjelaskan kepada petugas bandara bahwa dia memang bagian dari rombongan haji yang berangkat dari Taiwan, dan membuatkan surat pernyataan untuk itu. Dan sekarang, aku harus menghubungi keluarganya lalu mengirimkan ARC nya ke Mekah, lokasi penginapan mereka. Hao mafan o3…. Sudahlah tidak bisa ikut…. Ditambah lagi bersibuk-sibuk ria mengurusi hal seperti ini. Kesedihanku sungguh berlipat-lipat.

***

Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah! aku datang memenuhi panggilan-Mu..
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, (Tuhan) yang tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu
Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan adalah kepunyaan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu…

Lantunan doa haji terdengar begitu syahdu, memenuhi ruang kerjaku. Sejuta keinginan masih melekat di sana…. keinginan untuk menjejakkan kaki di Mekah. Aku seperti seorang pecinta, yang ingin sekali bertemu dengan ke kasihnya.

“Aku ingin berangkat haji dari Taiwan…” lagi, ini pertanyaan yang kesekian kalinya dari rekan-rekan muslim internasional. Bedanya, pertanyaan ini datang dari salah seorang sahabat dari Indonesia yang telah lama mengadu nasib di sini. Sebelumnya dia menuntaskan gelar masternya dan kini  lanjut bekerja di salah satu perusahaan elektronik terkenal di Taiwan.

“Serius?” ku coba telusuri kalimat yang dilontarkan temanku itu.

“Ya iyalah…” jawabnya pendek, seperti biasa. Hm… bukan hal yang langka sih, banyak orang tergiur dengan pemberangkatan haji dari Taiwan. Karena biaya pemberangkatan mendapat subsidi dari pemerintah, cukup dengan NTD 30,000 atau setara dengan $USD 1000, sudah bisa naik haji.

“Tapi kamu harus punya KTP Taiwan.”

“Berapa lama penduduk asing bisa mendapat KTP Taiwan?”

“Eh… kamu mau jadi orang Taiwan?” aku malah bertanya hal yang lain. Pertanyaan ku nggak di jawab, yang ada dia justru masih berdiri tepat di depan meja  kerja ku, menunggu jawaban pertanyaannya.

“Ya.. setahu ku.. kamu harus berada di Taiwan selama 5 tahun berturut-turut.. nah baru tuh bisa daftar jadi warga negara Taiwan. Atau… cara paling gampang…. Menikah dengan orang Taiwan saja… nggak harus menunggu sampai 5 tahun :D. ”  candaku, dia tertawa pendek mendengar jawabanku, dan aku malah jadi berfikir panjang.

“Um… kamu mau nggak berangkat ke Baitullah bersama ku?” Oh My… aku tahu persis apa yang ku ucapkan. Aku sadar sesadar-sadarnya. Aku tidak peduli bagaimana merahnya muka ku saat itu. Yang ada dalam benak ku… aku punya sebuah cita-cita mulia… dia pun memiliki cita-cita mulia yang sama, mengapa kami tidak beriringan saja kalau begitu? Dan barangkali… ini merupakan kesempatan yang tidak akan pernah datang lagi? We never know, rite?

Ku lihat kekagetan di wajahnya, namun dia berusaha untuk tetap tampil cool. Aku pun tidak memaksanya memberikan jawaban, biarlah dia memikirkannya terlebih dahulu.

“Aku harus segera balik… sore ini Papa akan menelpon ke rumah.” Cepat ku tinggalkan dia yang masih mematung di seberang mejaku. Perasaanku benar-benar sudah bercampur aduk. Ada malu… ada takut… ada lega juga…. semua menjadi satu. Setiap kali kaki ini menjejalkan tapaknya di atas tanah, setiap kali itu pula aku menghujat diriku, atas kebodohan yang telah ku lakukan.

“Oh mulut… bisa nggak sih nggak ceplas-ceplos?”

***

Papa mengabarkan kalau mereka sudah sampai dengan selamat. Semua rombongan tampak antusias, walau mereka hanya bisa tidur 3 jam saja setiap harinya.

“Jaga kesehatan Papa… makanannya juga di jaga… di sanakan panas…” aku benar-benar khawatir. Karena Papa orangnya suka “semau gue” dan menggampangkan banyak hal. Walau sudah ada Mama di sana, tetap saja aku khawatir. Ah… coba aku ada di sana… bersama Papa dan Mama…

“Ya Allah… aku rindu… aku rindu ke rumah-Mu yang suci….” Gambar Ka’bah yang terpampang di dinding ruang tamu rumah serasa memanggil-manggilku.

