Topic
Home / Berita / Perjalanan / Xi’an, Sebuah Perjalanan Ilmiah dan Religius

Xi’an, Sebuah Perjalanan Ilmiah dan Religius

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Ada perasaan yang tak biasa ketika meninggalkan Xi’an City, selain pengalaman pertama menuju negeri tirai bambu ada semacam daya tarik lain yang menuntut untuk kembali lain waktu. October 17, 2011 saya take-off dari Taoyuan Airport dengan menggunakan Airbus-A330 yang sangat nyaman dan penuh hiburan. Bayangkan saja tidak seperti pesawat lainnya yang pernah saya rasakan, take off dan landing sangat mulus dan berkelas :D, untuk yang kedua ini memang perlu disebutkan karena A330 bukanlah armada biasa dan dapat dinikmati secara rutin apalagi untuk anak master yang masih bergantung pada pendanaan advisor :). Sejurus kemudian, 4 jam perjalanan tidak menguras tenaga dan di malam hari, di Xi’an dengan petunjuk/manual dari website resmi konferensi (official website conference), saya menggunakan Airport bus No.1 untuk menuju pusat kota atau yang dikenal pula dengan Bell Tower. Satu jam perjalanan yang nyaman, namun karena bus menggunakan express way/ highway, jadi tidak terlihat suasana kota hingga memasuki pusat kota di areal city wall yang sangat terkenal itu.

Gambar pak Ojek (doc kahlil)

Turun dari bus, saya tidak merasakan sebuah kejanggalan, mungkin karena suasana kultur yang hampir sama dengan Taiwan yang sudah setahun lebih saya geluti. Perbedaan mencolok ada pada jumlah rakyat yang lalu lalang walaupun sudah malam, motor listrik yang tidak bising namun klaksonnya yang sangat bising berkolaborasi dengan lalu lintas semrawut kota. Lalu perbedaan lain ada pada nada atau cara bicara masyarakat Cina daratan yang cukup berbeda, walaupun di kedua bahasanya saya tidak begitu mengerti namun secara feeling “kemampuan bahasa” pas-pasan dapat dirasakan dengan mudah. Lalu melihat indahnya bangunan yang ternyata adalah “drum tower” yang juga bersejarah, selanjutnya mengambil gambar suasana malam kota yang masih saja ramai pada pukul 20.30 malam itu. Selepasnya, dengan kemampuan bahasa yang terbatas namun sangat PD (percaya diri) itu, saya mulai kenekadan di Xi’an dan menggunakan taksi menuju hotel. Keesokan harinya, di Selasa pagi, tak ambil jeda karena conference dimulai keesokan harinya, saya menuju front desk untuk satu tujuan utama, “Great Mosque Xi’an”. ALLAH SWT memang maha besar, tidak sebentar kebingungan, seorang tour guide lokal yang sepertinya menunggu rombongan turis Eropa melihat gundah gulana mbak Front desk yang kesulitan menjelaskan dengan bahasa Inggris. Kami (mbak Front desk dan saya pastinya) berada dalam kecocokan “gak jelas”, yang satu membuka percakapan dengan bahasa mandarin lalu ketika mbak front desk sudah mulai menjelaskan, dia memotong pembicaraan dan berkata, “yingwen…yingwen” (maksudnya agar dijelaskan menggunakan bahasa inggris). Lalu terjadilah kecocokan “gak jelas” itu, dia mulai kesulitan menjelaskan dengan bahasa inggris, hingga tibalah mbak tour guide yang baik hati datang menolong. Setelahnya, dengan map(peta) lengkap dari hotel dan penjelasan dari mbak tour guide, saya mulai perjalanan tunggal menuju “Great Xi’an Mosque” dengan kenekadan yang masih sama, mengambil ojek dan menunjuk peta serta berakhir dengan nego ongkos menggunakan bahasa mandarin. Lalu pak ojek terus bergerak dengan cepat sembari saya merekam rute di kepala agar setelahnya bisa pergi sendiri dengan berjalan kaki.

10 menit setelahnya, kami sampai di gerbang yang menyambungkan saya ke masjid besar Xi’an dan pasar rakyat yang sangat ramai dan bersahaja. Lalu masih dengan peta yang sama dan mulai berpikir bahwa memang benar si “Dora”, dengan peta kita bisa menjadi “explorer” yang handal walau terbatas bahasa. Bagi mereka yang berdakwah kepada masyarakat, harus memahami bahasa masyarakatnya secara mendalam dan lembut, agar sibghah ALLAH SWT mudah masuk. Namun, bagi turis pengembara, tak perlu kecakapan total, cukup bahasa pas-pasan dan modal terindah yang tak banyak orang yang mendapatkannya, “Nekad”.

(doc kahlil)

Setelahnya saya mengalami keindahan dan ketenangan yang di awal saya sebutkan sebuah keengganan untuk kembali ke Taiwan dan ingin suatu saat nanti kembali lagi ke Xi’an. Ternyata yang tadinya di depan hotel saya dapati sebuah keluarga dengan menggunakan jilbab rapih, di gerbang dan pasar di dalamnya, saya mendapati banyak sekali muslim dengan identitas murninya. Yaitu bagi muslim menggunakan peci bulat putih dan muslimah dengan jilbab yang rapih. Tak ambil jeda, saya terus menyusuri arahan muslimah lokal di sebuah toko, dan masuk ke kerumunan orang dengan kanan dan kiri menjual segala macam makanan, pernak pernik dan yang paling mengejutkan dan sekaligus sebuah kesyukuran yang tak terkira dan baru saya sadari, ini adalah pasar komunitas muslim Xi’an yang penuh dengan nilai historis yang terjaga sudah ribuan tahun lamanya. Setelahnya saya merasakan ketenangan dalam keramaian yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bercampur aduk dengan suasana hati memiliki kesempatan berkunjung ke Cina daratan dan komunitas bersejarah di dalamnya, sungguh ALLAH SWT memberikan sebuah kesempatan yang tak terbayangkan. Terus menyusuri pasar dan mengikuti arah, sampailah saya pada perempatan dan bertanya lagi kepada saudara muslim lainnya, seperti kami sudah lama bertemu lalu dia menuntun saya hingga pagar masjid besar Xi’an terlihat, diakhiri dengan doa yang kami padukan, “Assalamu’alaikum”. Lagi-lagi saya terserang perasaan yang entah kenapa, langka dan indah. Lalu saya ingat-ingat bagaimana ALLAH SWT menyiapkan keberangkatan saya ke Xi’an, saya masih ingat di beberapa hari sebelum Ramadhan tahun ini usai, 2 stasiun televisi Indonesia menyiarkan film dokumenter dan reportase yang keduanya adalah di Xi’an dan saya menikmati acara itu dengan takzim, dan benar setelahnya saya dimudahkan untuk menuju ke Xi’an dengan support dana penuh dari professor.

(doc kahlil)

Lalu tak ambil jeda, saya ambil peci putih yang saya bawa khusus dan saya sematkan di kepala dan menyusuri sekian ratus meter lagi untuk menuju gerbang masjid. Sepanjang perjalanan saya bertemu dengan saudara seiman dan menyebar salam. Ketika sampai ke gerbang dan mulai mempelajari historis masjid yang sudah sekitar 1250 tahun lalu didirikan dan mengambil beberapa gambar di sudut-sudutnya yang indah itu. Karena saya adalah turis tunggal tak berbekal tour guide, berbeda dengan turis eropa yang khusyuk mendengar tour guide-nya bercerita, saya masuk saja ke dalam dengan perasaan masih berbunga-bunga, bahwa sejarah memang sedap untuk dipelajari walaupun sendiri :). Melihat kaligrafi indah di dinding masjid yang tidak serupa dengan masjid yang telah saya dan pembaca kenal sebelumnya, di masjid ini tak ada kubah, yang ada adalah sebuah komplek dengan total 13000 meter persegi yang sarat dengan arsitektur Cina yang kental. Tak ambil istirahat, masih dengan bahasa pas-pasan dan bahasa isyarat yang dominan, saya mintakan kesediaan saudara muslim lokal yang berada di dalam, untuk mengambil gambar saya bersama kaligrafi indah di dinding masjid.

Setelahnya saya memasuki ruang demi ruang, pintu demi pintu dan merasakan keindahan dan suasana damai di rumah ALLAH ini.

Foto dengan kaligrafi (doc/kahlil)
Papan Informasi masjid (doc/kahlil)
Ruang tengah masjid (doc/kahlil)
Ruang utama masjid (doc/kahlil)

Tak lama saya pun berpose dengan pak Umar dan pak Abdul Hakim yang menyambut saya dengan senyuman indah dan cakap-cakap sebentar. Lalu seorang turis kembali menjadi korban, saya sodorkan kamera untuk mengabadikan gambar kami, ya kami adalah 3 bersaudara yang baru dipertemukan dengan suasana ukhuwah yang baru namun serasa sudah lama bertemu.

Foto bersama Umar dan Abdul Hakim (doc/kahlil)

Tak sempat shalat di dalam masjid dikarenakan belum waktu shalat, saya melanjutkan ke pasar antik Hua Jue Xiangdan melihat-lihat bagaimana suasana pasar antik dengan turis-turis yang masih sibuk menawar harga.

Lalu, keesokan harinya saya sudah mulai disibukkan dengan konferensi APSIPA (Asia-Pacific Signal and Information Processing Association Annual Summit and Conference) 2011, dan mempersiapkan bahan untuk mempresentasikan jurnal ilmiah kami yang “accepted” di konferensi kali ini. Tepatnya hari Kamis sore, selepas presentasi, saya tidak ambil pikir dengan lanjutan acara makan-makan yang diselenggarakan panitia. Dikarenakan harus menambah fee jika ingin mengikutinya, saya memilih jalan “Dora the explorer” dengan peta di tangan kanan, saya menunjukkan alamat yang ingin saya tuju hari itu. Suasana masih seperti hari pertama jalan-jalan, dengan pak ojek yang memberikan harga 15 yuan, saya coba menawar namun itu sepertinya harga pas lalu kami pun bergerak, sambil saya kembali merekam jalan di otak agar nanti bisa pulang sendiri. Tujuan kami sore itu adalah pintu selatan benteng Xi’an atau juga dikenal dengan sebutan “city wall”, karena kota dikelilingi oleh dinding besar atau lebih tepatnya benteng besar yang dulunya digunakan oleh beberapa dinasti dari serangan musuh. Sebelum saya memasuki benteng, kembali bertemu dengan saudara baru dengan khas peci putih yang sedang berjualan dan saya pun membeli jajanannya untuk bekal perut menuju benteng, lagi-lagi diakhiri dengan doa yang terjalin,

“Assalamu’alaikum” yang kali ini kami ucapkan secara bersamaan sebelum kami berpisah. Menuju pintu selatan, saya harus mengeluarkan 40 yuan untuk masuk dan pintu akan ditutup pukul 10 malam. Berlanjut terus ke dalam dan melihat suasana benteng yang sangat historis, indah dan kokoh.

Foto benteng (doc/kahlil)

Lalu ketika naik ke “border” utama, seperti video “travelogue” yang saya nikmati di A330 sepanjang perjalanan udara, saya lirik kiri dan kanan dan ahaaa, saya dapatkan dia. Siapa dia?, sebuah sepeda untuk saya gunakan menyusuri benteng yang sangat besar yang membatasi kota dari wilayah luar. Ternyata tak ada yang gratis, saya perlu membayar 20 Yuan plus uang jaminan 200 Yuan agar sepeda tidak dibawa lari, hmmm sungguh oh sungguh, saya kan bukan maling sepeda? :D. Selanjutnya saya menyusuri benteng dan menikmati lagu khas yang diputar sepanjang perjalanan dengan struktur jalan yang tak lagi mulus, bayangkan saja sudah ribuan tahun setelah pembangunan dan pemanfaatan untuk kepentingan defensif, sekarang masih tegar berdiri dan lagi-lagi sangat sarat akan sejarah. Saya di beberapa sudut membayangkan bagaimana para prajurit siaga di pos-posnya dan siap membela Negara jika ada musuh mengancam. Sepanjang perjalanan saya sangat menikmati, hingga hari gelap dan harus mengembalikan sepeda sewaan, lalu saya termenung dan berpikir, kalaulah bisa kembali lagi jangan lupa sepeda lipat untuk jalan-jalan.

(doc/kahlil)
Gambar di benteng (doc/kahlil)

Perjalanan ke wilayah selatan Cina daratan yang sangat besar ini sungguh berkesan bagi saya, sepertinya memang ALLAH SWT menakdirkan saya untuk hadir di sini dan tidak hanya untuk kepentingan ilmiah namun melihat bagaimana eksistensi mukjizat dan penjagaanNya terhadap umat dan hasil “ikhtiar” mereka hingga terjaga ribuan tahun lamanya. Perjalanan ini, sekali lagi memenuhi target saya bahwa untuk jalan-jalan ke luar negeri bagi mahasiswa sepatutnya memberdayakan ilmunya, sesekali jangan dari hasil tabungannya karena perjalanan wisata yang dibayar oleh jerih payah ilmu yang mungkin saja dititipkan rezekinya ke professor/advisor kita, lebih berkesan secara akademis dan pengalaman turis dadakan pada akhirnya.

Foto di depan spanduk conference (doc/kahlil)

Xi’an International Airport, October 21, 2011 di sebuah kedai kopi.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.43 out of 5)
Loading...
Sekretaris Jenderal FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan) 2011/12. NSYSU, Taiwan

Lihat Juga

Demonstran Minta Trump Merdekakan Hong Kong dari Cina

Figure
Organization