“Kapan aku bisa ke sana ya Allah?” Papa selaku mahram yang bisa menemani sudah lebih dahulu memenuhi panggilan-Mu. Jika meminta Papa menemani, aku harus menunggu beberapa tahun lagi, karena memang peraturannya seseorang yang sudah naik haji, harus menunggu beberapa tahun ke depan untuk bisa naik haji kembali. Memprioritaskan kuota untuk yang belum pernah. Lagian, naik haji wajibnya kan cuma satu kali, mengapa harus berkali-kali? Walau mampu secara fisik dan finansial, menurut hematku, di alihkan saja untuk hal lain yang lebih bermanfaat bagi umat.

Hm… sebagai anak satu-satunya…  satu-satunya cara hanya… menikah. Ya… menikah… Dengan menikah, aku memiliki pendamping halal yang bisa membersamai langkahku mengetuk pintu rumah suci-Nya.

For the rest of my life…. Potongan lagu Maher Zain terdengar mengalun dari lantai dua, cepat ku raih hp ku yang tertata manis di atas meja komputer, di ruang kerja. Sebuah sms masuk, dari Abu.

Jantungku berdetak kencang. Bisa jadi ini jawaban dari Abu, atas “todongan”ku mengajaknya ke Baitullah bersama-sama. Setelah tiga hari pertanyaan itu dibiarkan mengambang saja.

“Bismillah!” ujarku cepat, seraya memencet tombol read.

“Saya sudah pikirkan baik-baik. Saya sudah beristikharah. Bahkan saya juga mendiskusikannya dengan orang tua di Indonesia.” Ku baca kalimat pembuka di sms itu dengan perlahan-lahan. Ku geser layar hp ku ke bawah, membaca lanjutan pesan yang di kirim Abu.

“Dua tahun lebih kita sudah saling mengenal, dengan berbagai aktivitas yang selalu kita ikuti bersama. Baik itu kegiatan di masjid, atau pun kegiatan Taiwan Youth Moslem Association. Setidaknya, interaksi tersebut, sedikit banyak sudah memberikan gambaran, apa dan bagaimana diri mu.” Sekali lagi, ku geser layar hp ku, masih panjang tampaknya pesan dari Abu.

“Apalagi sambutan hangat keluargamu. Aku yang anak perantauan ini, jadi tidak kesepian lagi, karena aku mendapatkan keluarga baru di sini. Keluargamu… adalah keluarga kedua bagi ku.” Jantung ku benar-benar berdebar kencang. Kapan pesan-pesan ini akan berakhir? Dan bagaimana ending nya?

“Terima kasih banyak atas semuanya sahabatku… Kamu adalah sahabat terbaik ku di sini… dan selamanya akan menjadi sahabat baik ku, jika kamu berkenan.”

Habis… pesan itu berakhir sampai di sana. Ku baca sekali lagi… aku tidak mengerti… apa maksud semua ini… Ku cari nama Abu di deretan kontak HP ku, ku pencet call dan menunggu panggilanku di jawab dari seberang sana.

“Assalamu’alaikum.” Abu menjawab telepon ku.

“Aku nggak mengerti maksud semua pesan-pesanmu.” cepat, ku serbu Abu, sampai-sampai salamnya lupa ku jawab.

“Apakah itu artinya, kamu tidak mau menemaniku ke Baitullah?”

“Maaf saudari ku… Akan ada seseorang yang lebih pantas, menjadi pendamping mu ke Baitullah…. dan juga akan menjadi Imam mu, dunia dan akhirat.”

Seketika hatiku terasa perih…. seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. Penolakan? Sebuah penolakan?

“Kenapa ya Allah? Aku kan tidak mengajaknya melakukan tindakan yang terlarang?” Air mataku bergulir satu persatu, dan semakin deras. Rindu ke Baitullah semakin membuncah… Aku tidak kecewa dengan penolakan Abu, namun aku terluka… karena perjalanan menuju Baitullah masih butuh perjuangan yang lebih hebat lagi! Allah… aku tidak akan menyerah…

Catatan Kaki:

  1. Xiao Jie = Nona
  2. ARC = Alien Residence Certificate, sejenis KTP bagi penduduk yang bukan warga asli Taiwan
  3. Hao mafan o… = merepotkan heh?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (27 votes, average: 9.15 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang pelajar yang suka bercerita...

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization